KONFLIK ACEH DAN TUNTUTAN SYARIAT ISLAM
Akumulasi konflik di Aceh memiliki akar politik yang sangat dalam
dan merentang sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dalam merespon dan menyelesaikan konflik Aceh. Kebijakan yang
dianggap solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)[1]. UU
Otsus ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD,
yang mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; (1) keistimewaan dalam
menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi
pemeluknya; (2) keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan; (3)
keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat; dan (4) keistimewaan
menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan. Berdasarkan kedua
undang-undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh menyusun berbagai
qanun sebagai aturan derivatifnya.[2] UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menunjukkan kewenangan pemerintah
Aceh menjadi bertambah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam
merealisasikan perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya.
Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan
kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek
(termasuk Jinayat).[3]
[1]
[2]
[3] Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).
Label: SYARI'AT ISLAM