Senin, 09 Januari 2023

KECAMAN FEMINIST TERHADAP POLIGAMI

 

Kecaman terhadap poligami oleh para feminist terjadi karena poligami sering sekali disalah tafsirkan oleh beberapa kalangan, terutama bagi kalangan-kalangan yang memahami dan memaknai ayat-ayat al-Qur’an hanya dari segi tekstual semata, tanpa mau memperhatikan aspek konstektualitas dan sejarah (Asbabun Nuzul) dari ayat-ayat al-Qur’an. Sebagi contoh ayat diatas (an-Nisa :3) dianggap sebagai harga mati akan sahnya perkawinan poligami, yang pada akhirnya akan melanggar nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat. Jumlah istri yang dihalal kan untuk dinikahi pun bervariasi sesuai dengan tafsiran masing-masing kalangan, ada yang menafsirkan jumlah maksimal istri adalah empat orang, sembilan orang bahkan sampai duapuluh orang.

Sejatinya poligami yang berdasarkan atas godaan syahwat nakal semata yang dibungkus oleh legalitas semu tersebut tidak bisa dibenarkan dalam hukum Islam, karena pernikahan dapat berubah-ubah hukumnya dari halal, haram, sunnah, dan makhruh, sesuai dengan tujuan menikah itu sendiri. Apabila seseorang menikah hanya untuk bertujuan untuk “melegalkan” perzinahan, maka itu dapat diklasifikasikan sebagai “nikah yang haram” (ahkamul khamsah). Karena dasar dari perkawinan adalah komitmen dan cinta kasih bukan nafsu semata. Poligami yang dilakukan lewat penafsiran sempit ini memang telah menodai komitmen suci dalam berumah tangga, menafikan nilai-nilai keadilan dan melunturkan kasih dan cinta dalam keluarga yang sudah lama dibina.


BACA JUGA

Label:

POLIGAMI DALAM PANDANGAN ULAMA

 

Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, mu’amalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.[1]

Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh dengan sengit menentang poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di Mesir, dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih dipraktekkan secara luas.[2] Dan bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya dan tidak membuat kerusakan.[3] Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.[4]

Sedangkan M. Shah}ru>r berpendapat bahwa menikah (poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[5]

Dalam masalah poligami Shah}ru>r menyatakan bahwa sesungguhnya Allah swt tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu; pertama, bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak-anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat tersebut.[6] Dua syarat yang dikemukakan oleh Shah}ru>r tersebut berdasarkan struktur kaidah bahasa dalam firman Allah: “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat” Shah}ru>r juga melihat bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-kata yang halus “ma tha>ba lakum” (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum min al-nisa>” ini merupakan salah satu penghormatan terhadap perkawinan.[7]

Poligami yang termaktub dalam QS. al-Nisa>’ (4):3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu tepat kiranya T{ha>ha> Husain menyatakan bahwa al-Qur’an adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyyah (pra-Islam). Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan al-Qur’an merekamnya melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, al-Qur’an merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat itu.[8]

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama sependapat bahwa yang menjadi syarat mutlak dalam poligami selain keadilan dalam memberi nafkah juga dipersyaratkan adil dalam pembagian waktu menggilir istri-istrinya. Ketentuan waktu giliran  itu setidaknya tidak boleh kurang dari satu malam dan sebanyak-banyaknya tidak boleh lebih dari tiga malam, pembagian itu harus benar-benar adil dengan menjadikan praktek poligami Rasulullah SAW Sebagai tauladan, kecuali jika terdapat kerelaan diantara para istri untuk memberikan waktu  gilirannya  kepada  istri  yang  lain.



BACA JUGA

Label:

MENGAPA NABI SAW MELARANG ALI RA BERPOLIGAMI?

 

Yang kita pertanyakan mengapa Nabi melarang Ali untuk berpoligami ?, dan mengapa Nabi tidak rela kalau anaknya dimadu (dipoligami)?. Bahwa hadits yang telah diangkat oleh Ibu Musda bukanlah hanya diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Turmudzi dan Ibnu majah saja, tetapi masih banyak perowi lain yang meriwayatkan.[1]Sebagaimana  hadits dibawah ini dengan lafadz Baihaqi.

أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَخْبَرَهُ : أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ خَطَبَ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ وَعِنْدَهُ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا سَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ لَهُ : إِنَّ قَوْمَكَ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّكَ لاَ تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِىٌّ نَاكِحٌ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ. قَالَ الْمِسْوَرُ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ :« أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ فَحَدَّثَنِى فَصَدَقَنِى وَإِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ بَضْعَةٌ مِنِّى وَإِنِّى أَكْرَهُ أَنْ يَفْتِنُوهَا وَإِنَّهُ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ ابْنَةُ رَسُولِ اللَّهِ وَابْنَةُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا ». فَتَرَكَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ الْخِطْبَةَ.

“Bahwasanya Miswar bin Makhramah menghabarkanya kepada Ali bin Husein : Bahwasanya Ali bin Abi Tholib ra hendak melamar putri Abu Jahal (berpoligami), dan  Ali masih memiliki Istri Fathimah binti Rosulullah saw, ketika Fathimah mendengarnya, maka ia menghadap Rosulullah saw, kemudian berkata: Sesungguhnya umatmu membicarakan bahwa engkau tidak marah kepada putrimu ketika Ali hendak berpoligami, menikahi putri Abu Jahal”. Miswar berkata: bahwa Nabi SAW. Berdiri dan saya mendengarkan ketika beliau bersaksi kemudian bersabda: “adapun setelah itu, maka sesungguhnya aku telah menikahkan Abu Al-Ash kemudian ia berbicara kepadaku  dan aku membenarkan. Dan sesungguhnya Fathimah binti Muhammad saw. Adalah darah dagingku dan sesungguhnya aku marah jika ada yang memfitnahnya. Demi Allah, sesungguhnya tidak akan bisa berkumpul putri Rosulullah dengan putri musuh Allah selamanya dalam satu laki-laki (dipoligami).” Maka Ali ra membatalkan rencana khitbahnya. Diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitab Shohihnya dari Abi al-Yamani dan diriwayatkan Muslim dari Abdillah Bin Abdirrohman al-Darimi dari Abi al-Yamani dan juga diriwayatkan dari Muhammad bin Amru bin Halhalh dari Ibnu Syihab dari Ali dari Miswar maka dia menambahkan: dia telah memberitahukan kepadaku, aku membenarkanya, aku berjanji maka aku menepati dan sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram.[2]

Dari hadits di atas marilah kita dudukkan apa yang ada pada poin satu dan dua diatas, Pertama, mengapa Nabi melarang keinginan Ali berpoligami, dalam hadis di atas sangat jelas Nabi melarang karena calon istri kedua Ali anak Abu Jahal dan Nabi dengan tegas mengatakan tidak akan bisa berkumpul putri Nabi dengan putri musuh Allah dalam satu laki-laki. Kedua, ketidakrelaan Nabi anaknya dimadu, bukan karena menolak poligami tetapi menolak pengumpulan putri beliau dengan putri Abu Jahal  dalam satu laki-laki (Poligami). Maka dengan tegas Rosulullah melanjutkan dari apa yang telah dia sampaikan: sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.



[1] Lihat Sunan Baihaqi, juz .2, no hadits. 15197, Muslim, juz. 4. no. hadits. 2449, 6463, Ibnu Majah, bab al-Ghiroh, juz . 6, no hadits 2077, Ibnu Hibban, jus. 15, no hadits. 536 dan juz 29, no hadits. 7185. Jaami’ al-Ushul, No Hadts, 9066.

[2] Ali Baihaqi,  sunan al Kubra, juz II, Majlis Dairotu al-Ma’arif al-Nidhomiyah al-Kainah, Hindia,  cet. Pertama.1344, 291,

BACA JUGA

Label:

Minggu, 08 Januari 2023

PERAN POLITISI PEREMPUAN DALAM PERJANJIAN HUDAIBIYAH

 

Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam   perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.

Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.

                Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.  

 Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah, mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.[1]

Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.[2]

Perjanjian Hudaibiyah merupakan titik awal kemenangan umat Islam dalam melakukan deplomasi dengan pihak Quraisy. Meski disangsikan oleh para sahabat Muhammad kokoh dalam pendiriannya karena baginya memenangan yang hakiki bukan pada waktu terjadinya perjanjian. Kemenangan yang sebenarnya adalah pasca terjadinya perjanjian. Ini berarti Muhammad merupakan pemimpin yang mempunyai pandangan kedepan, yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Maka terbukti ketika perjanjian berjalan selam satu tahun disaat umat Islam diperkenankan melakukan ibadah haji, maka pengaruh dari ritual itu sangat terasa sekali bagi perkembangan Islam. Ini disebabkan umat Islam diberi wewenang untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan famili-famili mereka yang masih kafir di Makah untuk diajak memeluk agama Islam. Meski ini disaksikan oleh orang-orang Quraisy, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena terikat kontrak yang tidak akan saling memerangi selama 10 tahun. Ini adalah kemengan yang nyata sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah dalam surat al-Fath. Mudah-mudahan Islam tetap kokoh ditengah-tengah krisis moral.



[1] Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336.

[2] Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009.

BACA JUGA

Label:

POLEMIK SUKARNO DAN NATSIR

 

Polemik Soekarno dan Natsir yang secara garis besar mewakili pandangan-pandangan dua kelompok besar di Indonesia, yaitu para nasionalis Sekuler dan naionalis Islam sebagian besar menentukan bentuk dan perkembangan diskusi di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).[1]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan pada 17 Agustus 1945 masalah baru tibul kembali, yakni adanya keberatan dari kelompok agama minoritas mengenai tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kelompok minoritas yang berasal dari Indonesia Timur[2] seperti Bali, Maluku, Plores dan Sulawesi  mengancam tidak akan mau bergabung dengan Indonesia jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tetap dimasukkan ke dalam Preambule UUD 1945.[3] Melalui perdebatan yang panjang mengenai pro dan kontra tentang penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, akhirnya dalam pertemuan yang mendadak yang dimotori oleh Soekarno dan Muhammad Hatta, beberapa saat sebelum sidang PPKI dilakukan pada 18 Agustus 1945, terjadi penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta untuk pembukaan UUD 1945.

Kompromi politikpun terjadi antara Muhammad Hatta yang mewakili kalangan nasionalis dengan Kasman Singodimedjo yang mewakili dari kalangan Islam. Kompromi politik tersebut diambil guna untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat itu baru berusia satu tahun.[4] Kalangan Islam pada akhirnya menyetujuai perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” .[5] Dalam sidang pada 18 Agustus 1945, PPKI mensahkan UUD 1945 sebagai dasar konsitusi Indonesia dan mengakhiri perdebatan dan perselisihan mengenai dasar negara Indonesia.



[1] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 10.

[2] Khairullah Zikri, “The Jakarta Charter and the Construction of Indonesian Identity”, En Arche, Indonesian Journal of Inter-Religious Studies, Vol. 1, No. 2 (2012), 109.

[3] Saifuddin Anshari, “The Jakarta Charter of June 1945:..., 66.

[4] Haidar Nassir, Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Idiologis di Indonesia...,241

[5] Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: Hudaya, 1970), 21-22.

BACA JUGA

Label:

Minggu, 01 Januari 2023

POLIGAMI DALAM PANDANGAN ISLAM

Di dalam fase kehidupan manusia, akan menjumpai fase dimana seseorang menginginkan terjadi sebuah pernikahan. Di dalam Agama Islam sendiri, pernikahan merupakan salah satu sunnah dari Rasulullah dan menjadi ibadah yang terpanjang atau terlama. Pernikahan merupakan cita-cita bagi semua orang. Keinginan memiliki rumah tangga yang harmonis yang sering disebut orang-orang sakinah, mawadah dan warohmah merupakan rumah tangga dambaan semua orang. Namun, apabila di dalam rumah tangga tersebut ada orang ketiga atau suami ingin menikah lagi bagaimana? Seputar hal tersebut poligami atau memiliki istri lebih dari satu banyak mengundang kontroversi pro dan kontra. Lalu bagaimana pandangan dalam Agama Islam tentang poligami?

1.     Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang.

Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa Inggris adalah “Poligamy” dan disebut تَعَدُّدُ الزَّوْجَات dalam hukum Islam, yang berarti beristri lebih dari seorang wanita. Begitu pula dengan istilah poliandri berasal dari bahasa Inggris “poliandry” dan disebut تعدّد الأزوج atauتعددالبعول dalam hukum Islam, yang berarti bersuami lebih dari seorang pria. Maka poligami adalah seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang wanita, sedangkan poliandri adalah seorang wanita yang bersuami lebih dari seorang pria.

2.     Syarat dilakukannya Poligami

Suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Suami didudukan sebagai Pemohon, sedangkan pihak istri yang suaminya hendak berpoligami didudukkan sebagai Termohon. Bagi Pegawai Negeri sipil dan ABRI  ada peraturan dan persyaratan khusus tersendiri, yang mesti dipenuhi guna kedisiplinan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomr 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

a.     Suami sebagai Pemohon harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi, yaitu :

1)    Adanya persetujuan dari istri-istri.

2)    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3)    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

b.     Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, yang ditentukan pada penilaian hakim Peradilan Agama.

3.     Alasan Poligami

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:

Izin poligami dari Pengadilan Agama diberikan kepada seorang suami, apabila alasan untuk memungkinkan suami akan kawin lagi ada, yaitu:

a.     Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b.     Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c.     Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, baru dapat melaksanakan poligami apabila penetapan Pengadilan Agama yang memberi izin itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapt dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).

4.     Pandangan Islam Terhadap Poligami

Islam tidak pernah menyebutkan dengan jelas bagaimana hukum dari poligami. Di dalam Al-Qur’an sendiri tidak disebutkan dengan jelas bagaimana hukum dari poligami, dan juga tidak ada kewajiban suami untuk berpoligami. Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Al- Qur’an Surat Annisa, ayat 3 yang menyatakan bahwa “dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi:dua,tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki, yang demikian itu lebih dekat agar agar kamu tidak berbuat dzalim.”

Dalam penyimpangan asas monoami, arti adil menjadi sangat penting, karena ia merupakan tolak ukur diperbolehkannya penyimpangan dari asas monogami. Bahkan, ketidakadilan dalam penyimpangan asas monogamai, dapat mengakibatkan seseorang berbuat aniaya. Dalam hukum Islam, perbuatan aniaya tidak dibenarkan, dan karenanya merupakan dosa.

Dalam surat An-Nisa ayat 129 menjelaskan “dan kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian……”

Dari surat tersebut kita tahu bahwa dalam poligami untuk mencapai keadilan dalam hal tersebut sangat sulit. Allah telah menjelaskan dengan tegas bahwa manusia tidak dapat berlaku adil. Walaupun suami itu memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan istri secara materi, namun untuk memenuhi kebutuhan batin dari istri-istrinya tidak dapat berlaku adil.

Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi yaitu, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.

Menurut Sayyid Qutub, sebagiman yang dikutib oleh Khutubuddin Aibak yaitu, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisaberbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah, mu’amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja, sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan maksimal hanya empat orang istri.

5.     Diperbolehkannya Poligami

Suami dapat berpoligami apabila dalam keadaan yang darurat. Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a)     Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b)  Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c)     Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Mengenai peraturan alasan pemberian izin poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Apabila ketiga alasan tersebut di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawadah dan rahmah).

Poligami tidak serta merta hanya untuk memenuhi nafs saja, namu dalam berpoligami ada syarat dan ketentuanya. Syarat dan ketentuan dalam berpoligami bertujuan agar kehidupan keluarga setelah melakukan poligami dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan menyelesaikan masalah. Berikut adalah syarat poligami:

a.     Ketentuan dari Al-qur’an

Mampu berbuat adil kepada semua istrinya.Dalilnya adalah firman Allah swt. Surat An-Nisa’: 3, artinya “ Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.”

b.     Mampu menjaga diri untuk tidak terperdaya dengan istri-istrinya itu dan tidak meninggalkan hak-hak karena keberadaan mereka. Allah karena keberadaan mereka. Allah berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”

c.     Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan agar istri-istrinya itu terhindar dari kenistaan dan kerusakan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dalam sebuah hadits, Nabi saw. Bersabda: “Hai segenap pemuda, siapa diantara kalian sanggup menikah, maka menikahlah.” ( Muttafaq ‘alaih)

d.     Memiliki kesanggupan untuk member nafkah kepada mereka. Allah swt. Berfirman,” Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah membuat mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur:33)

E.    KESIMPULAN

Jadi kesimpulan yang dapat kita petik dari apa yang telah kita bahas yakni. Poligami merupakan suatu peristiwa dimana suami memiliki lebih dari satu isteri. Di dalam Islam, poligami tidak dilarang maupun dibuka secara lebar lebar. Pembolehajn dalam Islam untuk poligami sendiri terdapat syarat yang harus dijalankan oleh suami.

Poligami dapat dilakukan apabila dalam keadaan yang darurat dimana sang iseri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, cacat, dan tidak memiliki keturunan. Islam sendiri menegaskan didalam Al-Quran bahwa pada dasarnya manusia itu tidak dapat bersikap adil. Maka jika tidak mampu adil terhadap isteri-isterinya sebaiknya memiliki isteri satu saja.

DAFTAR PUSTAKA

Aibak,Khutubuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Teras.

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Media grafika.

Hoerudin, Ahrum. 1999. Pengadilan Agama: Bahasan Tentang Perngertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang zno. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Jakrta: PT. Citra Aditya Bakti.

Mahyuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia.

Makmun, Rodli dan Muafiah , Evi. 2009,  Poligami dalam penafsirang Muhammad Syahrur. Ponorogo: STAIN Ponorogo.

Zuhdi ,Masyfuk. 1998. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: PT. Gria karya, cet-1.



BACA JUGA

Label: