PERAN POLITISI PEREMPUAN DALAM PERJANJIAN HUDAIBIYAH
Adapun perempuan yang menduduki posisi
strategis dan berperan besar dalam
perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian
Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih
hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena
menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang
tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi
wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan
peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran
akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di
Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara
sembunyi-sembunyi.
Pada
perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan
dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul,
akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan
memuncak.
Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu
wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada
titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau
bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah,
mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih
hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang
mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan
kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah
dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah,
kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.[1]
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna
menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika
pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak
sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak
melaksanakan nasehat Umu Salamah.[2]
Perjanjian Hudaibiyah merupakan titik awal kemenangan
umat Islam dalam melakukan deplomasi dengan pihak Quraisy. Meski disangsikan
oleh para sahabat Muhammad kokoh dalam pendiriannya karena baginya memenangan
yang hakiki bukan pada waktu terjadinya perjanjian. Kemenangan yang sebenarnya
adalah pasca terjadinya perjanjian. Ini berarti Muhammad merupakan pemimpin
yang mempunyai pandangan kedepan, yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi
di kemudian hari.
Maka terbukti ketika perjanjian berjalan selam satu
tahun disaat umat Islam diperkenankan melakukan ibadah haji, maka pengaruh dari
ritual itu sangat terasa sekali bagi perkembangan Islam. Ini disebabkan umat
Islam diberi wewenang untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan famili-famili
mereka yang masih kafir di Makah untuk diajak memeluk agama Islam. Meski ini
disaksikan oleh orang-orang Quraisy, tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak
karena terikat kontrak yang tidak akan saling memerangi selama 10 tahun. Ini
adalah kemengan yang nyata sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah dalam surat
al-Fath. Mudah-mudahan Islam tetap kokoh ditengah-tengah krisis moral.
[1] Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336.
[2] Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009.
Label: TOKOH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda