POLEMIK SUKARNO DAN NATSIR
Polemik Soekarno dan
Natsir yang secara garis besar mewakili pandangan-pandangan dua kelompok besar
di Indonesia, yaitu para nasionalis Sekuler dan naionalis Islam sebagian besar
menentukan bentuk dan perkembangan diskusi di dalam Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).[1]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan pada 17 Agustus 1945 masalah baru
tibul kembali, yakni adanya keberatan dari kelompok agama minoritas mengenai
tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kelompok minoritas yang berasal dari Indonesia
Timur[2] seperti Bali, Maluku,
Plores dan Sulawesi mengancam tidak akan
mau bergabung dengan Indonesia jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tetap
dimasukkan ke dalam Preambule UUD 1945.[3] Melalui perdebatan yang
panjang mengenai pro dan kontra tentang penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, akhirnya dalam pertemuan yang mendadak yang dimotori oleh Soekarno dan
Muhammad Hatta, beberapa saat sebelum sidang PPKI dilakukan pada 18 Agustus
1945, terjadi penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta untuk pembukaan UUD
1945.
Kompromi
politikpun terjadi antara Muhammad Hatta yang mewakili kalangan nasionalis
dengan Kasman Singodimedjo yang mewakili dari kalangan Islam. Kompromi politik
tersebut diambil guna untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang saat itu baru berusia satu tahun.[4] Kalangan Islam pada
akhirnya menyetujuai perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta“dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” .[5] Dalam sidang pada 18
Agustus 1945, PPKI mensahkan UUD 1945 sebagai dasar konsitusi Indonesia
dan mengakhiri perdebatan dan perselisihan mengenai dasar negara Indonesia.
[1] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang
Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 10.
[2] Khairullah
Zikri, “The Jakarta Charter and the Construction of Indonesian Identity”, En
Arche, Indonesian Journal of Inter-Religious Studies, Vol. 1, No. 2 (2012),
109.
[3] Saifuddin Anshari, “The Jakarta
Charter of June 1945:..., 66.
[4] Haidar Nassir, Islam Syariat Reproduksi
Salafiyah Idiologis di Indonesia...,241
[5] Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis Rumus Dasar Negara dan
Sebuah Proyeksi (Jakarta:
Hudaya, 1970), 21-22.
Label: TOKOH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda