Selasa, 10 Januari 2023

Yurisprudensi pemeriksaan perkara banding di Indonesia


1.     Putusan tidak memperhatikan memori banding.

-        Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal 11 April 1955 : “ Karena pengadilan tinggi tidak memperhatikan memori banding, akibatnya putusan pengadilan tinggi tersebut harus dibatalkan.

2.     Tidak wajib meninjau satu persatu dalil-dalil dalam memori banding.

-        Putusan MA No. 247 K/Sip/1953, tanggal 6 April 1955 : “Hakim banding tidak wajib meninjau satu per satu dalil-dalil yang termuat dalam memori banding dan juga tidak wajib meninjau satu per satu segala pertimbangan dari hakim pertama”.

3.     Keberatan pembanding diabaikan.

-        Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal 11 April 1956 :”Keberatan-keberatan Pembanding yang tercantum dalam memori banding, wajib dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi dalam putusannya”.

4.     Hakim tinggi boleh mengambil alih alasan-alasan hakim pengadilan negeri.

-        Putusan MA No. 143 K/Sip/1956, tanggal 14 Agustus 1957 :” Semenjak zaman Hindia Belanda dalam praktik “Raden van Justitie” dalam apel, tidak mengharuskan kepada hakim banding untuk meninjau, serta mempertimbangkan semua hal, satu demi satu tentang apa saja yang oleh pembanding diajukan di dalam memori bandingnya. Hakim banding dapat mengoper penuh terhadap alasan-alasan hukum Hakim Pertama Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah benar dan tepat. Dengan “sikap mengoper”


tersebut, hakim banding sesungguhnya telah memperlihatkan pendiriannya bahwa pengadilan tinggi tidak menyetujui dalil-dalil yang di dalam “Memori Banding”.

5.     Memori banding tidak disampaikan kepada terbanding.

-        Putusan MA No.74/Sip/1955, tanggal 12 September 1957 :”Dalam hal pemeriksaan banding, memori tidak diberitahukan kepada pihak lawan, putusan pengadilan yang bersangkutan patut dibatalkan”.

6.     Mengambil alih pertimbangan hakim pengadilan negeri.

-          Putusan MA No.786 K/Sip/1972, tanggal 3 Januari 1972 :”Pengadilan Tinggi adalah berwenang untuk mengambil alih semua pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan negeri yang oleh Pengadilan Tinggi dinilainya pertimbangan tersebut telah benar dan tepat dalam mengadili perkara yang dimohon banding tersebut.

7.     Pemeriksaan perkara di tingkat banding.

-          Putusan MA No. 951 K/Sip/1973, tanggal 9 Oktober 1975 :” Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding—pengadilan tinggi yang hanya memeriksa keberatan- keberatan yang diajukan oleh pembanding saja, adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut, baik faktanya, maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim pertama”.

8.     Pemeriksaan perkara di tingkat banding.

-          Putusan MA No. 194 K/Sip/1975, tanggal 30 November 1976 :”Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat banding, dalam memeriksa perkara perdata yang dimohon banding harus memeriksa dan memberikan putusan perkara tersebut secara keseluruhannya, baik yang konpensi maupun yang rekonvensi yang telah diputus oleh peradilan tingkat pertama”.

9.     Permohonan banding oleh yang bukan pihak.

-          Putusan MA No. 207 K/AG/1993, tanggal 25 November 1994 ;”Permohonan banding yang diajukan oleh orang yang bukan merupakan pihak dalam pengadilan tingkat pertama, maka permohonan banding tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama. Upaya hukumnya seharusnya adalah mengajukan perlawanan (verzet).

10.  Putusan sela tidak dapat dibanding secara tersendiri.


-          Putusan MA No. 316 K/Pdt/1994, tanggal 28 Mei 1997 :”Terhadap putusan sela tidak dapat diajukan banding secara berdiri sendiri, harus lebih dahulu ditunggu putusan akhir, baru dapat diajukan banding bersama-sama dengan putusan akhir.

11.  Banding putusan dan surat kuasanya.

-          Putusan MA No. 202 K/Sip/1953, tanggal 6 Juli 1955 :”Suatu surat kuasa yang isinya menyatakan bahwa pemberian kuasa ini untuk menggunakan segala upaya hukum terhadap putusan Pengadilan dapat ditafsirkan (dianggap) termasuk juga untuk mengajukan permohonan banding”.

12.  Keberatan pembanding diabaikan.

-          Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal 11 April 1956 : “Keberatan-keberatan Pembanding yang tercantum dalam memori banding, wajib dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi dalam putusannya”.

13.  Masalah surat kuasa banding.

-          Putusan MA No.117 K/Sip/1955, tanggal 8 Mei 1957 :”Suatu surat kuasa yang isinya tidak dengan tegas menyebutkan pemberian kuasa untuk mohon banding, seperti dalam kasus ini hanya dipakai kalimat : Menolak segala macam putusan yang merugikan, maka surat kuasa ini tidak dapat diterima untuk mengajukan permohonan banding”.

14.  Masalah memori banding.

-          Putusan MA No. 143 K/Sip/1956, tanggal 14 Agustus 1957 :”Semenjak zaman Hindia Belanda dalam praktek Raden van Justitie dalam appel, tidak mengharuskan kepada Hakim Banding untuk meninjau, serta mempertimbangkan semua hal, satu demi satu tentang apa saja yang oleh Pembanding diajukan di dalam memori bandingnya. Hakim Banding dapat mengoper penuh terhadap alasan-alasan hukum putusan Hakim Pertama Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah benar dan tepat. Dengan sikap mengoper tersebut, Hakim Banding sesungguhnya telah memperlihatkan pendiriannya bahwa Pengadilan Tinggi tidak menyetujui dalil-dalil yang ada di dalam Memori Banding”.

15.  Masalah pembuktian oleh pengadilan tinggi.

-          Putusan MA No. 25 K/Sip/1957, tanggal 18 September 1957 :


·    Pemohon Kasasi dalam memori kasasi mengemukakan keberatan terhadap putusan akhir Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa tanah sengketa adalah tanah partikelir.

·    Kesimpulan ini adalah hasil pembuktian oleh Pengadilan Tinggi yang diperoleh dari hasil pembuktian berupa “perslah keahlian” yang dibuat oleh Ahli Agraria dan disidang ahli ini, juga disumpah sebagi Ahli. Disamping itu didengar pula beberapa orang saksi di bawah sumpah. Upaya pembuktian oleh Pengadilan Tinggi dengan hasil kesimpulan tersebut di atas telah ditentang oleh Pemohon Kasasi.

·    Majelis Mahkamah Agung menilai bahwa Pengadilan Tinggi dalam cara pembuktian tersebut di atas, ternyata tidak melanggar UU atau Hukum dan Hasil pembuktian itu adalah bersifat kenyataan yang tidak takluk akan kasasi. Dengan pertimbangan ini Mahkamah Agung menolak kasasi dari pemohon kasasi”.

16.  Pemeriksaan secara keseluruhan.

-          Putusan MA No.46 K/Sip/1969, tanggal 9 Juni 1971 :”

·     Majelis Hakim Pertama telah memberi putusannya. Tiga orang Tergugat menolak putusan ini dan mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Dari permohonan banding, secara formil, hanya seorang Pemohon banding yang dapat diterima, sedang tiga orang Pemohon yang lain tidak dapat diterima.

·     Majelis Hakim Banding dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, seharusnya memeriksa perkara ini secara keseluruhan terhadap semua kepentingan para Pembanding, termasuk Pembanding yang permohonan bandingnya dinyatakan tidak dapat diterima.

17.  Memori banding dalam upaya hukum banding.

-          Putusan MA No.663 K/Sip/1971, tanggal 6 Agustus 1973 ;”Undang-undang tidak mewajibkan pemohon banding (Pembanding) untuk menyerahkan memori banding ke Pengadilan Tinggi sewaktu perkara yang dimohon banding tersebut diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi. Karena itu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang tidak memenuhi permintaan Pembanding agar pemeriksaan ditangguhkan, karena Pembanding akan menyerahkan memori banding, bukan merupakan pelanggaran terhadap Hukum Acara Perdata oleh Hakim”.


18.  Memori/risalah banding.

-          Putusan MA No. 663 K/Sip/1971, tanggal 6 Agustus 1973 :” Undang-undang yang mengatur pemeriksaan ulangan terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama, di dalam perkara perdata tidak mewajibkan si pemohon banding untuk mengajukan keberatan- keberatannya di dalam risalah banding atau memori banding.

19.  Cara pemeriksaan di tingkat banding.

-          Putusan MA No. 951 K/Sip/1973, tanggal 9 Oktober 1975 :”Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding-Pengadilan Tinggi yang hanya memeriksa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pembanding saja, adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut, baik faktanya, maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim pertama”.

20.  Para pihak tidak perlu hadir.

-          Putusan MA No. 23 K/Sip/1973, tanggal 19 Nopember 1975 :”Persidangan dalam memeriksa putusan perkara gugatan perdata yang dimohon banding ke Pengadilan Tinggi yang tidak dihadiri para pihak adalah tidak bertentangan dengan hukum acara, sehingga baik sidangnya maupun putusan Pengadilan Tinggi a quo adah sah menurut hukum. Dasar hukumnya UU No. 20/tahun 1947 jo UU No.1/tahun 1951 pasal II ayat (1) (2)”.

21.  Asas pemeriksaan tingkat banding.

-          Putusan MA No. 281 K/Sip/1973 tanggal 2 Desember 1975 :”Asas hukum acara perdata yang berlaku bagi cara pemeriksaan putusan Hakim yang dimohonkan banding adalah bahwa fokus pemeriksaan oleh Pengadilan Tinggi hanya terbatas pada Putusan Pengadilan Negeri yang dianggap merugikan pihak yang mohon banding. Jadi pemeriksaannya tidak diarahkan pada dictum putusan PN yang menguntungkan baginya”.

22.  Banding atas putusan arbitrase:

-          Putusan MA No. 1/Banding/Wasit/1981, tanggal 10 Juli 1984 ;”Para pihak yang telah bersepakat bahwa terhadap putusan panitia arbitrase tidak dapat diajukan banding, ex Pasal 641 Rv jo Pasal 377 HIR, oleh karena itu maka permohonan banding tersebut adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung”.

23.  Banding keputusan pendaftaran merek.


-          Putusan MA No. 432 K/TUN/2001, tanggal 29 Mei 2002 :”Upaya hukum banding terhadap penolakan permohonan pendaftaran merek Departemen Kehakiman dan HAM berdasar atas alasan yang bersifat substantive, seharusnya diajukan kepada komisi banding merek. Namun, karena komisi banding merek belum berjalan secara efektif, maka pihak yang dirugikan oleh Dir.Merek Dep Kehakiman tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Peratun- Peradilan Tata Usaha Negara ex Pasal 1 ayat (3) dari UU No. 5/tahun 1986.

BACA JUGA
  • TEORI SOSIOLOSI HUKUM 3
  • TEORI HUKUM SOSIOLOGIS 2
  • TEORI HUKUM SOSIOLOGIS 1
  • Tata Cara dan Persyaratan Pembuktian dengan Alat Bukti Saksi
  • MACAM-MACAM ALAT BUKTI
  • Teori-Teori Pembuktian Hukum Acara Peradilan Agama
  • Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Hukum Acara Peradilan Agama
  • Yurisprudensi pemeriksaan perkara banding di Indonesia
  • Pemeriksaan materi perkara Banding di Pengadilan Tinggi Agama
  • Pemeriksaan formalitas perkara Banding Pengadilan Tinggi agama
  • PERMOHONAN PRODEO PADA PENGADILAN TINGGI AGAMA
  • PENCABUTAN PERKARA BANDING PADA PENGADILAN TINGGI AGAMA
  • Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual di Indonesia
  • BUDAYA HUKUM
  • FAKTOR MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
  • Berlakunya hukum secara yuridis, sosiologis dan filosofis
  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan Terhadap Hukum
  • PENGERTIAN PENEGAK HUKUM
  • Efektivitas Penegakan Hukum
  • TERMINOLOGI HUKUM ADAT DARI BERBAGAI ASPEK
  • JANGAN LIHAT HUKUM ISLAM SEBAGAI corpus jurisprudensi
  • EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM (2)
  • EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM (1)
  • TIDAK PIDANA KEJAHATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM PANDANGAN KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM
  • PERAN POLRI, KEJAKSAAN DAN MAHKAMAH ADAT ACEH DALAM PENEGAKAN SYARIAT ISLA DI ACEH
  • POLITIK HUKUM DAN ARAH PEMBANGUNAN HUKUM
  • SURAT SURAT BERHARGA
  • HUKUM LINGKUNGAN DALAM PRESFEKTIF ISLAM (PELESTARIAN LINKUNGAN DAN DASAR HUKUMNYA)
  • NORMA HUKUM & SUMBER HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
  • DASAR-DASAR DAN KETENTUAN POKOK HUKUM TANAH NASIONAL (UUPA)
  • SKEMA SEJARAN FILSAFAT HUKUM
  • POLEMIK UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (UU BHP) PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDOYONO (SBY) BERIKAN TIGA SOLUSI
  • PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM SEJAK ZAMAN PURBAKALA HINGGA SAAT INI
  • PENGELEDAHAN DAN PENYITAAN
  • PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TUN
  • FILSAFAT HUKUM
  • Ruang Lingkup dan Tujuan Pelarangan Minuman Khamar dan Sejenisnya
  • Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Silahkan komentar disini

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda