BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Oleh: Ali Geno Berutu
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah
dipraktekan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara.Semenjak
wafatnya Rasulullah SAW,islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi
Negara.Dalam banyak hal,bias ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang
menunjuk pada eksitensi Negara,terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga
hancurnya Khilafah Turki Ustmani.
Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21
M,ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam
yang meliputi bentuk Negara dan system pemerintahan,lebih-lebih sejak
terbebasnya dunia islam dari Kolonialisme Barat,dunia islam telah mempraktekan
system polotik yang berbeda dengan masa lalunya.Jika dilihat dari kenyataan
sejarah,ummat islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua bentuk
Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan komdisi
yang dihadapinya.[1]
1.
NEGARA KESATUAN
Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan
tertinggi dipusatkan dipusat.Kekeuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan
tidak pada pemerintahan daerah.Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagaian kekuasaanya
kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan system
desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berda
pada pemerintahan pusat.
Dalam praktik sejarah politik ummat islam,sejak zaman Rasullah SAW
hingga al-khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa islam dipraktekkan didalam
ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan,dimana kekuasaan terletak pada
pemerintahan pusat ,gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta
diberhentikan oleh khalifah.[2]Hal
ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus.Kemudian timbul tiga
kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di
Baghdad, Daulah Umaiyah di Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia. Meskipun
ketiga pemerintahan itu terpisah, tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana
saja ia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan kedalam kebangsaan apapun dia
termasuk,dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang
lain.Oleh karena itu walaupun dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga
pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap
ketiga-tiganya ada diwililayah darul Islam.[3]
Zainal Abidin Ahmad menegasklan bahwa sejak berpuluh-puluh abad
yang lalu, islam telah menentukan pendirianya
bahwa bentuk Negara islam adalah republic.Khilafah adalah seorang
presiden yang dipilih oeh rakyat. Dengan mengutip pendapat Ibnu Rusyd,
pemerintah Arab klasik dizaman Islam yang pertama adalah seperti system
republic dari Plato, tetapi Muawiyah meruntuhkan susunan yang baik itu,
menghapuuskan segala keindahan dengan mencabut seluruh urat akarnya. Kemudian
didirikan suatu emerintahan Otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya seluruh sendi
asas pemerintahan islam dan berjangkitlah anarki dan kekacauan diseluruh negeri
Andalusia.[4]
Negara kessatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam
awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi Negara kesatuan islam yang
berbentuk Monarki (kerajaan)
dimana kepala Negara tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan
keturunan.[5]
Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini
oleh ummat Islam dipraktekkan dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Ilam
yang berbentuk republik telah dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang
beraliran Syah dan Republik Islam Pakiistan yang beraliran Sunni.Kedua Negara
ini telah menjadi contoh dari Negara kesatuan islam yang berbentuk republik
.Sedangkan bentuk Negara Ikesatuan slam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh
Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain diman pergantian kekuasaan
tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.[6]
2.
NEGARA FEDERAL
Dalam praktek sejarah politik ummat Islam, sejak mulai lahir
dizaman nabi sampai dizaman al-Khulafa al-Rasiydun, Dinasti Umaiyyah dan
permulaan Abbasiyah, Negara Islam masih berbentu Negara kesatuan. Baik dimasa
pemerintahan daerah masih Imarah Khasanah dizaman Nabi dan Khhalifah Abu bakar,
maupun sesudah menjadi Iamarah ‘Ammah yang dimulai oleh Khalifah Umar , Negara
Islam masih tetap merupakan Negara kesatuan.[7]
Tetapi, setelah pemerintahan daerah menjadi Imarah istila; barulah berubah
bentuk menjadi Negara Pederasi. Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa
pemerintahan daerah dizaman Khalifah Mansur (Abbasiyah), masih tetap
desentralisasi atau daerah otonom-otonom.[8]
Kebetulan dizaman ini muncul suatu daerah yang ingin menjadi suatu
Negara , yaitu Negara Andalusia, yang didirikan oleh Abdurrahman bin Mu’awiyah
dari bani Umaiyah pada 139H/756M. Namun dinasti Umaiyah masih belum berani
melepaskan diri dari wilayah Abbasiyah, yang terbukti dari ppanggilan penguasa
negarranya adalah Amir yang berarti kepala Negara bagian[9].
Baru dizaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193H/789-809M), dimulai
rencana pementukan Negara federasi.Dia menghadapi persoalan yang serupa dengan
kakeknya, Mnsur, yakni berdirinya Negara Idrisiyah (adarisah) dimaroko pada
tahun 177 H.Pada awalnya perestiwa itu disambut dengan kemarahan.Tetapi,
kemudian pemerintah sendiri mengadakan rencana pembentukkan Negara-negara
bagian, dengan menyetujui berdirina Negara Aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada
tahun 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aglab.Negara ini berdiri selam
satu abad, dari 184 H/ 800 M- 296 H/908M.[10]
Rencana ini dilanjutkan kembali oleh khalifa Ma’mun
(128-218H/813-833M). Diperintahkan kepada Wazir yang tercakap, Tahir bin
Husen,untuk mendirikan suatu Negara bagian sebagai percobaan (model) di
Khurasan dengan nama Thahiriyah dari 205H/820M-259H/872M.
Dalam sejarah muncul dua jenis Negara bagaian, yaitu Imarah Amamah
tingkat Istila,yakni Negara-negara bagian yang memiliki status Negara
terbatas.Kepala Negara bagian ini dinamakan amir. Dan Imarah Amamah tingkat
istimewa, yang memiliki hak-hak Negara yang sangat luas, keluar dan kedalam.Kepala
Negara dinamakan sultan.
B. SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Adapun system pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam
islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing
ummat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang
sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, ummat islam pernah mempraktekkan
beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah
(Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah,
monarki dan demokrasi.
1.
SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH
Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah
teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Ikatan
yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya,
kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai
wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan
umum bagai kaum muslimin diseluruh
penjuru dunia untuk menegakkan hokum-hukum syari’at silam dan memikul da’wah
islam keseluruh dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum
muslimin diseluruh penjuru dunia.Dan menjalankan kewajiban yang demikian
itu,sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum
muslimin.
Berdasarkan Ijma’ Sahabat, wajib hukumnya mendirikan
kekhalifahan.Setelah Rasulullah SAW wafat,mereka sepakat untuk mendirikan
kekhalifahan untuk Abu Bakar, kemudian Umar, Ustman dan Ali, sesudah
masing-masung dari ketiganya wafat.[11] Para
sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas kewajiban untuk mendirikan
kekhalifahan, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih
sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai
berdirinya kekhalifahan.[12] Oleh
karena itu, kekhalifahan (khilafah) adalah penegak agama dan sebagai pengatur
soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.[13]
Jabatan ini merupakan penggati nabi Muhhammad SAW, dengan tugas
yang sama, yakni memppertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia.
Lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan). Orang yang menjalankan tugas itu
disebut Khalifah.[14]
2.
KHILAFAH BERDASARKAN SYURA
Sistem pemerintahan islam berdasarka syura pernah dipraktekkan pada
masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan
yang didasarkan pada system musyawarah sebagai paradigm dasar kekuasaan.Abu
Bakar Al-Shiddiq, umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib
telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh semnagat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari system pemerintahan yang mereka jalankan
terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada
satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak
kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan
sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW.
3.
KHILAFAH MONARKI
Pasca berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan
oleh khalifah bani Umaiyah dengan Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai khalifah
pertama.Sejak saat itulah khilafah Islamiyah yang sudah berdasarkan syura
digantikan dengan system keturunan, menjadi Negara kerajaan (monarki) mengikuti
system yang diperlakukan di Persia dan Romawi.[15]
Sisrem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah
Patrimonial.Patrimonialiisme yang dimaksud disini adalah system pemerintahan
yang member hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan
bias diwariskan kepada keluarganya (turun temurun) sementara rakyat dipandang
sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukunganya.
Sistem monarki adalah system waris (putra mahkota) dimana singsana
kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem
monarki juga merupakan system pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral
kekuasan, seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya .Perkataan raja
adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja memiliki hak khusus yang
tidak dimiliki oleh rakyyat,raja memiliki kekebalan terhadap hokum, dan
kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.
Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi monarki ini terjadi
ketika Muawiyah melantik putranya Yazid sebagai khalifah atas dasar Mughirah
bin Syu’bah.Sistem khilafah monarki terus berlanjut hingga kerajaan islam
dipegang oleh Turki Ustmani yang timbul di Istambul pada 699 H/ 1299 M yang
dipimpin oleh Ustman l yang kemudian dikenal sebagai dinasti Utsmaniyah.
Dinasti ini memerintah hingga 1342H/1924M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid
ll. Tak pelak lagi sejak Dinasji Umaiyyah hingga Dinasti Utsmani, system
pemerintahan Islam sudah sangat jauh dari kekhalifahan yang berbasisi syura
menjadi khilafah monarki.
4.
IMAMAH
Kunci utama Imamah dalam politik syi’ah adalah terletak pada posisi
imam. Karena status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam
mazhab Syi’ah Imamiyah.Mereka dianggap penerus yang dari nabi Muhammad SAW dan
mereka percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk oleh Allah SWT melalui
nabinya.Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal
ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya ,tetapi karena mereka merupakan
orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang
menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama. Demikian
juga mereka tidak ditunjuk mmelalui consensus rakyat.[16]
Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah
yang paling tau kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh
karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjuk mereka. Syi’ah menganggap bahwa
Imamah seperti kenabian, menjadi
keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah
kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam
mempunyai kulitas,tugas, dan otoritas dari nabi. Bimbingan politi dan agama
dari mereka dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka.[17]
Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada Imam (yang kemudian
diterjemahkan menjadi wilayat al- afqih) diterjemahkan dalam periode modern
dalam bentuk negarra Irean. Iran menjadi penjelmaan politik Syi’ah setelah
revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini.
5.
DEMOKARASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna. Tetapi pada dunia modern
ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah
hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang
keputusan-keputusan tersebut secara
langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara
bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan.
Paling tidak ada tiga mavam bentuk demokrasi yaitu , demokarasi
formal, permukaan, dan substantive.
a.
Demokrasi Formal
Demokrasi formal ditaandai dengan
pemilihan umum yang teratur, bebas, adil, dan kompetitif.Biasanya ditandai
dengan tidak digunakanya paksaan secara berlebihan oleh Negara terhadap
terhadap masyarakat, ada kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin
kompetisi dalam pemilihan umum.[18]
b.
Demokrasi Permukaan
Demokarasi Permukaan merupakan
demokrasi yang umum ditetapkan di dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi
tapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dahulu demokrasi ini lazim
terdapat di Amerika latin, Timur tengah, misalnya Presiden Saddam Hussein
(Iraq), Hafez al-Assad (Syria), dan Husni Mubarak (Mesir) dimana rezim penguasa
tidak menginginkan demokrasi yang sebenarnya.
c.
Demokrasi Substantif
Demokarasi macam ini memperluas ide
demokarasi diluar mekanisme formal, ia mengintensifkan konsef dengan memasukan
penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum public yang
dipilih dan dengan partisipasi kelompok.
6.
MONARKI DAN MONARKI KONSTITUSIONAL
Monarki adalah system pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana
yang berhak menggantikan raja adalah keturunanya. Rakyat tidak memiliki hak
untuk mengggatikan kekuasaan. Titah raja harus diikuti oleh rakyatnya ,
sehingga ada ketundukan peneuh dari rakyat yang diperintahnya.
Tetapi ada bentuk lain dari monarki, yaitu monarki Konstitusional
yang secara jelas dalam konstitusinya disebutkan sebagai Negara kerajaan.
Maroko dan Jordania adalah contoh nyata dari monarki konsttitusiaonal.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Syarif Mujar dan Zada Khamami.Fiqih syasah: Doktrin dan
Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2008
Taqiyuddin An
Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik
(terjemahan), Al Izzah, Bangil, 1997
[1] Mujar Ibnu
Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah (Jakarta : Erlangga 2008) Hal 198
[2] Mujar Ibnu
Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 200
[3] Djazuli, Fiqih
Siyasah: Implementasi kemaslahatan ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah (Bandung:
Gunung Djati Press, 2000), hal. 150
[4] Zainal Abidin
Ahmad, Membangun Negara Islam (Jakarta: Iqra Pustaka, 1956), hal. 120-121
[5] Mujar Ibnu
Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 201
[6] Mujar Ibnu
Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 198
[7] Mujar Ibnu
Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 202
[8] Ahmad,
Membangun Negara Islam, hal. 120-121
[9] Ibid., hal.
183.
[10] Ibid., hal.
183.
[11] Samis Athief
az-Zain, syari’at Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai
Studi Perbandingan (Bandung, Husaini, 1988) hal. 18-19
[12] Ibid., hal.
19-20
[13] Abdulrrahman
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar al Fikr, t.t ), hal. 191
[14] Ibid., hal.
191
[15] Sjadzali,
Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hal. 27
[16] Khaldun,
Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 166.
[17] Ahmad Vaezi,
Agama politik Nalar Politi Islam (Jakarta: Citra, 2006), hal. 66-67
[18] Jeff Hayness,
Demokrasai dan Masyarakat Sipil di Dunia ketiga : Gerakan Politik Terbaru Kaum
Tertinggi ( Jakarta: Yasayasan Obor Indonesia, 2000 ), hal. 137
Label: POLITIK