KRITIK TERHDAP PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH SECARA TEORITIS
Dalam
kritikannya terhadap Formalisasi syariat Islam di Aceh, Aguswandi mengatakan bahwa
penerapan syariat Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran bagi
setiap orang. Kita mestinya tidak mengulangi kegagalan dan membiarkan kelompok
konservatif mendikte syariat Islam seperti yang terjadi di Aceh, banyak
diantara kita yang tidak menyadarai betapa Islam di Aceh telah dieksploitasi
sedemikian rupa oleh kelompok konservatif untuk mempromosikan sesuatu yang
baru, yakni tipe Islam yang menindas wanita, membatasi kebebasan berbicara,
menerapkan aturan tingkah laku yang ketat yang sebenarnya bertentangan dengan
tradisi lokal dan watak Islam itu sendiri.[1]
Menurut pengertian Coulson, bahwa hukum Islam memiliki dua kategori, yang pertama
adalah hukum illahi, sedangkan yang kedua
merupakan hasil penalaran hukum manusia. Berseberangan dengan Coulson, secara
radikal Abdullahi Ahmed al-Na’im berpendapat bahwa syariat Islam itu tidak ada
dalam perwujudannya yang otentik, karena definisi syariat Islam telah tereduksi
oleh sistem sejarah. syariat Islam dalam pengertian ini merupakan hukum hasil
kreasi para pemikir hukum.[2]
Sementara
itu, menurut Price, pelaksanaan syariat Islam oleh negara dipilih kedalam lima
level[3],
yaitu:
1.
Syariat berlaku pada bidang hukum kekeluargaan seperti
perkawinan, perceraian dan warisan.
2.
Syariat berlaku pada ekonomi dan keuangan, seperti
bank Islam dan zakat.
3.
Syariat berlaku pada praktik-praktik ritual
keagamaan seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita ataupun pelarangan
resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan judi.
4.
Syariat berlaku juga pada penerapan hukum pidana Islam
terutama berkenaan dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggarnya.
5. Penggunaan Islam
sebagai dasar negara dan pemerintahan.
Menurut
Price, kelima level itu belaku secara hierarkis dari yang terendah sampai
kepada yang tertinggi. Karena itu, tuntutan untuk menerapkan kelima level hukum
Islam tersebut dengan sendirinya mengimplikasikan tuntutan langsung pembentukan
negara Islam. Dengan kata lain, semakin tinggi level tuntutan penerapan hukum
Islam, maka semakin dekat menuju perwujudan gagasan negara Islam yang diterima.
Aliran
penganut paham integrasi[1]
Islam dan negara berpendapat bahwa: Pertama, Islam adalah agama yang
serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau
politik, oleh karenanya dalam bernegara, ummat Islam hendaknya kembali
ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan meniru ketata negaraan barat.
Kedua, sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani
adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Al-Khulafa Al-Rasyidin.[2] Hidup dengan
menegakkan Syariat merupakan kebutuhan religius maupun sosial, al-Qur’an memerintahkan dengan wahyu Tuhan
memiliki arti bahwa menerapkan syariat merupakan suatu kewajiban.[3]
Pemikiran
tentang penerapan Hukum Islam alternatif pada dasarnya merupakan dekonstruksi
terhadap pemahaman dan penerapan Hukum Islam historis dalam tuntutan kehidupan
kontemporer. Dalam hal ini Abdullah Ahmd An-Na’im seorang pemikir dari sudan
menyimpulkan bahwa, berangkat dari beberapa asumsi pokok. pertama antara
Islam sebagai ajaran dan Syari’at Isalam yang disebutnya syari’at historis
merupakan dua hal yang dapat dibedakan kendati tidak dapat dipisahkan. Formulasi
penerapannya dalam kehidupan kontemporer tidak dapat demikian tuntas dan ketat
sebagaimana dianut oleh para pengikut hukum Islam historis. Kedua, penerapan
hukum Isalm historis yang ketat dan serba ingin tuntas atau total dalam
kehidupan kontemporer selalu mengalami kesulitan-kesulitan, karena itu
diperlukan reformulasi atau revisi menjadi hukum atau syari’at Islam moderen
yang bersifat alternatif. Ketiga, Ummat Islam sering terjebak pada praktik-praktik
syari’at Islam yang bersifat darurat dan penerapan yang tidak memadai, maka
lebih baik mencoba untuk mengadopsi hukum syari’at Islam tersebut guna
memecahkan berbagai problem dan kebutuhan kehidupan kontemporer. Keempat,
Penyesuaian syari’at Islam kedalam kehidupan kontemporer merupakan faktor
penting dengan adanya realitas negara-bangsa (nation-state) dimana
berkembang hak kolektif hidup komunitas Muslim dan Non-Muslim.[4]
[1]
[2] Haidar Nassir, Islam Syariat Reproduksi
Salafiyah Idiologis di Indonesia (Bandung: Mizan, 2013), 69.
[3] Richard Paul Mitchell, Masyarakat Al-Ikhwan
Al-Muslimin, Gerakan Al-Ikhwan di Mata Cendikiawan Barat (Solo: Era
Intermedia 2005), 321 .
[4]Berutu, Ali Geno. "Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fik {ih dan KUHP." Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 87-106.
[1]
[2]
[3] Berutu, A.G., 2019. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda