Minggu, 08 Januari 2023

KONFLIK ACEH DAN TUNTUTAN SYARIAT ISLAM

 

Akumulasi konflik di Aceh memiliki akar politik yang sangat dalam dan merentang sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam merespon dan menyelesaikan konflik Aceh. Kebijakan yang dianggap solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)[1]. UU Otsus ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; (1) keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya; (2) keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan; (3) keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat; dan (4) keistimewaan menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan. Berdasarkan kedua undang-undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh menyusun berbagai qanun sebagai aturan derivatifnya.[2] UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menunjukkan kewenangan pemerintah Aceh menjadi bertambah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk Jinayat).[3]



[1] Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.

[2] Berutu, Ali Geno. "Pengaturan Tindak Pidana dalam Qanun Aceh: Komparasi Antara Qanun No. 12, 13, 14 Tahun 2003 dengan Qanun No. 6 Tahun 2014." Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam 16, no. 2 (2017).

[3]  Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda