Kamis, 17 Februari 2022

RELASI ANTARA AGAMA DAN NEGARA

 Tulisan Ini adalah bagian dari buku saya yang sudah diterbitkan pada tahun 2020

Silahkan copy judul dibawah ini untuk dijadikan daftar pustaka/footnote

Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 18-27

Negara ditinjau dari gambaran umum adalah organisasi dalam suatu wilayah yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.[1] Sedangkan Syariah adalah jalan menuju mata air (jalan yang harus di ikuti) dan kode moral dalam hukum Islam (Qānun Islāmī). Dalam pendefinisian negara Islam, pakar politik negara Islam menyebutkan bahwa istilah negara Islam bukanlah suatu penetapan dari para ulama yang tidak bisa di kritik maupun dianalisan. Muhammad Abu Zahrah bahwa pembagian negara Islam kepada Dārul Islām dan Dārul Harb tidaklah berdasarkan hadis, tetapi sebaliknnya merupakan hasil penalaran dan ijtihad para ulama.

Menurut Fazlur Rahman negara Islam adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim dalam rangka memenuhi keinginan mereka dan tidak kepentingan lain. Sedangkan Imam as-Sarakshi menyebut nengara Islam adalah panggilan atau nama untuk suatu kawasan yang dikuasi oleh ummat Islam dan sebagai bukti kekuasaan mereka memperoleh keamanan disana.

Untuk melaksanakan penegakan hukum tentunya memerlukan kekuasaan, maka untuk itu diperlukan terbentuknya negara sebagai organisasi kekuasaan (machts organisatie) yang akan melaksankan dan menegakkan hukum, dasar hukum negara atau berdaulat menurut para pakar politik Islam adalah firman Allah s.w.t :

وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ وَمَنْ يَّكُنِ الشَّيْطٰنُ لَهٗ قَرِيْنًا فَسَاۤءَ قَرِيْنًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS. An-Nisā’ [4]:58).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisā’ [4]:59).

Hasan al-Bana menjelaskan bahwa pengakuan “bahwa tiada tuhan selain Allah” berarti umat Islam wajib bergantung pada hukum Allah  dalam setiap aspek kehidupannya, sedangkan dalam politik Bana berpendapat bahwa mendirikan pemerintahan tuhan dimuka bumi adalah suatu keharusan. Menurut Munawir Sjadzali megandung unsur proses hubungan yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) dalam rangka mencapai tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Pemimpin sebagai pemegang amanah berlaku adil terhadap mar’us (yang dipimpin).

Seorang ahli kajian agama-agama dan penulis buku terkenal Karen Amstrong pada tahun 1996 telah mengatakan bahwa pada akhir abad ke-20 agama menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Hal yang dianggap mustahil oleh banyak orang pada tahun 1950 dan 60-an, yang dimana kaum sekuler mempunyai anggapan bahwa agama hanyalah takhayul dan bualan primitif yang ditumbuh-kembangkan oleh manusia rasional dan beradab.

Apa yang menjadi prediksi kaum sekuler justru malah terjadi sebaliknya, prediksi tersebut benar–benar meleset, dipenghujung abad ke-20 manusia kembali melirik agama sebagai pelabuhan menjanjikan akan kebahagiaan hidup. Nilai-nilai yang telah diabaikan oleh hingar – bingar modernisme dirindukan kembali, agama telah mendapatkan momentumnya kembali. Secara umum para sosiologi teoritis politik Islam telah merumuskan teori-teori tentang hubungan antara agama dan negara lalu membedakannya menjadi tiga paradigma, petama paradigma Integralistik, kedua paradigma Simbiotik dan ketiga, Paradigma sekularistik.

A.    Paradigma Integralistik

Paradigma ini adalah konsep penyatuan agama dengan negara (integrated) keduanya tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karena agama dan negara menyatu maka menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus pemrintahan negara diselenggarakan atas dasar unsur ilahi. Mereka beranggapan bahwa kedaulatan itu berasal dan berada ditangan tuhan dan kepala negara adalah penjelmaan dari tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada alternatif yang lain.

Paradigama penyatuan agama dan negara juga dianut oleh kalangan fundamentalisme Islam, dimana kelompok ini cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dinaggap mendasar dan prinsipil. Al-Maududi merupakan salah satu ulama yang menganut faham ini, Maududi berpendapat bahwa negara Islam harus didasarkan pada pada empat prinsip dasar yaitu: (1) Mengakui kedaulatan tuhan, (2) menerima otoritas Nabi Muhammad s.a.w, (3) memiliki status wakil tuhan, (4) dan menerapkan musyawarah.

Menurut Maududi syariat Islam tidak mengenal pemisahan antara politik atau agama dan negara, syariat Islam adalah suatu sistem yang sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan dan tatanan kemasyarakatan. Sementara itu Ibnu Taimiyyah menjelaskan dalam bukunya al-Syāsah al-Syar’īyah fī aslah al-Ra’i wa al-Ri’āyah bahwa syariah adalah prinsip agama yang lengkap, baginya syariah itu harus menjadi konstitusi negara, Islam adalah agama sekaligus negara (dīn wa daulah), dan tokoh-tokoh lainnya seperti Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Hasan al-Banna.

Di Indonesia Muhammad Natsir (1973) merupakan salah satu tokoh yang menganut paradigma integralistik ini, dimana menurut pandangannya bahwa urusan kenegaraan merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari Islam (integreerend deel) menurutnya negara bukanlah tujuan tapi alat, dan pada prinsipnya negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri.

Menurut Natsir dasar negara yang disebut juga sebagai state philosophy atau falsafah negara haruslah merupakan seperangkat nilai, ide atau norma yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang sangggup memberi bimbingan lahir dan batin kepada rakyat, supaya menjadi bangsa yang berakhlak dan bermoral, sekaligus dijadikan sebagai sumber aturan-aturan pokok yang dituangkan dalam konstitusi (UUD) untuk dipedomani dan dipegang teguh oleh suatu bangsa dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan negara guna mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bersama dan dasar seperti ini hanya ada dalam agama Islam.

 

B.    Paradigma Simbiotik

Paradigma ini adalah agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan agama negara dapat berkembang dan begitu juga dengan sebaliknya dimana negara memerlukan agama karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika.

Paradigma Simbiosis antara agama dan negara dapat dilacak pada pemikiran al-Mawardi, ia memaparkan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan ilusi kenabian guna untuk memelihara negara dan mengatur dunia.

Dalam konsepsi al-Mawardi, pemeriliharaan agama dan mengatur dunia (negara) merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, keduanya merupakan dimensi dari misi kenabian. Oleh karena itu dalam pandangan al-Mawardi disimpulkan bahwa agama (syariat) mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Disisi lain sebenarnya Mawardi berusaha menjelaskan sebuah pendekatan pragmatik dengan menyelesaikan persoalan politik kalau dihadapkan dengan prinsip – prinsip agama.

C.    Pradigam Sekularistik

Paradigma sekularistik adalah paradigam penenolakan terhadap integralistik maupun simbiotik. Paradigma ini menghendaki adanya pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara, dalam artian paradigma ini menolak adanya pendasaran negara terhadap Islam, hukum negara harus disandarkan pada prinsip-prinsip sekuler bukan pada hukum Islam.

Pandangan ini dapat kita lacak pada pemikiran Ali Abdurrazaq, Ali menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan terhadap suatu rezim tertentu dan tidak pula mendek kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu. Tetapi Islam justru memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan intlektual, soial dan tuntutan zaman.

Ali Abdurrazaq berpendapat bahwa tidak ada petunjuk yang jelas baik dalam al-Qur’ān maupun as-Sunnah tentang ketentuan suatu bentuk sistem pemerintahan dalam Islam, hal ini senada dengan pendpat Muhammad Abu Zahra yang mengatakan bahwa pembagian negara kedalm dārul Islām dan dārul harb tidaklah berdasarkan kepada as-Sunnah tetapi menurapak hasil analisis dan ijtihad para ulama.

Diskusi tentang apakah Islam mempunyai hubungan dengan konsep negara atau tidak masih menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan dikalangan ilmuan Islam termasuk di Indonesia. Menurut Munawir Sjadzali ada tiga golongan pendapat para pakar Islam mengenai konsep negara dalam Islam.

Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dalam segala aspek kehidupan manusia termasuk didalamnya politik dan negara. Kelompok ini berpandangan bahwa dalam bernegara ummat Islam tidak perlu mengikuti sistem negara barat tetapi, hendaknya kembali kepada sistem negara Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w dan al-Khulafā al-Rāsyidīn pada awal perkembangan Islam.

Pendapat kedua menyatakan bahwa, Islam adalah suatu agama yang sama sekali tidak berhubungan dengan negara maupun politik. Menurut pendapat yang kedua ini Nabi Muhammad s.a.w hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul–rasul sebelumnya yang memiliki tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang berakhlak mulia. Menurut golongan ini Nabi Muhammad tidak pernah bertugas untuk membangun dan memimpin suatu negara.

Pendapat ketiga adalah golongan yang mengatakan Islam adalah sebagai falsafah dan ideologi negara yang lengkap. Golongan ini juga tidak sempendapat dengan aliran yang mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak ada hubungannya degan negara dan politik. Menurut kelompok ini Islam adalah ajaran yang menyeluruh, walupun didalam Islam tidak terdapat sistem negara dalam arti teori yang lengkap, namun di dalam Islam terdapat petunjuk bagi kehidupan bernegara.

Muhammad Mahfud MD berpendapat bahwa di dalam sumber utama ajaran Islam (al-Qur’ān dan as-Sunnah) memang tidak ada ajaran tentang mengenai sistem politik dan ketatanegaraan. Artiya tidak ada ajaran tertentu yang harus di ikuti dan dilaksanakan sebagai sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam.

Dalam Islam sejarah bukan dalam Islam wahyu, sistem politik dan ketatatnegaran sangat bermacam–macam, banyak negara yang mengaku “negara Islam”, tetapi sistem poliitik dan sistem hukumnya bermacam–macam, hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam, sebab kalau ada sistem tertentu yang harus di anut, maka dengan sendirinya semua negara Islam, sistemnya harusnya sama. Menurut Mahfud Islam memang tidak menggariskan sistem politik dan ketatanegaraan tertentu, tetapi Islam bisa menerima berbagai sistem dan bentuk sesuai dengan tuntutan tempat, waktu dan tardisi (masing–masing negara). Karena itu negara – negara Islam ada berbentuk monariki, republik, bersistem presidensil dan parlementer. Tegasnya Islam menerima sistem atau bentuk apapun yang ditetapkan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan penerimaan masing – masing negara.

Pertarungan pemikiran terutama menyangkut politik hukum negara terus bergulir tak terkecuali di Indonesia. Sebagian pemikir dan penggiat politik berpendapat bahwa Islam telah mengajarkan secara lengkap tentang hukum–hukum yang harus diberlakukan dalam kehidupan bernegara, sehingga harus di ikuti sepenuhnya sesuai dengan teks ajaran – ajarannya.

Abdullah Ahmad An-Na’īm berpendapat bahwa penerpan syariat Islam di Indonesia justru malah merendahkan syariah itu sendiri, menurut Nai’īm penerapan syariat Islam di Indonesia hanya sebatas kulitnya saja dan belum menyentuh subtansinya. Penerapan syariat Islam dalam pandangan Na’īm tidak pernah menitik beratkan pada inti syariat tersebut seperti, keadilan sosial, pemeberantasan korupsi sampai kepada akar-akarnya.

Nurcholish Madjid berpendapat bahwa fundamentalisme lebih berbahaya dari narkotika, ia melontarkan pemekiran tentang bahanya "organizet religion" dan fundamentalisme agama. Bagi Nurcholis fundamentalisme adalah musuh yang harus diwaspadai. Fundamentalisme dalam satu agama tertentu menurutnya, menyebabkan gagasan-gagasan palsu dan bersifat menipu. Dimasa sekarang fundamentalisme telah menjadi sumber kekacauan dan penyakit mental baru di masyarakat. Akaibat-akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada, seperti kecanduan minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Sedangkan Masdar berpendapat bahwa Pelaksanaan syariat Islam yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada syariat yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka, agama pada intinya harus menjadi wilayah yang otonom dari negara.

Penggunaan masa lampau membuat kaum Islam formalis tidak mampu memperepsi realitas dengan obyektif, realitas kekinian dilihat dengan kaca mata masa lalu, sehingga persepsinya mengalami distorsi dan anakronistik. Kaum Islam formalis disebutnya hanya melihat Islam dari aspek ritual yang wajib dilaksanakan, dipertahankan dan bahkan diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, sehingga seluruh yang berlabel Islam harus menjadi prioritas.

Konsekuensi logis dari sikap itu adalah Islam menjadi gerakan komunal, sectarian dan feodalistik yang kehilangan peran vitalnya. KH. Abdurrahman Wahid secara tegas mengarahkan kekutannya pada dimensi itu, menurutnya feodalisme agama dapat menciptakan keresahan antar umat beragama, oleh karena itu ia menentang formalisasi atau menjadikan Islam sebagai hukum negara.

Ajaran Islam sudah mencakup berbagai bidang hukum seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Iternasional yang semuanya siap dioperasionalkan sebagai paket yang given yang harus di ikuti oleh setiap pemeluk IslamPendapat seperti ini di anut oleh paham Islam Politik, Islam Formal atau Islam Eksklusif dengan dalil sebagai dasar argumennya adalah:

......وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

“.......Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS al-Māidah [5]: 44).

            Di sisi lain ada penggiat politik muslim yang menganut paham yang lebih moderat dan akomodatif terhadap realitas perbedaan dan pluralitas masyarakat. Paham ini sering disebut sebagai penganut gerakan Islam Kultural, Islam Substantif, Islam Inklusif atau Islam Kosmopolit. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam yang harus diperjuangkan pemberlakuannya dalam hidup bernegara itu bukan norma-norma tekstual atau fikihnya, melainkan makna–maknanya subtantif atau asas-asasnya.

Menurut pendapat ini “barang siapa yang tidak berhukm dengan prinsip hukum (yakni keadilan) seperti yang diperintahkan  Allah, maka orang itu kafir”. Dengan demikian norma-norma hukum Islam terlebih dalam bentuk fikih tidak ada yang mutlak sehingga tidak harus di ikuti seperti apa adanya, sebab yang terpenting adalah prinsip keadilan.



[1] Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 18-27


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda