Minggu, 01 Januari 2023

POLIGAMI DALAM PANDANGAN ISLAM

Di dalam fase kehidupan manusia, akan menjumpai fase dimana seseorang menginginkan terjadi sebuah pernikahan. Di dalam Agama Islam sendiri, pernikahan merupakan salah satu sunnah dari Rasulullah dan menjadi ibadah yang terpanjang atau terlama. Pernikahan merupakan cita-cita bagi semua orang. Keinginan memiliki rumah tangga yang harmonis yang sering disebut orang-orang sakinah, mawadah dan warohmah merupakan rumah tangga dambaan semua orang. Namun, apabila di dalam rumah tangga tersebut ada orang ketiga atau suami ingin menikah lagi bagaimana? Seputar hal tersebut poligami atau memiliki istri lebih dari satu banyak mengundang kontroversi pro dan kontra. Lalu bagaimana pandangan dalam Agama Islam tentang poligami?

1.     Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang.

Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa Inggris adalah “Poligamy” dan disebut تَعَدُّدُ الزَّوْجَات dalam hukum Islam, yang berarti beristri lebih dari seorang wanita. Begitu pula dengan istilah poliandri berasal dari bahasa Inggris “poliandry” dan disebut تعدّد الأزوج atauتعددالبعول dalam hukum Islam, yang berarti bersuami lebih dari seorang pria. Maka poligami adalah seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang wanita, sedangkan poliandri adalah seorang wanita yang bersuami lebih dari seorang pria.

2.     Syarat dilakukannya Poligami

Suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Suami didudukan sebagai Pemohon, sedangkan pihak istri yang suaminya hendak berpoligami didudukkan sebagai Termohon. Bagi Pegawai Negeri sipil dan ABRI  ada peraturan dan persyaratan khusus tersendiri, yang mesti dipenuhi guna kedisiplinan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomr 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

a.     Suami sebagai Pemohon harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi, yaitu :

1)    Adanya persetujuan dari istri-istri.

2)    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3)    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

b.     Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, yang ditentukan pada penilaian hakim Peradilan Agama.

3.     Alasan Poligami

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:

Izin poligami dari Pengadilan Agama diberikan kepada seorang suami, apabila alasan untuk memungkinkan suami akan kawin lagi ada, yaitu:

a.     Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b.     Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c.     Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, baru dapat melaksanakan poligami apabila penetapan Pengadilan Agama yang memberi izin itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapt dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).

4.     Pandangan Islam Terhadap Poligami

Islam tidak pernah menyebutkan dengan jelas bagaimana hukum dari poligami. Di dalam Al-Qur’an sendiri tidak disebutkan dengan jelas bagaimana hukum dari poligami, dan juga tidak ada kewajiban suami untuk berpoligami. Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Al- Qur’an Surat Annisa, ayat 3 yang menyatakan bahwa “dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi:dua,tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki, yang demikian itu lebih dekat agar agar kamu tidak berbuat dzalim.”

Dalam penyimpangan asas monoami, arti adil menjadi sangat penting, karena ia merupakan tolak ukur diperbolehkannya penyimpangan dari asas monogami. Bahkan, ketidakadilan dalam penyimpangan asas monogamai, dapat mengakibatkan seseorang berbuat aniaya. Dalam hukum Islam, perbuatan aniaya tidak dibenarkan, dan karenanya merupakan dosa.

Dalam surat An-Nisa ayat 129 menjelaskan “dan kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian……”

Dari surat tersebut kita tahu bahwa dalam poligami untuk mencapai keadilan dalam hal tersebut sangat sulit. Allah telah menjelaskan dengan tegas bahwa manusia tidak dapat berlaku adil. Walaupun suami itu memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan istri secara materi, namun untuk memenuhi kebutuhan batin dari istri-istrinya tidak dapat berlaku adil.

Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi yaitu, Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.

Menurut Sayyid Qutub, sebagiman yang dikutib oleh Khutubuddin Aibak yaitu, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisaberbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah, mu’amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja, sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan maksimal hanya empat orang istri.

5.     Diperbolehkannya Poligami

Suami dapat berpoligami apabila dalam keadaan yang darurat. Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a)     Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b)  Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c)     Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Mengenai peraturan alasan pemberian izin poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Apabila ketiga alasan tersebut di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawadah dan rahmah).

Poligami tidak serta merta hanya untuk memenuhi nafs saja, namu dalam berpoligami ada syarat dan ketentuanya. Syarat dan ketentuan dalam berpoligami bertujuan agar kehidupan keluarga setelah melakukan poligami dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan menyelesaikan masalah. Berikut adalah syarat poligami:

a.     Ketentuan dari Al-qur’an

Mampu berbuat adil kepada semua istrinya.Dalilnya adalah firman Allah swt. Surat An-Nisa’: 3, artinya “ Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.”

b.     Mampu menjaga diri untuk tidak terperdaya dengan istri-istrinya itu dan tidak meninggalkan hak-hak karena keberadaan mereka. Allah karena keberadaan mereka. Allah berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”

c.     Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan menjaga kehormatan mereka. Hal ini bertujuan agar istri-istrinya itu terhindar dari kenistaan dan kerusakan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dalam sebuah hadits, Nabi saw. Bersabda: “Hai segenap pemuda, siapa diantara kalian sanggup menikah, maka menikahlah.” ( Muttafaq ‘alaih)

d.     Memiliki kesanggupan untuk member nafkah kepada mereka. Allah swt. Berfirman,” Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah membuat mereka mampu dengan karunia-Nya.” (An-Nur:33)

E.    KESIMPULAN

Jadi kesimpulan yang dapat kita petik dari apa yang telah kita bahas yakni. Poligami merupakan suatu peristiwa dimana suami memiliki lebih dari satu isteri. Di dalam Islam, poligami tidak dilarang maupun dibuka secara lebar lebar. Pembolehajn dalam Islam untuk poligami sendiri terdapat syarat yang harus dijalankan oleh suami.

Poligami dapat dilakukan apabila dalam keadaan yang darurat dimana sang iseri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, cacat, dan tidak memiliki keturunan. Islam sendiri menegaskan didalam Al-Quran bahwa pada dasarnya manusia itu tidak dapat bersikap adil. Maka jika tidak mampu adil terhadap isteri-isterinya sebaiknya memiliki isteri satu saja.

DAFTAR PUSTAKA

Aibak,Khutubuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Teras.

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Media grafika.

Hoerudin, Ahrum. 1999. Pengadilan Agama: Bahasan Tentang Perngertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang zno. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Jakrta: PT. Citra Aditya Bakti.

Mahyuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia.

Makmun, Rodli dan Muafiah , Evi. 2009,  Poligami dalam penafsirang Muhammad Syahrur. Ponorogo: STAIN Ponorogo.

Zuhdi ,Masyfuk. 1998. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: PT. Gria karya, cet-1.



BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda