HUKUM ADAT ACEH DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA SYARIAT
Penyelenggaraan kehidupan dalam adat
istiadat, daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan,
pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang
dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Kemudian daerah juga dapat membentuk
lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan
kedudukannya masing-masing di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kemukiman
dan kelurahan/desa (gampong).
Sebagai
tindaklanjut berlakunya UUPA telah diundangkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun tersebut
memberikan alternatif untuk mengeleminir kesulitan- kesulitan dalam
penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan hukum adat gampong.[1]
Penyelesaian semacam ini, dalam bahasa sehari-hari disebut dengan penyelesaian
secara adat.
Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dapat pula dikatakan sebagai kelanjutan dari Qanun NAD
Nomor 5 Tahsun 2003 tentang Pemerintah Gampong, yang telah menegaskan
bahwa salah satu fungsi gampong adalah penyelesaian permasalahan hukum dalam
hal adanya persengketaan atau perkara-perkara adat dan adat istiadat di gampong,
dimana keuchiek karena jabatannya (ex officio) bertindak selalu
ketua majelis hakim persidangan pada tingkat gampong.
[1] Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).
[1] Berutu, Ali Geno. "Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam)." (2019).
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda