Minggu, 08 Januari 2023

KRITIK TERHDAP PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH SECARA TEORITIS

 

Dalam kritikannya terhadap Formalisasi syariat Islam di Aceh, Aguswandi mengatakan bahwa penerapan syariat Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran bagi setiap orang. Kita mestinya tidak mengulangi kegagalan dan membiarkan kelompok konservatif mendikte syariat Islam seperti yang terjadi di Aceh, banyak diantara kita yang tidak menyadarai betapa Islam di Aceh telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh kelompok konservatif untuk mempromosikan sesuatu yang baru, yakni tipe Islam yang menindas wanita, membatasi kebebasan berbicara, menerapkan aturan tingkah laku yang ketat yang sebenarnya bertentangan dengan tradisi lokal dan watak Islam itu sendiri.[1] Menurut pengertian Coulson, bahwa hukum Islam memiliki dua kategori, yang pertama adalah hukum illahi, sedangkan  yang kedua merupakan hasil penalaran hukum manusia. Berseberangan dengan Coulson, secara radikal Abdullahi Ahmed al-Na’im berpendapat bahwa syariat Islam itu tidak ada dalam perwujudannya yang otentik, karena definisi syariat Islam telah tereduksi oleh sistem sejarah. syariat Islam dalam pengertian ini merupakan hukum hasil kreasi para pemikir hukum.[2]

Sementara itu, menurut Price, pelaksanaan syariat Islam oleh negara dipilih kedalam lima level[3], yaitu:

1.     Syariat berlaku pada bidang hukum kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian dan warisan.

2.     Syariat berlaku pada ekonomi dan keuangan, seperti bank Islam dan zakat.

3.     Syariat berlaku pada praktik-praktik ritual keagamaan seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita ataupun pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan judi.

4.     Syariat berlaku juga pada penerapan hukum pidana Islam terutama berkenaan dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggarnya.

5.     Penggunaan Islam sebagai dasar negara dan pemerintahan.

Menurut Price, kelima level itu belaku secara hierarkis dari yang terendah sampai kepada yang tertinggi. Karena itu, tuntutan untuk menerapkan kelima level hukum Islam tersebut dengan sendirinya mengimplikasikan tuntutan langsung pembentukan negara Islam. Dengan kata lain, semakin tinggi level tuntutan penerapan hukum Islam, maka semakin dekat menuju perwujudan gagasan negara Islam yang diterima.

Aliran penganut paham integrasi[1] Islam dan negara berpendapat bahwa: Pertama, Islam adalah agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara, ummat Islam hendaknya kembali ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan meniru ketata negaraan barat. Kedua, sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Al-Khulafa Al-Rasyidin.[2] Hidup dengan menegakkan Syariat merupakan kebutuhan religius maupun sosial,    al-Qur’an memerintahkan dengan wahyu Tuhan memiliki arti bahwa menerapkan syariat merupakan suatu kewajiban.[3]

Pemikiran tentang penerapan Hukum Islam alternatif pada dasarnya merupakan dekonstruksi terhadap pemahaman dan penerapan Hukum Islam historis dalam tuntutan kehidupan kontemporer. Dalam hal ini Abdullah Ahmd An-Na’im seorang pemikir dari sudan menyimpulkan bahwa, berangkat dari beberapa asumsi pokok. pertama antara Islam sebagai ajaran dan Syari’at Isalam yang disebutnya syari’at historis merupakan dua hal yang dapat dibedakan kendati tidak dapat dipisahkan. Formulasi penerapannya dalam kehidupan kontemporer tidak dapat demikian tuntas dan ketat sebagaimana dianut oleh para pengikut hukum Islam historis. Kedua, penerapan hukum Isalm historis yang ketat dan serba ingin tuntas atau total dalam kehidupan kontemporer selalu mengalami kesulitan-kesulitan, karena itu diperlukan reformulasi atau revisi menjadi hukum atau syari’at Islam moderen yang bersifat alternatif. Ketiga, Ummat Islam sering terjebak pada praktik-praktik syari’at Islam yang bersifat darurat dan penerapan yang tidak memadai, maka lebih baik mencoba untuk mengadopsi hukum syari’at Islam tersebut guna memecahkan berbagai problem dan kebutuhan kehidupan kontemporer. Keempat, Penyesuaian syari’at Islam kedalam kehidupan kontemporer merupakan faktor penting dengan adanya realitas negara-bangsa (nation-state) dimana berkembang hak kolektif hidup komunitas Muslim dan Non-Muslim.[4]



[1] Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.

[2] Haidar Nassir, Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Idiologis di Indonesia (Bandung: Mizan, 2013), 69.

[3] Richard Paul Mitchell, Masyarakat Al-Ikhwan Al-Muslimin, Gerakan Al-Ikhwan di Mata Cendikiawan Barat (Solo: Era Intermedia 2005), 321 .

[4]Berutu, Ali Geno. "Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP." Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 87-106.


[1] Berutu, Ali Geno. "Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014." Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam 16, no. 2 (2017).

[2] Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).

[3] Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda