Jumat, 26 Juli 2024

Pembaharuan Hukum (Ijtihad) Islam Sebagai Solusi Terhadap Perubahan Zaman


Islam merupakan agama universal dan diyakini akan terus berlaku disetiap zaman. Oleh sebab itu sudah selayaknya Agama Islam dapat diterima siapapun dan kapanpun tanpa adanya masalah, karena hukum dalam Agama Islam bersifat fleksibel dan mengutamakan ke maslahatan umat. Islam berkembang dan akan terus menyatu dengan norma-norma yang melekat dimasyarakat, begitu pula ketika Islam berhadapan dengan masyarakat Modern yang secara tidak langsung dituntut untuk dapat menghadapinya. Dapat kita ketahui bahwa masyarakat akan selalu mengalami perkembangan tehadap pola pikiranya sehingga munculnya teknologi-teknologi baru bahkan perubahan terhadap gaya hidupnya.

Era modern yang sekarang ini telah membawa perubahan besar dalam semua segi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Segala segi kehidupan seorang muslim tidak akan terlepas dari adanya hukum Islam yang selalu melekat dalam kegiatan sehari-harinya, sehingga tidak dapat dipungkiri akan adanya kejadian atau persoalan-persoalan baru yang tidak sedikit terjadi di masyarakat belakangan ini. Adanya perubahan semacam ini menuntut sebagian dari ulama kontemporer (modern) untuk mengadakan peninjauan kembali terhadap pendapat lama yang tidak sesuai lagi dengan kondisi baru sekaligus memilih dan menyaring pendapat pendapat yang dahulu dianggap tidak kuat atau ditinggalkan.

Masyarakat yang terus berubah cepat oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat hukum Islam terkesan kaku dan statis, sehingga dianggap bahwa hukum Islam sudah tidak lagi relevan untuk masa kini apalagi untuk masa-masa mendatang. Untuk menanggulangi hal itu maka perlu adanya perkembangan pada ilmu fiqh dengan melakukan ijtihad.

Ijtihad merupakan sebuah usaha yang sungguh-sungguh, usaha untuk mengerahkan segala kemampuan keilmuan yang maksimal untuk mendapatkan suatu kesimpulan tentang sebuah hukum. Meskipuan Al-Qur’an sudah diturunkan secara lengkap dan sempurna, tidak berarti semua hal yang ada dalam kehidupan manusia diatur secara terperinci oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada kehidupan modern dengan keadaan saat turunya Al-Qur’an. Sehingga setiap waktu persoalan-persoalan baru mengenai kehidupan akan terus berkembang dan diperlukan adanya aturan-aturan turunan dslam melaksanakan ajaran Agama Islam dalam kehidupa sehari-hari.

Dengan demikian, kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat terus-menerus, terutama pada masa seperti sekarang ini, kita sangat memerlukan ijthad melebihi masa-masa sebelumnya. Mengingat telah terjadi perubahan yang cukup besar terhadap corak kehidupan masyarakat setelah lahirnya revolusi industry, perkembangan teknologi dan hubungan-hubungan material secara internasional.

Berijtihad sesungguhnya merupakan tugas yang amat berat dan besar tanggung jawabnya. Oleh karena itu yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah seseorang yang telah mencapai tingkat faqih. Mujtahid seseorang yang memiliki ilmu tinggi yang paham betul mengenai isi kandungan Al-Qur’an dan Al-Hadist mulai dari penguasaan sempurna ilmu nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, bayan, badi’. Seorang mujtahid juga harus menguasai ilmu mengenai sumber-sumber agama, yaitu Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, Maslahah Murshalah, Istihsan, Sududz Dzariah, Istishab dan seterusnya. Secara umum, hukum berjtihad adalah wajib, artinya seorang mujtahid wajib untuk melakukan ijtihad untuk merumuskan hukum syara’ dan mengeluarkan fatwa agar dapat dijadikan solusi untuk memecahkan persoalan yang kian banyak dan akan terus berkembang pada masa sekarang ini.

Tidak hanya bagi mujtahid yang berkewajiban melakukan ijtihad, kewajiban berijtihad sesunguhnya merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam, jadi syarat-syarat  diatas tidak boleh menjadi alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan ijtihad, maksudnya peluang untuk menjadi seorang mujtahid sangat terbuka bagi seluruh umat Islam. Seorang muslim diberi kebebasan berpikir untuk mengerahkan segala kemampuanya dalam berbagai masalah, sebab Islam tidak hanya berurusan dengan masalah akhirat saja, namun Islam harus mampu mengobati segala penyakit sosial, politik, ekonomi dan segala aspek tentang kehidupan di dunia ini. Maka dari itu perlu adanya ijtihad. Ijtihad adalah hal yang terbuka bagi orang-orang muslim agar dapat merasakan kebebasan berfikir yang sempurna dan ijtihad merupakan sebuah bukti betapa luas dan mudahnya syariat Islam.

Peran ijtihad sangat besar dalam pembaharuan hukum Islam. Ijtihad perlu dilakukan secara terus menerus guna mengantisipasi, menangani dan mengisi kekosongan hukum terutama pada masa sekarang ini dimana perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung begitu pesatnya.

Label:

Rabu, 11 Januari 2023

Ingkar Janji dan Sanksinya dalam KHES

Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahannya: 

  1. tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya; 
  2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; 
  3. melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; ataud. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi: 

  1. membayar ganti rugi; 
  2. pembatalan akad; 
  3. peralihan risiko; 
  4. denda; dan/atau 
  5. membayar biaya perkara

Sanksi pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan apabila : 

  1. pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji;
  2. sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya; 
  3. pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukannya tidak di bawah paksaan. 

Sumber: Pasal 36-39 Buku II KHES

  

BACA JUGA

Label:

Aib Kesepakatan Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Akad yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf a adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, dilakukan di bawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran.

Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokok perjanjian.

Paksaan adalah mendorong seorang melakukan sesuatu yang tidak diridlainya dan tidak merupakan pilihan bebasnya.

Paksaan dapat menyebabkan batalnya akad apabila : 

  1. pemaksa mampu untuk melaksanakannya; 
  2. pihak yang dipaksa memiliki persangkaan kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak mematuhi perintah pemaksa tersebut; 
  3. yang diancamkan menekan dengan berat jiwa orang yang diancam. hal ini tergantung kepada orang perorang; d. ancaman akan dilaksanakan secara serta merta; 
  4. paksaan bersifat melawan hukum.

Penipuan adalah mempengaruhi pihak lain dengan tipu daya untuk membentuk akad, berdasarkan bahwa akad tersebut untuk kemaslahatannya, tetapi dalam kenyataannya sebaliknya.

Penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak membuat akad itu jika tidak dilakukan tipu muslihat.

Penyamaran adalah keadaan di mana tidak ada kesetaraan antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu akad. 


sumber:

Pasal 29-35 KHES Buku II

BACA JUGA

Label:

Selasa, 10 Januari 2023

Rukun dan Syarat Akad Ekonomi Syariah

 Rukun akad terdiri atas: 

  1. pihak-pihak yang berakad; 
  2. obyek akad; 
  3. tujuan-pokok akad; dan 
  4. kesepakatan.
Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.

Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.

Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.  

Akad tidak sah apabila bertentangan dengan: 
  1. syariat islam; 
  2. peraturan perundang-undangan; 
  3. ketertiban umum; dan/atau 
  4. kesusilaan;
Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu: 
  1. akad yang sah. 
  2. akad yang fasad/dapat dibatalkan. 
  3. akad yang batal/batal demi hukum.
a. Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
b. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.
c. Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.

Sumber:
Buku II KHES Pasal 22-28


BACA JUGA

Label:

ASAS ASAS AKAD DALAM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Apa saja asas-asas hukum ekonomi syariah?
Bagaimana asas-asas hukum perikatan Islam?

 Akad dilakukan berdasarkan asas: 

  1. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. 
  2. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji. 
  3. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
  4. luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. 
  5. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak. 
  6. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
  7. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
  8. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
  9. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. 
  10. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. 
  11. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.
Referensi:
Buku II KHES Pasal 21

BACA JUGA

Label:

MACAM-MACAM AKAD EKONOMI SYARIAH DAN PENGERTIANNYA

Apa saja jenis jenis akad dalam syariah?
Apa saja macam macam ekonomi syariah?
Akad dibagi menjadi berapa?

  1.  Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu
  2. Bai’ adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang. 
  3. Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat. 
  4. Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. 
  5. Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan. 
  6. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur
  7. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat. 
  8. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual-beli yang dilakukannya. 
  9. Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. 
  10. Istisna adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual. 
  11. Shunduq hifzi ida’/Safe Deposit Box adalah tempat penyimpan barang berharga sebagai titipan yang disediakan bank dengan sistem ijarah menyewa/ijarah dengan risiko ganti rugi. 
  12. Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam. 
  13. Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih. 
  14. Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
  15. Ghasb adalah mengambil hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa berniat untuk memilikinya.
  16. Ifsad/perusakan adalah pengurangan kualitas nilai suatu barang. 
  17. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
  18. Ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. 
  19. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.  
  20. Mabi’/barang dagangan adalah barang-barang yang dapat dipertukarkan. 
  21. Saham adalah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau badan usaha yang disatukan sebagai bagian dari harta milik bersama. 
  22. Obligasi Syariah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syari’ah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 
  23. Suk maliyah/reksa dana syariah adalah lembaga jasa keuagan non bank yang kegiatannya berorientasi pada investasi di sektor portofolio atau nilai kolektif dari surat berharga. 
  24. Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek yang diterbitkan oleh akad investasi kolektif Efek Beragun Aset Syariah yang portofolio-nya terdiri atas aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. 
  25. Surat berharga komersial Syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah . 
  26. Ta’min/asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi ta’min untuk menerima penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung-jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. 
  27. Suq maliyah/pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. 
  28. Nuqud i’timani/pembiayaan adalah penyediaan dana dan atau tagihan berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil.
  29. Dain/utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, secara langsung atau kontinjen. 
  30. Hisab mudayyan/piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual-beli dan atau ijarah berdasarkan akad murabahah, salam, istisna, dan atau ijarah. 
  31. Da’in/pemberi pinjaman adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau berdasarkan undang-undang. 
  32. Mudayin/Peminjam adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau berdasarkan undang-undang. 
  33. Waraqah tijariah/Surat berharga syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar dan atau pasar modal, antara lain wesel, obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah. 
  34. Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. 
  35. Tsaman/harga adalah jumlah uang yang harus dibayarkan untuk barang dagangan. 
  36. Qard adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. 
  37. Ta’widh/ganti rugi adalah penggantian atas kerugian riil yang dibayarkan oleh pihak yang melakukan wanprestasi. 
  38. Lembaga Keuangan Syariah Lembaga Keuangan Syari’ah adalah korporasi yang melakukan penghimpunan dana pihak ketiga dan memberikan pembiayaan kepada nasabah, baik bank maupun non-bank. 
  39. Sunduq mu’asyat taqa’udi/dana pensiun syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 
  40. Hisabat jariyat/Rekening koran syariah adalah pembiayaan yang dananya ijarah pada setiap saat dapat ditarik atau disetor oleh pemiliknya yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
  41. Bai’ al-wafa’/jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual-beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba. 
Referensi:

Lihat buku II KHES Pasal 20 

BACA JUGA

Label:

KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM






Bagaimana konsep hukum pidana Islam?

Istilah kejahatan dalam Islam sering disebut jināyat atau jarīmah yang memiliki arti kegiatan yang dilarang oleh syar'ah dimana orang yang melakukan kejahatan dapat diancam dalam bentuk 'uqūbat hudūd dan 'uqūbat ta'zīr. Menurut Abdul Qadir Audah, suatu perbuatan dapat disebut kejahatan apabila memenuhi unsur-unsur kejahatan dalam perbuatan tersebut. Yang dimaksud dengan jarimah adalah: 

1. Rukuk syar'ī, yaitu hal-hal yang dilarang dan adanya ketentuan nasḥ yang melarang serta disertai rasa takut akan hukuman. 2. Rukun māḍi, yaitu hal-hal yang berupa perbuatan yang menyebabkan jarimah atau berupa perbuatan (baik) atau kelambanan (buruk). 3. Ogidi adabi, yaitu pemenuhan perbuatan moral, artinya orang yang menulis kejahatan adalah blasteran, yaitu akan dipaksa melakukan kejahatan. Organisasi kriminal dan hukum pidana Islam dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu jariīmah hūdūd, jariīmah ta'zīr dan jariīmah qiṣaṣ/diyat.

1. Jarīmah Hūdūd adalah hukuman yang bentuk dan ukurannya telah ditentukan dalam nasḥ (al-Qur'an dan al-hadits). Jenis tindak pidana yang termasuk dalam kategori hudud adalah zaina, tuduhan zina (qadzf), pencurian (al-sarīqah), pencurian (hirābah), minuman keras (khamar), pemberontakan (al-baghyu) dan kemurtadan (al-ridda). ). 2. Jarīmah ta'zir adalah hukuman ajaran atas perbuatan yang dilarang dan tidak dibenarkan dalam syarah'. Keputusan hukuman dan bentuknya diserahkan kepada Ulul Amri untuk mempertimbangkan kemaslahatan hidup bersama. 

3. Jarīmah qiṣaṣ/diyat adalah memberi pahala kepada orang yang melakukan kejahatan dan perbuatan serupa atas apa yang telah dilakukannya (secara proporsional) seperti, merugikan badan dibalas dengan merugikan, menghilangkan tangan dibalas dengan menghilangkan tangan dan membunuh maka pahalanya juga demikian. dibunuh (Qs. Al.-Bakara: 178). Sedangkan pengertian diyat adalah harta jiwa yang hakiki, yaitu banyak harta yang harus diberikan akibat kejahatan kepada keluarga atau wali orang tersebut. Dalam kasus diyat, hal ini dapat terjadi ketika keluarga atau wali orang tersebut memaafkan pelaku kejahatan (jarimah).

BACA JUGA

Label:

Senin, 09 Januari 2023

Manusia Menurut Hukum Islam

 Definisikan apa itu manusia menurut hukum Islam?

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.

 

Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan sosial (superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).

Sementara penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan (psikoanalisis) aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek.

Penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak memengaruhi peristiwa. Padahal berpikir, memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.[1]

Sementara di dalam Al-Qur’an terdapat 4 kata atau istilah yang digunakan untuk menunjukkan manusia.  Pertama, kata ins yang kemudian membentuk kata insan dan unas. Kata “insan” diambil dari kata “uns” yang mempunyai arti jinak, tidak liar, senang hati, tampak atau terlihat. Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali, diantaranya (al-alaq/96: 5)

عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.



[1] Berutu, Ali G. 2020. “KEKUASAAN ALLAH DAN HUKUM ISLAM BAGI MANUSIA DAN ALAM.” OSF Preprints. October 18. doi:10.31219/osf.io/ys45a.

BACA JUGA

Label:

PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG UPAH ATAU UJRAH

 

Keberadaan upah tergantung pada adanya akad. Sedangkan menurut Ulama` Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, tergantung pada kebutuhan ‘aqid. Menurut Hanafiyah serta Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara:

a.       Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad;

b.      Mempercepat tanpa adanya syarat;

c.       Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit. Jika dua orang yang berakad sepakat untuk mengakhirkan upah, maka hal itu diperbolehkan.

Selain dari apa yang telah disebutkan diatas dalam perspektif agama Islam terdapat dua macam Upah:

a.   Upah dalam Ruang Lingkup Ijarah (Sewa);

Menurut Ulama` Syafi`iyah, ijarah merupakan akad suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Sementara itu, terdapat pendapat yang mengartikan ijarah adalah jual-beli jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat dari tenaga manusia. Terdapat beberapa Ulama` yang tidak menyepakati hal ini, dikarekan dalam hal jual-beli jasa, unsur jual-beli yang terdapat di dalamnya tidak dapat dipegang (tidak ada), sehingga sesuatu yang tidak ada tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai jual-beli. Namun, Ibn Rusyd berpendapat, kemanfaatan walaupun tidak berbentuk dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat). Dalam ijarah terdapat beberapa rukun (menurut para Jumhur Ulama` berjumlah empat rukun), yang harus terpenuhi, salah satunya yakni upah (Ujrah).

b.   Upah Ji’alah

Pada dasarnya Ji’alah memperuntukkan sejumlah uang kepada orang yang melaksanakan pekerjaan mubah, baik diketahui ataupun tidak. Bentuk dari ji’alah ini, lebih tepatnya seperti sayembara. Barangsiapa yang melakukan suatu    pekerjaan    yang    dikehendaki oleh pemberi    ji’alah maka orang tersebut akan mendapatkan upahnya. Ji’alah juga termasuk memberikan upah, kepada mereka yang telah menyelamatkan dan mengembalikan harta orang lain dari kebinasaan. Hukum mengadakan ji’alah diperbolehkan, disebabkan faktor kebutuhan masyarakat. Sedangkan jika terjadi pembatalan, maka dampaknya bergantung kepada siapa pihak yang telah membatalkannya. Apabila yang membatalkan ji’alah adalah pihak pekerja, maka pekerja tersebut tidak berhak upah. Jika sebaliknya, maka pekerja berhak mendapatkan upah (kecuali jika pembatalan tersebut terjadi sebelum pekerja melakukan pekerjaannya).

Produk dan layanan pada BRILink dilakukan dengan akad imbal jasa (akad ijarah atau ujrah). Upah (Ijarah) merupakan akad yang digunakan untuk kepemilikan manfaat (jasa) dari seorang mu’ajir oleh seorang musta’jir yang dijelaskan disengaja dengan memberikan pengganti (kompensasi/upah). Imbal jasa tersebut adalah antara pihak bank penyelenggara BRILink dengan agen. Seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian kerjasama diatas.  Mekanisme imbal jasa yang dilakukan adalah berupa besaran komisi/fee. Pemberian upah hendaknya berdasarkan akad (kontrak) perjanjian kerja, karena akan menimbulkan hubungan yang berisi hak-hak atas kewajiban masing-masing pihak. Menurut penjelasan para ulama hukum ujrah diperbolehkan dalam Islam.



BACA JUGA

Label:

PRINSIP UJRAH DALAM MUAMALAT


Berkaitan dengan masalah pengupahan atau masalah Ijarah terdapat beberapa prinsip muamalah yang diatur dalam hukum Islam yaittu sebagai berikut:

a)     Prinsip Tolong Menolong

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Zukhruf Ayat 32 menegaskan:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ                                                     

 Artinya : “ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Penjelasan dari ayat ini Allah telah menentukan kedudukan dan kehidupan manusia di dunia, yaitu ada yang memiliki derajat yang tinggi daripada manusia yang lain. Ada yang kaya dan ada pula yang miskin, dengan begitu mereka yang mampu dan kesulitan mengerjakan sesuatu maka akan memerlukan bantuan menggunakan tenaga orang lain.

b)    Prinsip Kelayakan / Patut

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. رواه ابن ماجه

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.” (HR. Ibnu Majah)

Berdasarkan hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw. mengajarkan kepada umat Islam untuk memanusiakan manusia. Memberikan hak kepada para pekerja yang telah menunaikan kewajibannya sebelum kering keringatnya. Dengan demikian maka, para pekerja itu merasa dihargai usahanya dan semakin tambah semangat untuk bekerja. Di dalam ajaran Islam sudah sewajarnya apabila menggunakan jasa orang lain maka kita hendaknya memberikan upah yang layak kepada yang memberikan jasa.

c)     Prinsip Kepastian/Jelas

Riwayat Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Allah Azza Wajalla berfirman : Tiga golongan yang akan Aku musuki kelak di hari kiamat yaitu seorang yang memberikan pinjaman dengan namaku, kemudian khianat, seorang yang menjual orang merdeka dan menikmati hasilnya dan seseorang yang mempekerjakan kuli (pekerja) lalu pekerja yang menunaikan pekerjaannya, namun upahnya tidak diberi”(HR. Muslim). Sangat jelas didalam hadist ini bahwa pekerja harus diperlakukan dengan baik dengan upah layak yang harus diberikan kepada pekerja.

d)    Prinsip Manfaat

Apabila kita mempekerjakan seseorang maka hendaklah menyebutkan tentang upah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak sembarangan memberikan upah kepada pekerja dengan melihat kondisi dan jenis pekerjaan yang harus dilakukannya. Ibu Rusyd dalam kitab Bidayah Al Mujtahid menegaskan bahwa ijarah diperbolehkan oleh seluruh fuqaha (telah jimak). “Setiap sesuatu yang boleh dimanfaatkan dengan mengekalkan dzatnya, sah melakukan ijarah, jika diukur manfaatnya dengan salah satu dari dua perkara yaitu jangka waktu dan kerja “Selanjutnya Syaikh Abu Syuja dalam kitab Kifayah Al Akhyar menegaskan bahwa : “Sesungguhnya ijarah itu diperbolehkan oleh seluruh fuqaha negeri besar dan fuqaha masa pertama”. Berdasarkan uraian tentang dalil-dalil syara dan prinsip-prinsip muamalah yang terdapat dalam uraian diatas, tidak ada keraguan lagi tentang kebolehan mengadakan transaksi ijarah. Dalam transaksi ijarah tersebut merujuk pada penerapan upah yang layak bagi para pekerja.


BACA JUGA

Label:

MACAM-MACAM UJRAH ATAU UPAH

 

a.     Upah yang  Sepadan  (Ujrah Al-misli)

Ujrah al-misli merupakan upah yang sepadan dengan kerja dan jenis pekerjaan, sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemberi dan penerima kerja (pekerja) pada saat transaksi pembelian jasa, untuk menentukan tarif upah atas kedua belah pihak yang melakukan transaksi pembeli jasa, tetapi belum menentukan upah yang disepakati maka mereka harus menentukan upah yang wajar sesuai dengan pekerjaannya atau upah yang dalam situasi normal biasa diberlakukan dan sepadan dengan tingkat jenis pekerjaan tersebut. Tujuan dari ditentukannya tarif upah yang sepadan adalah  untuk  menjaga  kepentingan  kedua  belah  pihak,  baik  penjual maupun pembeli jasa, dan menghindarkan adanya unsur eksploitasi di dalam setiap transaksi-transaksi denganbegitu melalui tarif upah yang sepadan, setiap perselisihan yang terjadi akan dapat terselesaikan secara adil.

 

b.     Upah yang  Telah  Disebutkan  (Ujrah Al-musamma)

Upah yang disebut (ujrah al-musamma) adalah ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima) kedua belah pihak yang sedang melakukan transaksi terhadap upah tersebut. Dengan demikian, pihak musta’jir tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang telah disebutkan, sebagaimana pihak ajir juga tidak boleh dipaksa untuk mendapatkan lebih kecil dari apa yang yang telah  disebutkan,  melainkan upah tersebut merupakan upah yang wajib mengikuti ketentuan syara. Apabila upah tersebut disebutkan pada saat melakukan transaksi,  maka upah tersebut pada saat itu merupakan upah yang disebutkan (ajrun musamma). Apabila belum disebutkan, ataupun terjadi perselisihan terhadap upah yang telah di sebutkan, maka upahnya bisa diberlakukan upah yang sepadan (ajrul misli).


BACA JUGA

Label:

RUKUN DAN SYARAT UJRAH ATAU UPAH

 

a.     Rukun Upah

Menurut Jumhur ulama rukun upah terdiri atas :

1)  Aqid (orang yang berakad) merupakan orang yang melakukan akad

sewa menyewa atau upah mengupah. Orang yang memberikan upah dan orang yang menyewakan disebut dengan mu’jir dan orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu disebut must’jir. Golongan Syafiiyah dan Hanabilah menambahkan bahwa mereka yang melakukan akad tidak cukup hanya sekedar mumayyiz saja namun juga harus orang yang sudah dewasa.

2)   Sigat pernyataan kehendak disebut sigat akad (sigatul-‘aqd), terdiri atas ijab dan qabul yang dapat melalui ucapan,  utusan, tulisan,  isyarat, secara diam-diam, bahkan dengan  diam  semata.  Mengenai syarat adalah sama   dengan syarat ijab dan qabul pada jual-beli, hanya saja dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.

3)   Upah (Ujrah), merupakan sesuatu yang diberikan atas  jasa  yang  telah diberikan atau diambil  manfaatnya dengan syarat sebagai berikut :

1.      Sudah  jelas/sudah  diketahui  jumlahnya;

2.      Pegawai khusus seperti seorang hakim tidak boleh mengambil

uang dari pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji, berarti dia mengerjakan satu pekerjaan  dan mendapat gaji dua kali;

3.      Uang sewa diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang

yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap berarti, manfaat dan pembayaran (uang) sewa yang menjadi obyek sewa-menyewa;

4.      Manfaat  untuk mengontrak seorang musta’jir , ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Maka dari itu, jenis pekerjaannya  harus syarat upah (ujrah).

b.      Syarat Upah

Syarat-syarat ujrah adalah sebagai berikut:

1)    Upah dilakukan dengan cara musyawarah dan konsultasi terbuka,

sehingga dapat terwujud rasa kewajiban moral yang tinggi dan loyalitas terhadap kepentingan umum;

2)    Upah adalah berupa al-mutaqawwim dan upah tersebut harus

dinyatakan secara jelas konkrit bisa juga dengan menyebutkan  kriteria-kriteria. Karena upah merupakan pembayaran atas nilai manfaat, nilai tersebut disyaratkan harus diketahui dengan  jelas. Mempekerjakan orang dengan upah makan, merupakan contoh upah yang tidak jelas karena mengandung unsur jihalah (ketidakpastian). Ijarah seperti ini menurut jumhur fuqaha, selain malikiyah tidak sah. Fuqaha malikiyah menetapkan   keabsahan ijarah tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan;

3)    Upah harus berbeda dengan jenis obyek. Memberi upah suatu

pekerjaan dengan pekerjaan yang serupa, hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan pada praktek riba. Seperti contoh: memperkerjakan kuli untuk membangun rumah dan upahnya berupa bahan bangunan atau rumah;

4)    Upah perjanjian persewaan tidak berupa manfaat dari jenis sesuatu yang dijadikan perjanjian. Dan tidak sah membantu seseorang dengan upah membantu orang lain. Masalah tersebut tidak sah karena persamaan jenis manfaat. Maka masing-masing itu berkewajiban mengeluarkan upah sepantasnya  setelah  menggunakan tenaga seseorang tersebut;

5)    Berupa harta tetap yang dapat diketahui. Jika manfaat tersebut  tidak jelas dan menyebabkan adanya perselisihan, maka menjadi tidak sah akadnya karena ketidakjelasan yang menghalangi penyerahan dan penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan  objek akad terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat, masa waktu, dan penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para pekerja.




BACA JUGA

Label: