Senin, 09 Januari 2023

POLIGAMI DALAM PANDANGAN ULAMA

 

Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, mu’amalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.[1]

Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh dengan sengit menentang poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di Mesir, dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih dipraktekkan secara luas.[2] Dan bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya dan tidak membuat kerusakan.[3] Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.[4]

Sedangkan M. Shah}ru>r berpendapat bahwa menikah (poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[5]

Dalam masalah poligami Shah}ru>r menyatakan bahwa sesungguhnya Allah swt tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu; pertama, bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak-anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat tersebut.[6] Dua syarat yang dikemukakan oleh Shah}ru>r tersebut berdasarkan struktur kaidah bahasa dalam firman Allah: “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat” Shah}ru>r juga melihat bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-kata yang halus “ma tha>ba lakum” (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum min al-nisa>” ini merupakan salah satu penghormatan terhadap perkawinan.[7]

Poligami yang termaktub dalam QS. al-Nisa>’ (4):3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu tepat kiranya T{ha>ha> Husain menyatakan bahwa al-Qur’an adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyyah (pra-Islam). Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan al-Qur’an merekamnya melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, al-Qur’an merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat itu.[8]

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama sependapat bahwa yang menjadi syarat mutlak dalam poligami selain keadilan dalam memberi nafkah juga dipersyaratkan adil dalam pembagian waktu menggilir istri-istrinya. Ketentuan waktu giliran  itu setidaknya tidak boleh kurang dari satu malam dan sebanyak-banyaknya tidak boleh lebih dari tiga malam, pembagian itu harus benar-benar adil dengan menjadikan praktek poligami Rasulullah SAW Sebagai tauladan, kecuali jika terdapat kerelaan diantara para istri untuk memberikan waktu  gilirannya  kepada  istri  yang  lain.



BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda