Jumat, 20 Juli 2012

Hamzah Fansuri, Pemantik Peradaban Aceh


TAK banyak sejarah yang menukil seorang maestro peradaban yang tidak hanya dikenal di timur tapi juga di Barat. Dia Hamzah Fansuri, ulama yang pujangga nusantara. Dalam karya-karyanya ditemukan kunci peradaban satu kaum (Aceh). Di Malaysia, sastra menjadi tumpuan kaki peradaban Melayu, sehingga pujangga ditempatkan di atas para intelektual.

Jika kita simak satu lagu Aceh yang sering dinyanyikan oleh Rafly, maka kita tidak akan bisa melupakan syair berikut.

//Wahai muda kenali dirimu/ ialah, perahu tamsil tubuhmu
tiadalah berapa lama hidupmu/ ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif budiman/ hasilkan kemudi dengan pedoman
alat perahumu jua kerjakan/ itulah jalan membetuli insan

Wujud Allah nama perahunya/ ilmu Allah akan kurungnya
iman Allah nama kemudinya/ yakin akan Allah nama pawangnya

Tuntuti ilmu jangan kepalang/ di dalam kubur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana datang/ menanyakan jikalau ada engkau sembahyang

Munkar wa Nakir bukan kepalang/ suaranya merdu bertambah garang
tongkatnya besar terlalu panjang/ cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenal dirimu hai anak Adam/ tatkala di dunia terangnya alam
sekarang di kubur tempatmu kelam/ tiadalah berbeda siang dan malam//
(Syair Perahu Hamzah Fansuri)


Bait syair itu tak asing di telinga orang Aceh lewat lagu Rafli Kande. Itulah syair karya pujangga besar Hamzah Fansuri; seorang ulama sufi terkenal pada masa pemerintahan Sultan Iskanda Muda. Syair itu menegaskan maqam spiritual sufistik seorang Hamzah Fansuri yang dituangkan di dalam untain syair yang amat indah dan bernas.

Harus diakui, walaupun di Aceh saat ini tidak satupun ahli mengenai pemikiran Hamzah Fansuri, namun karya-karnya bukan hanya dikenang pada zamannya tetapi terus menjadi bahan kajian para ilmuansampai saat ini. Dalam sejarah peradaban Asia, nama Hamzah Fansuri masuk ke dalam pemikir garda depan yang tidak hanya berhasil di dalam dunia tasawwuf, tetapi juga di dalam dunia sastra. Maka tak perlu kaget ketika Prof Dr. Naguib Alatas dalam bukunya “The Mysticcism of Hamzah Fansuri” mengatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu.

Hamzah Fansuri adalah “Jalaluddin Rumi”-nya kepulauan Nusantara. Bahkan, menurut Naguib, Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu. Sayang, syair Hamzah Fansuri tidak dimasukkan di dalam dunia pendidikan Aceh, sehingga, sosok Hamzah Fansuri kemudian “ditarik” pada akar budaya Melayu, bukan Aceh. Hal ini selain karena generasi Aceh tidak paham akan persoalan akar budaya sendiri.

Di beberapa negara Muslim, sang pujangga selalu dikenal dengan kewibawaan dan kebijaksanaan akan ilmu agama. Jalaluddin Rumi melalui Mathnawi telah berhasil memberikan kontribusi terhadap bagaimana tasawwuf bisa bersilaturrahmi dengan sastra. Lalu, Ikhwan al-Safa, juga telah berhasil memberikan pemikiran tasawwuf yang sampai sekarang masih dikaji dan diteliti. Ini bedanya dengan masyarakat Aceh, pemikiran ulama tasawwuf masih belum begitu penting. Belum lagi jika kita buka bagaimana karya-karya Ibnu ‘Arabi yang nasihat-nasihat sufistiknya penuh dengan ragam sastrawi.

Hamzah Fansuri, masih menurut Al-Attas, punya jasa besar dalam memajukan bahasa Melayu. Pengaruhnya luar biasa di kalangan cendikiawan Melayu, namun cukup sedikit kontribusinya dipelajari di Aceh. Bahasa Melayu sebagai linguafranka yang dijadikan bahasa nasional Indonesia, sebenarnya dipelopori pujangga Melayu seperti Hamzah Fansuri. Setidaknya unsure serapan yang kini digunakan. Hal ini karena pengetahuannya yang luas dalam bahasa Arab dan Persia. Dengan sendirinya, ia pun membawa pula pembaharuan di bidang logika atau ilmu mantiq. Lagi-lagi, setelah Naquib yang pernah menjadi Direktur ISTAC di Malaysia, tidak ada lagi generasi Melayu yang berhasil menemukan keaslian pemikiran Hamzah.

Dapat dikatakan dengan semangat pemikiran Hamzah lah, Naquib membangun suatu pusat peradaban Islam di Malaysia yang sudah banyak sekali alumninya, termasuk di Indonesia. Menurut sejarah, pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil 1589 - 1604 M.), terdapat dua orang ulama keturunan Syekh Al Fansuri mendirikan dua Pusat Pendidikan Islam di pantai barat Tanah Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah Singkil.

Ali Al Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan. Adapun adiknya, Hamzah, mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng pada tahun 1592 M. Syekh Ali H Fansuri dikurniai seorang putera dan diberi nama Abdurrauf. Ulama inilah yang kemudian menjadi seorang Ulama Besar yaitu Syekh Abdurrauf Alfansuri Asshingkili atau Teungku Syiahkuala yang kuburannya terdapat di Kecamatan Syiah Kuala saat ini.

Teka-teki Hamzah
Mengenai kelahiran Syeikh Hamzah Fansuri sampai sekarang masih merupakan teka-teki. Demikian juga tahun kapan ia meninggal tak diketahui secara pasti. Namun beliau menjadi ulama yang sangat berpengaruh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Tuduhan Nuruddin Arraniri bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan yang sesat (zindiq), ternyata keliru. Dalam sajak-sajaknya sendiri Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu atau pengikut-pengikutnya yang telah menyelewengkan ajaran tasawuf yang sebenarnya. Kata Hamzah :
//Segala muda dan sopan/ Segala tuan berhuban/ Uzlatnya berbulan-bulan/ Mencari Tuhan ke dalam hutan/ Segala menjadi “sufi”/ Segala menjadi “shawqi” (=pencinta kepayang)/ Segala menjadi Ruhi (roh)/ Gusar dan masam di atas bumi (menolak dunia)//

Sebagaimana lazimnya “Penyair Sufi”, maka sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam; rindu kepada Mahbubnya, Kekasihnya, Khaliqnya, Allah Yang Maha Esa. Karena itulah, maka “Karya Tulis” Hamzah Fansuri sukar dimengerti dan dipahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasauwuf/Penyair Sufi. Mungkin termasuk Ar-raniry tak mampu menjangkau Hamzah. Inilah kunci kenapa pemikiran tasawwuf sulit dipahami jika seseorang tidak mengalami pengalaman spiritual.

Karya Hamzah yang terkenal, antara lain pertama, Asraarul Arifiin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid, yang membahas masalah-masalah ilmu tauhid dan ilmu thariqat. Kedua, Syaraabul Asyiqin, yang membicarakan masalah-masalah thariqat, syariat, haqiqat dan makrifat. Ketiga, Al Muntahi, yang membicarakan masalah-masalah tasauwuf. Keempat, Rubah Hamzah Fansuri, syair sufi yang penuh butir-butir filsafat. Kelima, Syair Burung Unggas, juga sajak sufi yang dalam maksudnya.

Menurut Hamzah Fansuri, bahwa manusia yang telah menjadi “Insan Kamil” tidak ada lagi pembatas antara dia dan Mahbubnya. Ini pemikiran yang juga pernah berkembang di dalam Islam yaitu Mansur al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan di Indonesia juga pernah digulirkan oleh Syeikh Siti Jenar. Pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta meninggal 27 Desember 1636 M. Syekh Hamzah Fansuri tokoh agung nusantara, ulama sangat dikenal di Asia Tenggara ini, walaupun di negerinya sendiri dilupakan, wafat di Singkil, dekat kota kecil Rundeng. Beliau dimakamkan di Kampung Oboh Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel Makamnya sangat dimuliakan.

Inilah sepenggal seorang maestro peradaban, ulama Aceh pengawal rantau asia yang telah menjadi milik dunia, namun tercecer dari catatan sejarah bangsa ini akibat hegemoni politik dan fitnah. Masih banyak misteri kehidupan Hamzah Fansuri yang belum terkuak, terutama kampong halamannya dan bagaimana akhir kehidupannya. Padahal pengaruh pemikirannya sedikit banyak telah mewarnai pemikiran keislaman di Nusantara. Akhirnya, saya berharap semangat intelektual Hamzah Fansuri ini perlu dibangkitkan dan dijadikan sebagai sebuah simbol kemegahan dunia Aceh. Karena Hamzah bagaimanapun adalah seorang pujangga yang tidak ada tandingannya.
--------
Penulis : M Adli Abdullah
Sumber : www.serambinews.com
BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda