Sabtu, 14 Januari 2023

TEORI SOSIOLOSI HUKUM 3

 

1.  Teori Hukum dan Perubahan Sosial : Schwart dan Miller

Hukum akan menjadi semakin kompleks manakala masyarakat mengalami spesialisasi yang semakin jauh (Rahasdjo, 1980 :102).

2.  Teori oleh Hayami Ruttan.

Teknologi akan lahir sesuai dengan kebutuhan objektif masyarakat, karena proses inovasi selalu dituntun oleh objektifitas masyarakat (Soemitro, 1989 : 100).

3. Teori Karl F.Schuessler mengenai Pidana Mati.

Pidana mati adalah cara paling efektif untuk menakut-nakuti, bertolak dari pendapat bahwa tiap orang takut akan kematian dan sifat keefektifan itu tergantung dari penerapannya secara pasti dan rakyat tahu akan hal ini (Rahardjo, 1980 : 126).

4. Teori John Hopkins dan Baltimore

Lembaga penelitian dan lembaga-lembaga penelitian dalam suatu masyarakat secara fundamental akan selalu reponsif terhadap kebutuhan masyarakat itu, ini berarti bahwa bila teknologi itu dicipktakan pada suatu lingkungan wilayah tertentu, maka teknologi itu tidak mungkin irrelevant di wilayah tersebut, hal-hal demikian dapat merupakan bahan untuk dituangkan dalam bentuk hukum (Soemitro, 1989 : 100).

5. Teori oleh Siedman.

Tata hukum itu merupakan saringan, yang menyaring kebijaksanaan pemerintah sehingga menajdi tindakan yang dapat dilaksanakan (Rahardjo, 1980 :113)

6. Teori Kontrak : Macaulay

Para pihak dalam melakukanb transaksinya menyadarkan pada cara kontraktual, namun adanya sanksi hukum pada kontrak tersebut tidak mempunyai hubungan yang bersifat mendesak dengan transaksi yang dibuat oleh para pihak (Rahardjo, 1980 : 122-123)

7. Teori Von Savigny.

Bahwa antara hukum dan keaslian secara watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis, sehingga menjadi satu kesatuan yang menimbulkan kepercayaan yang sama dari seluruh rakyat serta sentimen yang sama dari seluruh rakyat serta sentimen yang sama pula tentang apa yang merupakan keharusan, yang kesemuanya itu menolak adanya gagasan yang bersifat aksidentak dan arbiter (Rahardjo, 1980 :42).

BACA JUGA

Label:

TEORI HUKUM SOSIOLOGIS 2

 

1. Teori Huntington Cairns.

Ilmu pengetahuan hukum sebagai suatu sociotecnique mampu membuat dan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan, penggunaan hukum sebagai “a tool of social engineering” meliputi penggunaan peraturan-peraturan yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga pembuat peraturan yang menimbulkan suatu akibat tertentu pada tingkah laku pemegang peran, yaitu untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu yang dikehendaki (soemitro, 1989 : 73).

2. Teori Penegakan Hukum : Max Weber.

Penegakan hukum pada suatu masa berbeda dengan penegakan hukum pada masa yang lain, sebab perkembangan sosial dari masyarakatnya juga, supaya suatu penegakan hukum bisa diselenggarakan, diperlukan perlengkapan sosial tertentu (Rahardjo, 1986 : 194).

3.Teori Kontrak Sosial : Emile Durkheim

Suatu kontrak itu tidak cukup untuk bisa berdiri sendiri, tetapi ia bisa dilakukan hanya karena adanya peraturan-peraturan yang mengaturnya dank arena merupakan sesuatu yang pada hakekatnya bersifat sosial (Rahardjo 1986 : 260).

4.Teori Vilhelm Lundstedt

Hukum itu semata-mata merupakan fakta dari kenyataan sosial yang berwujud dalam kelompok-kelompok terorganisasi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan koeksistensi antara orang banyak (Rahardjo, 1986 : 270).

5.Teori Alf Ross.

Norma adalah pengarahan yang berada dalam kaitan korespondensinya dengan fakta-fakta sosial, norma benar-benar bekerja karena dirasakan oleh para hakim mempunyai daya ikat sosial dan karenanya dipatuhi (Rahardjo, 1986 :270-271).

6. Teori Eugen Ehrlich.

Bahwa hukum positif berbeda dengan hukum yang hidup (living law), hukum positif hanya akan efektif jika ia selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau pola-pola kebudayaan (culture patterns), pusat perkembangan hukum bukan terletak pada badan-badan legeslatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum tapi justru terletak pada kehidupan masyarakat itu sendiri (Soemitro 1984 : 20).

7. Teori Rosecoe Pound.

Hukum merupakan alat pengendali sosial (social control) dan bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentingan-kepentingan, hukum juga berusaha untuk menyusun suatu kerangka nilai-nilai dalam masyarakat yang harus dipertahankan oleh hukum (Soemitro, 1985 :57).

8.Teori Overmacht : Hazewinkel Suringa.

Suatu penyebab yang datang dari luar yang membuat suatu perbuatan itu menjadi tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pelakunya untuk setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan, dimana terdapat kekuatan, paksaan atau tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan (Lamintang, : 1984 : 208).

BACA JUGA

Label:

TEORI HUKUM SOSIOLOGIS 1

 

1. Teori Sibernetika: Talcott Parsons.

Bahwa tingkah laku individu tidak merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau sebagai tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku seseorang harus ditempatkan dalam kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi dalam sub sistem - sub sistem. Dalam garis besarnya, tingkah laku individu dibatasi oleh dua lingkungan dasar yang masing-masing bersifat fisik dan ideal, yaitu lingkungan fisik organik dan lingkungan realitas tertinggi. Diantara dua lingkungan dasar tersebut terdapat hierarkhis,  yaitu sub-sistem budaya dengan fungsi mempertahankan pola, sub-sistem social dengan fungsi integrasi, sub-sistem politik dengan fungsi mencapai tujuan dan sub-sistem ekonomi dengan fungsi adaptasi. (Soemitro, 1989 : 29)

2. Teori Solidaritas: Emile Durkheim.

Bahwa penyebab orang-orang terikat dalam satu kesatuan sosial ialah karena adanya solidaritas. Dari sini dapat dilihat adanya hubungan antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam masyarakat. Solidaritas mekanis menghasilkan hukum represif yang bersifat menindak (Hukum Pidana), solidaritas organis menghasilkan hukum restitutif yang bersifat mengganti (Soemitro, 1989 :11-12).

3. Teori Malinowski.

Bahwa setiap elemen dari hukum primitif, setiap tuntutan, ditentukan oleh kebutuhan untuk mempertahankan identitas kelompok (Soemitro, 1985 :27).

4. Teori Kenneth S.Carlston.

Bahwa kelompok hancur atau cerai berai atau punah bukanlah hanya disebabkan karena hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya. Tugas hukum haruslah dijalankan sebab tugas ini merupakan kondisi yang tidak dapat digantikan dalam mencapai tujuan yang sebenarnya dari setiap kelompok. Hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan merupakan instrumen yang tidak dapat digantikan untuk mencapai tujuan biologis tertinggi yang nyata dari aktivitas manusia (Soemitro, 1985 :57).

BACA JUGA

Label:

Selasa, 10 Januari 2023

Tata Cara dan Persyaratan Pembuktian dengan Alat Bukti Saksi

Bagaimana alat bukti saksi disebut sebagai saksi?
Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi?
Bagaimana agar keterangan saksi dapat diterima sebagai alat bukti?

Saksi ialah orang yang memberi keterangan di muka sidang tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri. Sedangkan kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh seseorang yang tidak merupakan salah satu dari pihak yang berperkara yang dipanggil di persidangan.

Penunjukkan saksi dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh hakim karena jabatannya yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. Para pihak dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui Majelis Hakim tentang hal-hal yang dianggap penting. Hakim menimbang relevansi pertanyaan dengan perkara apabila relevan, hakim dapat meneruskan pertanyaan kepada saksi danapabila tidak relevan, tidak perlu ditanyakan. Hakim dapat bertanya kepada saksi untuk mendapatkan kebenaran. Saksi yang telah diperiksa tetap duduk dalam ruang sidang agar ia tidak saling berhubungan dengan saksi-saksi lain dan agar tidak sulit apabila diperlukan keterangan tambahan atau konfirmasi.

Saksi sebagai salah satu alat bukti harus memenuhi syarat formil dan materiil alat bukti saksi serta telah mencapai batas minimal pembuktian. Syarat formil alat bukti saksi yaitu saksi tidak orang yang dilarang untuk menjadi saksi, memberikan keterangan di persidangan, mengucapkan sumpah menurut agama atau keyakinannya dan diperiksa satu persatu. Adapun syarat materiil alat bukti saksi yaitu keterangan yang diberikan didukung oleh alasan dan pengetahuan, fakta peristiwa yang diterangkan bersumber dari pengalaman, penglihatan dan pendengaran sendiri tentang hal yang benar-benar berkaitan langsung dengan perkara dan keterangan yang diberikan sesuai antara saksi yang satu dengan yang saksi lain atau alat bukti lain.

Saksi agar dapat mencapai batas minimal pembuktian harus berjumlah dua orang atau lebih. Keterangan dengan satu orang saksi dengan tidak ada alat bukti lain di dalam hukum tidak dapat dipercaya. Kesaksian yang berbeda dan tersendiri dari beberapa orang tentang beberapa kejadian dapat menguatkan suatuperkara tertentu. Oleh karena kesaksian tersebut bersesuaian dan berhubungan maka penilaiannya diserahkan kepada hakim.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa syarat formil alat bukti saksi salah satunya adalah saksi tidak orang yang dilarang untuk menjadi saksi. Adapun orang yang dilarang menjadi saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 (1) HIR atau Pasal 172 (1) RBg yaitu saksi yang berasal keluarga sedarah dan keluarga semenda secara garis lurus, suami/isteri dari pihak meskipun telah bercerai, anak di bawah umur 15 tahun dan orang gila meskipun terkadang sembuh.

Keluarga sedarah atau semenda dilarang menjadi saksi sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 145 (1) HIR atau Pasal 172 (1) RBg karena dikhawatirkan mereka akan memberikan keterangan palsu di persidangan disebabkan hubungan keluarga yang dekat. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun dilarang untuk didengar sebagai saksi kecuali apabila mereka telah menikah karena mereka dikhawatirkan mengkhayal dan keterangan mereka belum dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan orang gila dilarang menjadi saksi karena keterangan mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Aturan mengenai pembuktian dengan alat bukti saksi di Pengadilan Agama secara umum mengikuti aturan yang berlaku untuk pembuktian dengan saksi di lingkungan Peradilan Umum sebagaimana yang disebutkan dalam UU Peradilan Agama Pasal 54 yaitu: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU ini”.

Di samping itu, terdapat aturan hukum acara khusus mengenai pembuktian dengan saksi seperti dalam sengketa perceraian. Dalam sengketa perkawinan, untuk mendapatkan putusan perceraian dengan alasan percekcokan (syiqaq) dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam berumah tangga lagi, maka harus didengar keterangan saksi dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri. Dengan demikian, ketentuan yang menyatakan bahwa orang yang memiliki hubungan darah dan semenda tidak boleh menjadi saksi, dikesampingkan oleh Pasal 76 (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 

Dalam perkara tertentu saksi yang berasal dari keluarga sedarah atau semenda dapat diterima dalam perkara:

  1. Perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak yang digariskan Pasal 145 (2) HIR.
  2. Perkara-perkara mengenai nafkah yang harus dibayar, meliputi pembiayaan pemeliharaan, dan pendidikan yang digariskan Pasal 141 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 24 PP No.9 Tahun 1975.
  3. Perkara-perkara mengenai alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua berdasar Pasal 214 KUH Perdata dan Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 
  4. Perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan yang digariskan Pasal 145 (2) HIR. 
Keluarga sedarah dan semenda tidak dapat ditolak kesaksiannya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 145 (2) HIR atau Pasal 172 (2) RBg yakni dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang suatu perjanjian pekerjaan. Yang dimaksud dengan kedudukan perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan dalam hukum perdata, misalnya tentang kelahiran, keturunan, kematian, perkawinan dan perceraian.

Persoalan pembuktian dengan saksi di pengadilan harus dibedakan antara saksi sebagai syarat hukum dengan saksi sebagai alat pembuktian karena fungsikeduanya sangat berbeda, misalnya sebagai syarat hukum sahnya nikah harus disaksikan minimal dua orang saksi tetapi untuk membuktikan sahnya perkawinan tidak harus dengan dua orang saksi. Pembuktian dapat berupa pengakuan suami istri, sumpah, akta nikah dan lain-lain.

Kesaksian yang telah memenuhi syarat formil maupun materil mempunyai nilai pembuktian bebas. Nilai kebenaran kesaksian sifatnya tidak sempurna dan tidak mengikat baik kepada pihak-pihak maupun terhadap hakim. Hakim bebas menilai kebenaran keterangan saksi dan dapat mengesampingkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup dan berdasarkan argumentasi yang kuat. Dalam pemeriksaan para saksi, hakim tidak boleh menerima suatu hal sebagai kenyataan yang dikemukakan oleh saksi selama belum yakin tentang kebenaran yang disampaikan oleh saksi.

Menurut M. Yahya Harahap, alat bukti saksi yang terdiri dari dua orang dan keduanya memenuhi syarat formil dan materiil, maka dianggap cukup memenuhi batas minimal pembuktian. Oleh karena itu, tidak diperlukan bantuan atau tambahan alat bukti lain karena sesuai dengan ketentuan Pasal 169 HIR. Pasal 1911 KUH Perdata, keharusan melakukan penambahan alat bukti lain apabila saksi yang diajukan hanya terdiri dari satu saksi saja (unus testis).

BACA JUGA

Label:

MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Apa saja alat-alat bukti?
Alat bukti perdata ada berapa?
Apa itu 2 alat bukti yang sah?

Setiap alat bukti yang diajukan di persidangan sah bernilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian harus mencapai batas minimal. Jika tidak, alat bukti tersebut dikesampingkan dalam penilaian pembuktian. Batas minimal secara teknis dan populer dapat diartikan sebagai suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan. Apabila alat bukti yang diajukan dipersidangan tidak mencapai batas minimal, alat bukti tersebut tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.

Adapun patokan menentukan batas minimal pembuktian adalah patokan yang didasarkan kualitas tidak kuantitas. Menurut hukum, alat bukti yang berkualitas dan sah sebagai alat bukti adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil. Untuk mengetahui syarat formil dan syarat materiil apa yang melekat pada suatu alat bukti harus merujuk kepada ketentuan UU yangberkenaan dengan alat bukti yang bersangkutan karena syarat formil dan materiil yang melekat pada setiap alat bukti tidak sama, misalnya tidak sama syarat formil dan materil alat bukti saksi dengan akta.

Alat bukti dalam hukum acara perdata tertuang dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti surat (tertulis), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan dan sumpah.

1. Alat Bukti Surat (Tertulis) 

  • Pengertian alat bukti surat (tertulis) Alat bukti surat (tertulis) adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
  • Macam-macam alat bukti surat (tertulis) :
  1. Akta, yaitu suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akta adalahkesengajaan untuk menciptakan suatu alat bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Akta tersebut terbagi dua, yaitu:
  • Akta otentik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 165HIR, Pasal 258 RBg, Pasal 1868 KUH Perdata yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akta otentik dibuat “oleh” apabila pejabat yang berwenang tersebut membuat tentang apa yang dilakukannya, misalnya Juru sita Pengadilan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan dibuat “di hadapan” apabila pejabat yang berwenang tersebut menerangkan apa yang akan dilakukan oleh seseorang dan sekaligus meletakkannya dalam suatu akta, misalnya A dan B melakukan jual beli, mereka minta untuk dibuatkan akta jual-belinya kepada notaris dan notaris membuatkan akta tersebut di hadapan mereka.
2. Akta bawah tangan, yaitu segala tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Misalnya surat jual-beli tanah yang dibuat oleh ke dua belah pihak.Bukan akta, yaitu tulisan yang tidak sengaja dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.

3. Batas minimal pembuktian alat bukti tulisan. 

  1.  Akta otentik. Nilai kekuatan pembuktian akta otentik diatur dalam Pasal 1870 KUH Perdata, Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg yaitu sempurna dan mengikat. Sempurna berarti tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat berarti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim yaitu harus dianggap benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Suatu akta otentik, di dalamnya terdapat tiga macam kekuatan. Pertama, membuktikan kepada kedua pihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis dalam akta (kekuatan pembuktian formal). Kedua, membuktikan kepada kedua pihak bahwa peristiwa yang disebutkan dalam akta telah terjadi (kekuatan pembuktian materil) atau yang dinamakan kekuatan pembuktian “mengikat”. Ketiga, membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua pihak telah menghadap di muka pegawai umum dan menerangkan apa yang mereka tulis dalam akta tersebut. Kekuatan ketiga ini dinamakan kekuatan pembuktian ke luar. Arti ke luar adalah terhadap pihak ketiga atau dunia luar.
  2. Akta bawah tangan. Mengenai akta bawah tangan tidak diatur dalam HIR, akan tetapi diatur dalam RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten). Dengan demikian, perbedaan antara HIR dan RBg adalah kalau HIR hanya mengatur akta otentik, sedangkan RBg selain mengatur akta otentik juga mengatur akta di bawah tangan.24Menurut Pasal 288 Rbg bahwa sejak tanda tangan diakui, akta di bawah tangan itu memberikan pembuktian yang sama seperti akta otentik yaitu sempurna dan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris mereka. Akan tetapi, terhadap pihak ketiga akta bawah tangan tersebut tidak mengikat karena kekuatan pembuktian ke luar tidak dapat dicapai atau dimiliki oleh suatu akta bawah tangan.
  3. Tulisan-tulisan bukan akta. HIR dan RBG maupun KUH Perdata tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan yang bukan akta. Dengan demikian, tulisan-tulisan yang bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai tulisan-tulisan yang bukan akta tersebut.
Alat Bukti dengan Saksi:

a. Pengertian kesaksian Kesaksian yaitu alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi yang tidak m pihak dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan. Dengan demikian, unsur yang harus ada pada alat bukti kesaksian adalah: 

  1. Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi secara lisan di muka persidangan.
  2. Tujuan kesaksian untuk memberi kepastian kepada hakim tentang peristiwa yang dipersengketakan. 
  3. Saksi tidak merupakan salah satu pihak yang berperkara.
b. Macam-macam saksi :

  1. Saksi yang telah memenuhi kriteria sebagai alat bukti, yakni saksi yang terdiri dari dua orang yang telah memenuhi syarat formil dan materiil. 
  2. Saksi yang hanya satu orang (unus testis nullus testis). Hakim diperkenankan untuk menganggap satu peristiwa terbukti dari keterangan seorang saksi. Larangan untuk mempercayai keterangan seorang saksi sebagaimana yang dimaksud Pasal 169 HIR yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi tanpa ada alat bukti lain tidak dapat dipercaya dimaksudkan sebagai suatu larangan untuk mengabulkan suatu gugatan apabila dalil-dalil penggugat disangkal dan hanya dikuatkan oleh satu orang saksi saja.
  3. Saksi testimonium de auditu, yaitu saksi yang memberikan keterangan dari apa yang didengarnya dari orang lain. Saksi testimonium de auditu memang tidak ada artinya, akan tetapi hakim tidak dilarang untuk menerimanya, yang dilarang adalah apabila saksi tersebut menarik kesimpulan atau menurut istilah Pasal 171 (2) HIR atau Pasal 308 (2) RGB memberikan “pendapat atau perkiraan-perkiraan”.
c. Kekuatan pembuktian dengan alat bukti saksi Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, berdasarkan Pasal 1908 KUH Perdata dan Pasal 172 HIR bersifat bebas. Menurut pasal tersebut,hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasar kesamaan atau saling berhubugannya antara saksi yang satu dengan yang lain. Maksud pengertian nilai kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan dianggap tidak sempurna dan tidak mengikat dan hakim tidak terikat untuk menerima atau menolak kebenarannya.

Bertitik tolak dari nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, maka batas minimal pembuktian dengan alat bukti saksi yaitu saksi paling sedikit 2 (dua) orang yang telah memenuhi syarat formil dan materiil. Dengan demikian, satu orang saksi saja belum mencapai batas minimal pembuktian karena seorang saksi tidak merupakan kesaksian (unus testis nullus testis). Akan tetapi, apabila alat bukti seorang saksi dikuatkan dengan satu alat bukti lain serta keterangan saksi sesuai dengan alat bukti lain, maka hakim dapat memberikan putusan berdasarkan kedua alat bukti tersebut.

3. Persangkaan 

  1. Pengertian persangkaan Persangkaan adalah bukti kesimpulan oleh UU atau hakim yang ditarik dari peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.  Sedangkan Pitlo berpendapat bahwa persangkaan adalah uraian hakim, dengan mana hakim dari fakta yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.
  2. Macam-macam persangkaan:
  • 1) Persangkaan menurut hakim adalah kesimpulan hakim yang ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan sidang. Pengertian persangkaan menurut hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim. 
  • 2) Persangkaan menurut UU adalah persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus UU yang dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu. Persangkaan menurut UU dibagi atas dua jenis yaitu yang masih memungkinkan pembuktian lawan dan yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
d. Kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan:
  • Persangkaan menurut hakim mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Oleh karena itu, hakim bebas untuk menerima atau menolak kebenaran yang terdapat di dalam persangkaan tersebut. Dengan demikian, karena nilai kekuatan pembuktiannya bebas maka persangkaan menurut hakim tidak dapat berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau satu persangkaan dikuatkan dengan satu alat bukti lain.
  • Persangkaan menurut UU yang tidak memungkinkan pembuktian lawan, maka nilai kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna, mengikat dan memaksa. Dengan demikian, kebenaran yang melekat pada alat bukti ini bersifat imperatif bagi hakim untuk dijadikan sebagai dasar penilaian dalam mengambil putusan. Oleh karena pada alat bukti ini melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan, maka alat bukti tersebut dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain dan telah memenuhi batas minimal pembuktian.
  • Adapun persangkaan menurut UU yang memungkinkan pembuktian lawan, maka nilai pembuktiannya tidak absolut karena dapat dibantah dengan bukti lawan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti ini menjadi alat bukti permulaan dan tidak dapat berdiri sendiritetapi harus mendapat dukungan alat bukti lain agar dapat mencapai batas minimal pembuktian.
4. Pengakuan
Pengertian pengakuan yaitu suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan baik sebagian maupun seluruhnya.
Macam-macam pengakuan:
  1. Pengakuan murni yaitu pengakuan yang membenarkan secara keseluruhan gugatan penggugat.
  2. Pengakuan dengan kualifikasi yaitu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan sangkalan dari pihak lawan. 
  3. Pengakuan dengan klausul yaitu yang disertai dengan keterangan tambahan yang sifatnya dapat membebaskan diri dari gugatan. 
Kekuatan pembuktian alat bukti pengakuan:
  1. Pengakuan murni yang telah memenuhi syarat formil dan meteriil, nilai kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna, mengikat dan menentukan. Dengan demikian, kebenaran yang terkandung dalam pengakuan murni merupakan kekuatan yang bersifat mutlak sehingga para pihak dan hakim terikat untuk menerima kebenaran tersebut dan hakim harus mempergunakannya sebagai dasar penyelesaian. Syarat formil pengakuan yaitu disampaikan dalam proses persidangan dan pengakuan diberikan oleh pihak materil/kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis dalam replik-duplik atau kesimpulan. Sedangkan syarat materil pengakuan yaitu pengakuan berhubungan langsung dengan pokok perkara, tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan ketertiban umum serta tidak merupakan kebohongan.
  2. Pengakuan dengan klausula dan kualifikasi. Adapun pengakuan dengan klausula dan pengakuan dengan klasifikasi dalam praktik tidak begitu mudah membedakan antara keduanya sehingga yang sering diterapkan adalah pengakuan dengan klausula meskipun yang sebenarnya terjadi secara teoritis adalah pengakuan dengan kualifikasi. Pengakuan dengan klausul harus ditegakkan prinsip tidak boleh dipecah. Hakim tidak boleh menerima sebagian yang menguntungkan pihak lain dan menolak pengakuan yang merugikan pihak yang mengaku, tetapi pengakuan tersebut harus diterima secara keseluruhan dipertimbangkan oleh hakim dengan seksama. Dengan demikian, nilai pembuktiannya bersifat bebas bahkan sifat kekuatan pembuktiannya hanya sebagai alat bukti permulaan. Oleh karena sifat kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti permulaan, maka batas minimal pembuktiannya harus dikuatkan dengan satu alat bukti lain.
5. Sumpah
Sumpah adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Macam-macam Sumpah:
  1. Sumpah decisoir (sumpah pemutus), adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara.
  2.  Sumpah supletoir (sumpah pelengkap), adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah (melengkapi) pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Dengan demikian, sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara apabila telah ada alat bukti permulaan, tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Permulaan pembuktian ini berbagai macam bentuknya, dapat berupa satu orang saksi, tulisan yang bukan akta atau hanya ada pengakuan di luar sidang pengadilan dan sebagainya. Apabila tidak ada alat bukti maka hakim tidak boleh memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah tambahan, demikian pula apabila sudah ada alat bukti telah mencapai batas minimal pembuktian.
  3. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran), adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya. Sumpah ini dibebankan oleh hakim kepada penggugat apabila penggugat telah berhasil membuktikan haknya atas ganti kerugian akan tetapi jumlahnya tidak jelas.
Kekuatan Sumpah:
  1. Sumpah decisoir (pemutus) mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan dan secara mutlak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain sehingga tidak memungkinkan adanya pembuktianlawan. Hal ini disebabkan karena UU telah menentukan apabila seseorang telah mengucapkan sumpah dalam persidangan dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pihak dalam perkara yang sedang disidangkan, maka secara formil keterangan yang diikrarkan itu wajib dianggap benar. Pasal 1936 KUH Perdata melarang untuk membuktikan kepalsuan sumpah tersebut. Sedangkan Pasal 177 HIR menegaskan bahwa hakim tidak boleh meminta alat bukti lain untuk membuktikan hal yang telah diikrarkan dalam sumpah.
  2. Sumpah supletoir (pelengkap) mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan sumpah pemutus, yakni bersifat sempurna, mengikat dan memaksa sehingga hakim secara mutlak terikat menerima kebenarannya dan putusan yang dijatuhkan bertitik tolak dari alat bukti tersebut. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa sumpah pelengkap ini hanya mempunyai nilai kekuatan penyempurna dan pengikat sehingga terhadapnya dapat diajukan bukti lawan apabila pihak lawan dapat membuktikan bahwa sumpah tersebut palsu.
  3. Sumpah aestimatoir (penaksir), nilai kekuatan pembuktian sumpah penaksir oleh M. Yahya Harahap disebut sempurna, mengikat dan menentukan. Kekuatan pembuktian sumpah penaksir ini disebutkandalam Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR/ 1936 KUH Perdata sebagai pembuktian yang tidak boleh dimintakan bukti lain untuk menguatkan apa yang telah diucapkannya. Namun demikian, menurut Sudikno Mertokusumo kekuatan pembuktian sumpah penaksir sama dengan sumpah tambahan, yaitu bersifat sempurna dan memungkinkan pembuktian lawan.

BACA JUGA

Label:

Teori-Teori Pembuktian Hukum Acara Peradilan Agama

Apa yang dimaksud pembuktian dalam hukum acara peradilan agama?
Apa yang dimaksud dengan teori pembuktian?
Teori pembuktian apa saja yang ada dalam hukum acara perdata?

Terdapat dua aliran mengenai kekuatan alat bukti: 

  1. Teori vrijbewijs. Teori ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai alat bukti. 
  2. Teori verplichtbewijs. Teori ini menyatakan bahwa hakim terikat oleh alat-alat bukti.
Adapun ketentuan yang terdapat HIR (Herzien Inlandsch Reglement) menganut gabungan dari teori-teori tersebut, artinya ada ketentuan bahwa hakim terikat dan ada pula yang mengatakan bahwa hakim bebas menilai alat-alat bukti tersebut. Misalnya dalam hal sumpah decisioir hakim terikat oleh sumpah tersebut dan harus dianggap benar oleh hakim. Sedangkan contoh hakim bebas menilai alat bukti yaitu dalam menilai alat bukti saksi.

Sudikno Mertokusumo dalam Rasyid  terkait pembuktian mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian”. Berhubung hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU maka tentang hal tersebut timbul tiga teori, yakni:
  1. Teori pembuktian bebas. Teori ini menghendaki seorang hakim bebas dalam menilai alat bukti yang diajukan. Misalnya untuk menilai keterangan saksi, hakim bebas untuk menilainya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 172 HIR atau Pasal 308 RBg dan 1908 KUH Perdata.
  2. Teori pembuktian negatif, dalam menilai pembuktian harus ada ketentuanketentuan bersifat negatif yang mengikat dan membatasi hakim dan melarang hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Misalnya ketentuan Pasal 169 HIR atau Pasal 306 RBg dan 1906 KUH Perdata bahwa keterangan seorang saksi saja tidak boleh dipercaya oleh hakim (unus testis nullus testis). 
  3. Teori pembuktian positif, disamping adanya larangan bagi hakim, juga mengharuskan adanya perintah kepada seorang hakim untuk tidak menilailain selain apa yang dikemukakan pihak. Misalnya ketentuan Pasal 165 HIR atau Pasal 285 RBg dan Pasal 1870 KUH Perdata, bahwa pembuktian dengan surat akta otentik dianggap bukti yang sempurna yang harus diterima.
BACA JUGA

Label:

Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Hukum Acara Peradilan Agama

Apa yang dimaksud dengan hukum pembuktian?
Apa saja alat bukti dalam hukum acara Peradilan Agama?


Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakakan hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Umum. Menurut R. Subekti dalam Manan, yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim. Sedangkan menurut Manan,3 pengertian pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan UU.

Adapun menurut Achmad Ali, pembuktian adalah upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan persengketaan mereka atau untuk memberi kepastian tentang peristiwa hukum tertentu, dengan menggunakan alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga dapat dihasilkan suatu penetapan atau putusan pengadilan.

Pembuktian merupakan salah satu rangkaian tindakan hakim dalam melaksanakan tugas pokok pemeriksaan perkara yaitu mengonstatir perkara. Adapun tugas pokok hakim dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan secara berurut dan sistematis, yaitu: pertama mengonstatir perkara yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang berperkara, sebagaimana halnya pembuktian. Kedua, mengualifisir peristiwa yang telah dikonstatir hukumnya atau mengadili menurut hukum dan yang ketiga, menetapkan dan menerapkan hukumnya untuk keadilan.

Adapun arti membuktikan yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Asas hukum pembuktian ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal 283 RBg yang berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau iamenyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” Inti pokok dari pernyataan di atas dapat dirinci sebagai berikut:  

  1. Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya tersebut.
  2. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. 
  3. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang lain harus membuktikan adanya peristiwa tersebut.
Praktik substansi asas pembuktian ini diterapkan secara selektif dalam proses peradilan. Dalam artian, tidak semua fakta-fakta hukum harus dibuktikan di persidangan. Adapun fakta-fakta hukum yang tidak harus dibuktikan di persidangan mencakup mengenai hal-hal: 

  1. Apabila pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat gugatan penggugat atau para penggugat. 
  2. Apabila pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat gugatan penggugat atau para penggugat karena dianggap mengakui kebenaran surat tersebut. 
  3. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah pemutus. 
  4. Apabila majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah mengetahui fakta-faktanya. Maksudnya, Majelis Hakim/Hakim karena jabatannya dianggap telah mnegetahui fakta-fakta tertentu dan kebenaran fakta-fakta ini dianggap telah diketahui oleh Majelis Hakim sehingga pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari fakta-fakta prosesuil, yaitu fakta-fakta yang terjadi selama poses persidangan berjalan dan dilihat sendiri oleh hakim, seperti dalam persidangan para pihak tidak hadir, pengakuan salah satu pihak di persidangan dan lain sebagainya.

BACA JUGA

Label:

Yurisprudensi pemeriksaan perkara banding di Indonesia


1.     Putusan tidak memperhatikan memori banding.

-        Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal 11 April 1955 : “ Karena pengadilan tinggi tidak memperhatikan memori banding, akibatnya putusan pengadilan tinggi tersebut harus dibatalkan.

2.     Tidak wajib meninjau satu persatu dalil-dalil dalam memori banding.

-        Putusan MA No. 247 K/Sip/1953, tanggal 6 April 1955 : “Hakim banding tidak wajib meninjau satu per satu dalil-dalil yang termuat dalam memori banding dan juga tidak wajib meninjau satu per satu segala pertimbangan dari hakim pertama”.

3.     Keberatan pembanding diabaikan.

-        Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal 11 April 1956 :”Keberatan-keberatan Pembanding yang tercantum dalam memori banding, wajib dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi dalam putusannya”.

4.     Hakim tinggi boleh mengambil alih alasan-alasan hakim pengadilan negeri.

-        Putusan MA No. 143 K/Sip/1956, tanggal 14 Agustus 1957 :” Semenjak zaman Hindia Belanda dalam praktik “Raden van Justitie” dalam apel, tidak mengharuskan kepada hakim banding untuk meninjau, serta mempertimbangkan semua hal, satu demi satu tentang apa saja yang oleh pembanding diajukan di dalam memori bandingnya. Hakim banding dapat mengoper penuh terhadap alasan-alasan hukum Hakim Pertama Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah benar dan tepat. Dengan “sikap mengoper”


tersebut, hakim banding sesungguhnya telah memperlihatkan pendiriannya bahwa pengadilan tinggi tidak menyetujui dalil-dalil yang di dalam “Memori Banding”.

5.     Memori banding tidak disampaikan kepada terbanding.

-        Putusan MA No.74/Sip/1955, tanggal 12 September 1957 :”Dalam hal pemeriksaan banding, memori tidak diberitahukan kepada pihak lawan, putusan pengadilan yang bersangkutan patut dibatalkan”.

6.     Mengambil alih pertimbangan hakim pengadilan negeri.

-          Putusan MA No.786 K/Sip/1972, tanggal 3 Januari 1972 :”Pengadilan Tinggi adalah berwenang untuk mengambil alih semua pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan negeri yang oleh Pengadilan Tinggi dinilainya pertimbangan tersebut telah benar dan tepat dalam mengadili perkara yang dimohon banding tersebut.

7.     Pemeriksaan perkara di tingkat banding.

-          Putusan MA No. 951 K/Sip/1973, tanggal 9 Oktober 1975 :” Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding—pengadilan tinggi yang hanya memeriksa keberatan- keberatan yang diajukan oleh pembanding saja, adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut, baik faktanya, maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim pertama”.

8.     Pemeriksaan perkara di tingkat banding.

-          Putusan MA No. 194 K/Sip/1975, tanggal 30 November 1976 :”Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat banding, dalam memeriksa perkara perdata yang dimohon banding harus memeriksa dan memberikan putusan perkara tersebut secara keseluruhannya, baik yang konpensi maupun yang rekonvensi yang telah diputus oleh peradilan tingkat pertama”.

9.     Permohonan banding oleh yang bukan pihak.

-          Putusan MA No. 207 K/AG/1993, tanggal 25 November 1994 ;”Permohonan banding yang diajukan oleh orang yang bukan merupakan pihak dalam pengadilan tingkat pertama, maka permohonan banding tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama. Upaya hukumnya seharusnya adalah mengajukan perlawanan (verzet).

10.  Putusan sela tidak dapat dibanding secara tersendiri.


-          Putusan MA No. 316 K/Pdt/1994, tanggal 28 Mei 1997 :”Terhadap putusan sela tidak dapat diajukan banding secara berdiri sendiri, harus lebih dahulu ditunggu putusan akhir, baru dapat diajukan banding bersama-sama dengan putusan akhir.

11.  Banding putusan dan surat kuasanya.

-          Putusan MA No. 202 K/Sip/1953, tanggal 6 Juli 1955 :”Suatu surat kuasa yang isinya menyatakan bahwa pemberian kuasa ini untuk menggunakan segala upaya hukum terhadap putusan Pengadilan dapat ditafsirkan (dianggap) termasuk juga untuk mengajukan permohonan banding”.

12.  Keberatan pembanding diabaikan.

-          Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal 11 April 1956 : “Keberatan-keberatan Pembanding yang tercantum dalam memori banding, wajib dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi dalam putusannya”.

13.  Masalah surat kuasa banding.

-          Putusan MA No.117 K/Sip/1955, tanggal 8 Mei 1957 :”Suatu surat kuasa yang isinya tidak dengan tegas menyebutkan pemberian kuasa untuk mohon banding, seperti dalam kasus ini hanya dipakai kalimat : Menolak segala macam putusan yang merugikan, maka surat kuasa ini tidak dapat diterima untuk mengajukan permohonan banding”.

14.  Masalah memori banding.

-          Putusan MA No. 143 K/Sip/1956, tanggal 14 Agustus 1957 :”Semenjak zaman Hindia Belanda dalam praktek Raden van Justitie dalam appel, tidak mengharuskan kepada Hakim Banding untuk meninjau, serta mempertimbangkan semua hal, satu demi satu tentang apa saja yang oleh Pembanding diajukan di dalam memori bandingnya. Hakim Banding dapat mengoper penuh terhadap alasan-alasan hukum putusan Hakim Pertama Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah benar dan tepat. Dengan sikap mengoper tersebut, Hakim Banding sesungguhnya telah memperlihatkan pendiriannya bahwa Pengadilan Tinggi tidak menyetujui dalil-dalil yang ada di dalam Memori Banding”.

15.  Masalah pembuktian oleh pengadilan tinggi.

-          Putusan MA No. 25 K/Sip/1957, tanggal 18 September 1957 :


·    Pemohon Kasasi dalam memori kasasi mengemukakan keberatan terhadap putusan akhir Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa tanah sengketa adalah tanah partikelir.

·    Kesimpulan ini adalah hasil pembuktian oleh Pengadilan Tinggi yang diperoleh dari hasil pembuktian berupa “perslah keahlian” yang dibuat oleh Ahli Agraria dan disidang ahli ini, juga disumpah sebagi Ahli. Disamping itu didengar pula beberapa orang saksi di bawah sumpah. Upaya pembuktian oleh Pengadilan Tinggi dengan hasil kesimpulan tersebut di atas telah ditentang oleh Pemohon Kasasi.

·    Majelis Mahkamah Agung menilai bahwa Pengadilan Tinggi dalam cara pembuktian tersebut di atas, ternyata tidak melanggar UU atau Hukum dan Hasil pembuktian itu adalah bersifat kenyataan yang tidak takluk akan kasasi. Dengan pertimbangan ini Mahkamah Agung menolak kasasi dari pemohon kasasi”.

16.  Pemeriksaan secara keseluruhan.

-          Putusan MA No.46 K/Sip/1969, tanggal 9 Juni 1971 :”

·     Majelis Hakim Pertama telah memberi putusannya. Tiga orang Tergugat menolak putusan ini dan mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Dari permohonan banding, secara formil, hanya seorang Pemohon banding yang dapat diterima, sedang tiga orang Pemohon yang lain tidak dapat diterima.

·     Majelis Hakim Banding dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, seharusnya memeriksa perkara ini secara keseluruhan terhadap semua kepentingan para Pembanding, termasuk Pembanding yang permohonan bandingnya dinyatakan tidak dapat diterima.

17.  Memori banding dalam upaya hukum banding.

-          Putusan MA No.663 K/Sip/1971, tanggal 6 Agustus 1973 ;”Undang-undang tidak mewajibkan pemohon banding (Pembanding) untuk menyerahkan memori banding ke Pengadilan Tinggi sewaktu perkara yang dimohon banding tersebut diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi. Karena itu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang tidak memenuhi permintaan Pembanding agar pemeriksaan ditangguhkan, karena Pembanding akan menyerahkan memori banding, bukan merupakan pelanggaran terhadap Hukum Acara Perdata oleh Hakim”.


18.  Memori/risalah banding.

-          Putusan MA No. 663 K/Sip/1971, tanggal 6 Agustus 1973 :” Undang-undang yang mengatur pemeriksaan ulangan terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama, di dalam perkara perdata tidak mewajibkan si pemohon banding untuk mengajukan keberatan- keberatannya di dalam risalah banding atau memori banding.

19.  Cara pemeriksaan di tingkat banding.

-          Putusan MA No. 951 K/Sip/1973, tanggal 9 Oktober 1975 :”Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding-Pengadilan Tinggi yang hanya memeriksa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pembanding saja, adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut, baik faktanya, maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim pertama”.

20.  Para pihak tidak perlu hadir.

-          Putusan MA No. 23 K/Sip/1973, tanggal 19 Nopember 1975 :”Persidangan dalam memeriksa putusan perkara gugatan perdata yang dimohon banding ke Pengadilan Tinggi yang tidak dihadiri para pihak adalah tidak bertentangan dengan hukum acara, sehingga baik sidangnya maupun putusan Pengadilan Tinggi a quo adah sah menurut hukum. Dasar hukumnya UU No. 20/tahun 1947 jo UU No.1/tahun 1951 pasal II ayat (1) (2)”.

21.  Asas pemeriksaan tingkat banding.

-          Putusan MA No. 281 K/Sip/1973 tanggal 2 Desember 1975 :”Asas hukum acara perdata yang berlaku bagi cara pemeriksaan putusan Hakim yang dimohonkan banding adalah bahwa fokus pemeriksaan oleh Pengadilan Tinggi hanya terbatas pada Putusan Pengadilan Negeri yang dianggap merugikan pihak yang mohon banding. Jadi pemeriksaannya tidak diarahkan pada dictum putusan PN yang menguntungkan baginya”.

22.  Banding atas putusan arbitrase:

-          Putusan MA No. 1/Banding/Wasit/1981, tanggal 10 Juli 1984 ;”Para pihak yang telah bersepakat bahwa terhadap putusan panitia arbitrase tidak dapat diajukan banding, ex Pasal 641 Rv jo Pasal 377 HIR, oleh karena itu maka permohonan banding tersebut adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung”.

23.  Banding keputusan pendaftaran merek.


-          Putusan MA No. 432 K/TUN/2001, tanggal 29 Mei 2002 :”Upaya hukum banding terhadap penolakan permohonan pendaftaran merek Departemen Kehakiman dan HAM berdasar atas alasan yang bersifat substantive, seharusnya diajukan kepada komisi banding merek. Namun, karena komisi banding merek belum berjalan secara efektif, maka pihak yang dirugikan oleh Dir.Merek Dep Kehakiman tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Peratun- Peradilan Tata Usaha Negara ex Pasal 1 ayat (3) dari UU No. 5/tahun 1986.

BACA JUGA

Label: