STIGMA NEGATIF TERHADAP PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Ketika kita berbicara syariat Islam, kesan yang paling awal muncul (dikalangan kelompok anti syariat) adalah hukum pancung, potong tangan, rajam, cambuk dan hukuman mati.Disisi lain, dalam hukum keluarga misalnya, yang menjadi wacana dominan adalah Poligami. Bahkan ada yang menganggap syariat Islam hanya mengurus pakaian perempuan, seperti pakaian ketat dan jilbab. Ada juga yang mempertanyakan: Jika syariat Islam ditetapkan, bagaimana dengan penduduk non-Muslim? Apakah kepada mereka juga diterapkan syariat Islam itu? Jika mencuri, apakah tangannya dipotong, atau jika berzina, apakah akan didera atau dirajam? Sebenarnya ketakutan kepada syari’at Islam adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan. syariat Islam diturunkan Tuhan bukan untuk menyusahkan manusia, tetapi justru untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran. Bahkan menurut Islam, hewan dan lingkungan pun tidak boleh dizalimi. Tujuan syariah adalah memelihara hak-hak manusia dan memberi mereka perlindungan serta keselamatan dan kedamaian. Karena itu, merasa takut terhadap syariat Islam apa lagi memusuhi adalah sikap dan tindakan yang sangat tidak beralasan.[1]
Implementasi peraturan daerah (perda) berbasis syariah Islam hingga kini masih menjadi perdebatan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Perdebatan itu muncul seiring dengan seberapa pentingkah urgensi diundangkannya peraturan daerah berbasis syariah islam tersebut. Selama ini urgensi yang kerap kali muncul sebagai raison de’etre munculnya perda syariah di berbagai daerah adalah turunnya moralitas dan akhlak masyarakat yang semakin jauh dari nilai keislaman.
Gejala tuntutan penerapan hukum mu’amalah dan kriminal Islam by
laws itu, tampaknya merupakan konsekuensi logis dari demokratisasi dan
bahkan globalisasi serta kecenderungan masyarakat paska kolonial yang bangkit
hendak mensejajarkan diri dengan kelompok lain, khususnya Barat.[2] Tiga
argumentasi utama telah digunakan baik oleh orang-orang Aceh maupun non-Aceh
sebagai pembenaran atas pemberian hak untuk menerapkan hukum Islam secara penuh
kepada Aceh, dan bukannya ke daerah lain di Indonesia yang Islamnya juga kuat.
Yaitu: Islam adalah identitas utama masyarakat dan kebudayaan Aceh, syari’at
pernah diterapkan di Aceh pada masa kesultanan, jadi ada preseden historis.
Penerapan syariat telah jadi sebuah tuntutan politis dari rakyat Aceh sejak
masa penjajahan, dan penolakan untuk memberikan hak menerapkan syariat kepada
rakyat Aceh akan menjamin pemberontakan di Aceh akan terus berlanjut.[3]
[1]
[2]Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).
[3]Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda