POLIGAMI DALAM PANDANGAN ULAMA
Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu
perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam
keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan
bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk
dalam bidang nafkah, mu’amalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi
calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.[1]
Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh
dengan sengit menentang poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di
Mesir, dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa
Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih
dipraktekkan secara luas.[2] Dan
bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar
pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya
dan tidak membuat kerusakan.[3]
Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah
monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar
(bahaya) seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan
dalam kondisi darurat saja.[4]
Sedangkan M. Shah}ru>r berpendapat bahwa menikah
(poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak
yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus
janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[5]
Dalam
masalah poligami Shah}ru>r
menyatakan bahwa sesungguhnya Allah swt tidak hanya sekedar memperbolehkan
poligami akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang
harus dipenuhi yaitu; pertama,
bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki
anak-anak yatim; kedua,
harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.
Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat
tersebut.[6]
Dua syarat yang dikemukakan oleh Shah}ru>r
tersebut berdasarkan struktur kaidah bahasa dalam firman Allah: “dan
jika kamu takut
tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan yang kamu senangi dua,
tiga, atau empat” Shah}ru>r juga melihat bahwa
betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-kata
yang halus “ma tha>ba lakum” (perempuan-perempuan
yang kamu senangi)
bukan “mashi’tum
min al-nisa>” ini merupakan salah
satu penghormatan terhadap
perkawinan.[7]
Poligami
yang termaktub dalam QS. al-Nisa>’ (4):3 adalah sisa praktik pernikahan
jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu tepat kiranya T{ha>ha>
Husain menyatakan bahwa al-Qur’an adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyyah
(pra-Islam). Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi
terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan al-Qur’an merekamnya
melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, al-Qur’an
merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat
itu.[8]
Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama sependapat bahwa
yang menjadi syarat mutlak dalam poligami selain keadilan dalam memberi nafkah
juga dipersyaratkan adil dalam pembagian waktu menggilir istri-istrinya.
Ketentuan waktu giliran itu setidaknya
tidak boleh kurang dari satu malam dan sebanyak-banyaknya tidak boleh lebih
dari tiga malam, pembagian itu harus benar-benar adil dengan menjadikan praktek
poligami Rasulullah SAW Sebagai tauladan, kecuali jika terdapat kerelaan
diantara para istri untuk memberikan waktu
gilirannya kepada istri
yang lain.
Label: TOKOH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda