QANUN MEUKUTA ALAM DAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Jauh sebelum dikeluarkan Undang-undang
No.44 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001, di Aceh telah lama
menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara, hal ini dapat dilihat dari Qanun
Meukuta Alam dan keterangan-keterangan tentang praktik
pemberlakuan hukum jinayah[1].
Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia[2]
dizamannya, kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat
Syah[3]
(916-936 H/ 1511-1530 M), adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas asas-asas
Islam. Dalam Adat Mahkota Alam yaitu UUD kerajaan Aceh Darusslam yang
diciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya disebutkan bahwa sumber
hukum yang dipakai dalam negara adalah al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas .
Pada masa penjajahan Kolonial Belanda,
Belanda menyerang Ibu Kota Kesultanan Aceh pada April 1873 dan berhasil
menaklukkan kesultanan Aceh dengan pimpinan Sultan yang terakhir Muhammad Daud
Syah (1874-1903)[4]. Dengan ditaklukkannya
Kuta Raja sebagai pusat kekuasaan kesultanan Aceh, Belanda memandang kesultanan
Aceh telah berakhir dan para administrasi ditempatkan untuk mengambil alih
posisi dan hak-haknya. Akan tetapi dalam pandangan masyarakat Aceh, mereka
belum ditaklukkan dan perang masih berlanjut. Dalam hal ini ulama menjadi
inspirator nyata dalam perjuangan Aceh dan bersama masyarakat terus melakukan
perlawanan dan berpergian keseluruh Aceh, kawasan pesisir Kedah dan Penang[5]
untuk mendakwahkan Jihad fi@ sabi@lilla@h.
Setelah Indonesia merdeka tuntutan
untuk menerapkan syariat Islam kembali muncul. Masyarakat Aceh yang sebelumnya
telah menyatakan kepada Soekarno bahwa Aceh mau membantu dan bergabung dengan
RI melawan penjajahan Belanda dengan catatan diberikan hak untuk melaksanakan
syariat Islam menurut pelaksanaanya[6].
Tengku Daud Beureuh, tokoh pergerakan Aceh[7]
berkali-kali menuntut penerapan syariat Islam kepada presiden Soekarno dan
pihak presiden hanya memberi janji-janji. Alih-alih memberikan hak bagi Aceh
untuk menerapkan syariat Islam, malah menghapus Provinsi Aceh dan
menggabungkannya kedalam Provinsi Sumatra Utara[8].
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto
melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk memberikan Aceh status daerah Istimewa
dan penerapan syariat Islam. Namun begitu janji tersebut tidak pernah
dilaksanakan dengan sepenuhnya. Bahkan disisi lain, Soeharto memberikan
kesempatan kepada perusahaan multi nasional dari Amerika Serikat untuk
membuka industri besar di Aceh dibidang eksplorasi minyak dan gas bumi di Arun
pada tahun 1970an[9].
Dengan
disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Keistimewaan Aceh[10], yang
dijabarkan oleh Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 tahun
2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (yang
selanjutnya di sebut NAD) dan Undang-undang
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh, maka daerah Aceh
yang dulunya memiliki keistimewaan bidang agama, adat istiadat dan
pendidikan tanpa undng-undang kini sah memiliki undang-undang untuk itu.[11]
Berlakunya syari’at Islam di Propinsi Aceh secara kaffah merupakan
dambaan masyarakat Aceh sejak lama, syariat Islam yang berlaku di bumi Serambi
Mekkah pada tanggal 1 Muharram 1423 H/ 2001 M.[12]
[1] Berutu, Ali Geno. "Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas sejarah." Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 163-187.
[2] Berutu, Ali Geno. "Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP." Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 87-106.
[3]
[4]
[5]
[6] Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).
[8]
[9]
[10] International Crisis Group, “Syari’at Islam
dan Peradilan Pidana di Aceh”, Asia Report N’11 , 31 Juli 2006.2.
[11]Berutu, Ali Geno. "ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA." JIL: Journal of Indonesian Law 2, no. 2 (2021): 202-225.
[12]
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda