CONTOH PROPOSAL SKRIPSI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Syariat
Islam telah secara formal diimplementasikan di Nanggroe Aceh Darussalam sejak
diundangkanya Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam[1].
Penerapan
Syariat Islam di Tanah Rencong sesungguhnya sangat berkaitan dengan rakyat Aceh
sebagai Muslim yang taat dan mau menjalankan Syari’at Islam secara kaffah.
keinginan untuk mengembalikan identitas rakyat Aceh sebagai Muslim yang taat
melalui pengimplementasian Syari’at Islam secara menyeluruh dengan sangat jelas
dapat dilihat dan tercermin dalam berbagai peraturan daerah yang merupakan
bagian dari Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Pernyataan bahwa Islam bagi
orang Aceh bukan hanya berarti agama, tetapi juga pedoman hidup dan bagian dari
budaya orang Aceh selalu menjadi landasan berpikir mengapa Syari’at Islam perlu
diterapkan dan diimplementasikan di Aceh.[2]
Dalam penjelasan atas Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam
disebutkan :
Sepanjang sejarah masyarakat Aceh telah menjadikan agama
Islam sebagai pedoman dalam kehidupan, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam
dalam rentang sejarah yang cukup panjang itulah telah melahirkan suasana
masyarakat dan budaya Aceh yang Islami, budaya dan adat yang lahir dari
renungan para ulama, kemudian dipraktekan,dikembangkan dan dilestarikan[3].
Karena
penerapan Syariat Islam secara formal[4] di
Aceh berkaitan erat dengan identitas masyarakat Aceh, tidaklah heran jika
penerapan Syari’at Islam pertama-tama digalakkan lebih bersifat simbolis, bukan
hal-hal yang lebih Islami dalam artian yang lebih signifikan seperti
pemberantasan Korupsi dan Kolusi[5].Penerapan
Syari’at Islam lebih dipokuskan untuk sementara ini pada penggunaan busana
muslim, pengaturan ibadah shalat Jum’at dan Ibadah Puasa Ramadhan serata
pelarangan aliran sesat dan tindakan Munkarat seperti minuman keras
beralkohol, perjudian dan perzinahan.
Larangan
minuman keras beralkohol dan sejenisnya telah diatur melalui Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman
keras dan sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi dengan
produk perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan lain
dalam konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil
melandaskan diri pada produk undang-undang tersebut. Keputusan Presiden No. 3
Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman beralkohol dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban,
Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut
pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi
bahwa Qanun Khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya.
Untuk
efektifitas pelaksanaan qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan
penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan sipelaku jarimah
minuman khamar oleh Pejabat Wilayatul Hisbah[6].
Disamping itu juga kepada masyarakat diberikan peranan untuk mencegah
terjadinya jarimah minuman khamar dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai
seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tapi Peranserta
masyarakat tersebut tidak dalam bentuk main hakim sendiri.
Bentuk
ancaman hukuman (uqubat) cambuk bagi sipelaku jarimah minuman khamar
dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus
menjadi peringatan bagi calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan jarimah.
Di samping itu ‘uqubat cambuk akan lebih efektif karena memberi rasa
malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis ‘uqubat cambuk
juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah
dibandingkan dengan jenis ‘uqubat lainnya seperti yang dikenal dalam
KUHP sekarang ini.[7]
Secara
umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres di atas.
Perbedaan yang paling prinsip terletak pada lingkup larangannya. Keppres No. 3
Tahun 1997 menyebutkan bahwa memproduksi, mengedarkan dan mengkonsumsi masih
diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Larangan mengkonsumsi juga tidak
berlaku di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya.
Keppres hanya tegas melarang memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja
yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun[8].
Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan meminum alkohol, sejauh
mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Sementara
Qanun Khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, umat
Islam yang berdomisili di Provinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Tidak
hanya mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang memproduksi,
menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun,
memperdagangkan, menghadiahkan, dan mempromosikan minuman khamar dan
sejenisnya[9].
Larangan secara total yang diatur oleh Qanun Khamar juga dibenarkan oleh
Keppres No. 3 Tahun 1997 itu.
Di
dalam Keppres disebutkan secara jelas bahwa penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan
kepada pengaturan dan izin yang diberikan oleh gubernur atau bupati. Dengan
demikian, sekali lagi, larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk
politik di tingkat lokal, memiliki justifikasi yuridis dan tidak
bertentangan dengan produk perundang-undangan di atasnya.
Sebagai
sebuah kebijakan daerah, penerapan Syariat Islam di Aceh mendapat dukungan dari
Pemerintah Aceh sendiri. Pemerintah Aceh membuat sebuah Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) yaitu Dinas Syariat Islam untuk secara khusus menangani
pemberlakuan Syariat Islam. Selain itu juga dibentuk sebuah Polisi pengawal
Syariat yang dikenal dengan Wailayatul Hisbah .[10]
Kelembagaan
pemerintah ini merupakan pelaksana teknis pemberlakukan Syariat Islam di Aceh.
Meskipun demikian dalam berbagai kesempatan perwakilan pemerintah selalu
mengatakan bahwa penerapan syaraiat Islam bukanlah tugas dari Dinas Syariat
Islam semata, namun sebagai seorang muslim, penerapan syariat Islam adalah
bagian dari tugas personal kaum muslimin itu sendiri. Sementara pemerintah
hanya berperan dalam perencana, penggerak dan memberikan fasilitas utama dalam
merealisasikan apa yang dapat dilakukan unuk kelancaran pelaksanaan ajaran
Islam.
Lembaga
keagamaan lain yang sepenuhnya mendukung pemberlakuan Syariat Islam adalah
kelembagaan ulama. Selain Majelis Permusyawarana Ulama (MPU)[11]
lembaga keulamaan seperti Inshafuddin, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA),
Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan berbagai kelembagaan ulama yang lain
juga mendukung pemberlakuan syariat Islam di Aceh.
Berdasarkan
uraian diatas penulis mencoba mengajukan skeripsi dengan judul PENERAPAN QANUN
NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA DI WILAYAH HUKUM KOTA
SUBULUSSALAM NANGROE ACEH DARUSSALAM.
[1] Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara No. 41, h, 34.
[2] Prof. A. Hasjmy, 50 Tahun
Aceh Membangun, 1995, h. 36.
[3] Masykuri Abdillah, dkk. Formalisasi
Syari’at Islam di Indonesia, Sebuah Pergulatan yang tak Pernah Tuntas,
Jakarta : Renaisance, 2005,h. 212.
[4] Perlu diingat bahwa secara tidak
formal Syari’at Islam tetap dipraktekkan oleh masyarakat Aceh.
[5] Masykuri Abdillah, dkk. Formalisasi
Syari’at Islam di Indonesia, Sebuah Pergulatan yang tak Pernah Tuntas ,h.
213.
[6]Wilayatul Hisbah
adalah lembaga yang bertugas menegakkan amar makruf apabila jelas-jelas
ditinggalakan (zahara tarjuhu) dan mencegah kemungkaran yang jelas-jelas
dilakukan (zahar fi’luhu).
[7]Penjelasan Qanun Nomor 12 Tahun
2003 tentang minuman Kahmar dan Sejenisnya.Tambahan Lembaran Daerah Propinsi
Nangroe Aceh Aceh Darussalam.
[8] Pasal 5 Keppres
No. 3 Tahun 1997 “Dilarang mengedarkan dan atau menjual minuman
beralkohol
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada yang belum berusia 25 (dua
puluh lima) tahun”.
[9] Pasal 4-6 Qanun Khamar
No. 12 Tahun 2003.
[10] Awalnya WH merupakan sebuah sub dalam Dinas Syariat Islam. Namun atas dasar
pertimbangan mereka bertugas memastikan berjalannya peraturan daerah (qanun)
seperti halnya Polisi Pamong Praja, maka pada tahuan 2006 digabungkan di bawah
Satpol PP. Namun demikian ini adalah kebijakan yang independen setiap
pemerinatah kabupaten Kota. DI Aceh Besar, Wilayatul Hisabah bergabung dengan
Dinas Pemadam Kebakaran.
[11] MPU adalah lembaga keulmaan
seperti Majelis Ulama Indonseia (MUI) di daerah lain di Indonesia. Namun MPU di
Aceh memiliki kewenangan yang lebih besar daripada MUI. MPU adalah lembaga
daerah setingkat DPRA yang memiliki kapasitas untuk mengeluarkan keputusan
sendiri dan memiliki anggaran sendiri. Lembaga ini memiliki hak preogatif dalam
memberikan izin penyelenggaraan acara-acara yang dianggap memungkinkan terjadinya
pelanggaran Syariat Islam, seperti konser band ibukota dan lain sebagainya.
Label: MENULIS
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda