RUKUN DAN SYARAT UJRAH ATAU UPAH
a. Rukun
Upah
Menurut Jumhur ulama rukun upah terdiri
atas :
1) Aqid
(orang yang berakad) merupakan orang yang melakukan akad
sewa
menyewa atau upah mengupah. Orang yang memberikan upah dan orang yang
menyewakan disebut dengan mu’jir dan
orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu
disebut must’jir. Golongan Syafiiyah
dan Hanabilah menambahkan bahwa mereka yang melakukan akad tidak cukup hanya
sekedar mumayyiz saja namun juga
harus orang yang sudah dewasa.
2) Sigat
pernyataan kehendak disebut sigat akad (sigatul-‘aqd),
terdiri atas ijab dan qabul yang dapat melalui ucapan, utusan, tulisan, isyarat, secara diam-diam, bahkan dengan diam
semata. Mengenai syarat adalah
sama dengan syarat ijab dan qabul pada
jual-beli, hanya saja dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang
ditentukan.
3) Upah
(Ujrah), merupakan sesuatu yang
diberikan atas jasa yang
telah diberikan atau diambil
manfaatnya dengan syarat sebagai berikut :
1.
Sudah
jelas/sudah diketahui jumlahnya;
2.
Pegawai khusus seperti seorang hakim tidak
boleh mengambil
uang
dari pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah.
Jika dia mengambil gaji, berarti dia mengerjakan satu pekerjaan dan mendapat gaji dua kali;
3.
Uang sewa diserahkan bersamaan dengan
penerimaan barang
yang
disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap
berarti, manfaat dan pembayaran (uang) sewa yang menjadi obyek sewa-menyewa;
4. Manfaat untuk mengontrak seorang musta’jir , ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Maka dari itu, jenis pekerjaannya harus syarat upah (ujrah).
b. Syarat Upah
Syarat-syarat ujrah adalah sebagai
berikut:
1) Upah
dilakukan dengan cara musyawarah dan konsultasi terbuka,
sehingga dapat terwujud
rasa kewajiban moral yang tinggi dan loyalitas terhadap kepentingan umum;
2) Upah
adalah berupa al-mutaqawwim dan upah
tersebut harus
dinyatakan secara jelas
konkrit bisa juga dengan menyebutkan
kriteria-kriteria. Karena upah merupakan pembayaran atas nilai manfaat,
nilai tersebut disyaratkan harus diketahui dengan jelas. Mempekerjakan orang dengan upah makan,
merupakan contoh upah yang tidak jelas karena mengandung unsur jihalah (ketidakpastian). Ijarah seperti
ini menurut jumhur fuqaha, selain malikiyah tidak sah. Fuqaha malikiyah menetapkan keabsahan ijarah tersebut sepanjang ukuran
upah yang dimaksudkan dan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan;
3) Upah
harus berbeda dengan jenis obyek. Memberi upah suatu
pekerjaan dengan
pekerjaan yang serupa, hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan pada
praktek riba. Seperti contoh: memperkerjakan kuli untuk membangun rumah dan
upahnya berupa bahan bangunan atau rumah;
4) Upah
perjanjian persewaan tidak berupa manfaat dari jenis sesuatu yang dijadikan
perjanjian. Dan tidak sah membantu seseorang dengan upah membantu orang lain.
Masalah tersebut tidak sah karena persamaan jenis manfaat. Maka masing-masing
itu berkewajiban mengeluarkan upah sepantasnya
setelah menggunakan tenaga
seseorang tersebut;
5) Berupa
harta tetap yang dapat diketahui. Jika manfaat tersebut tidak jelas dan menyebabkan adanya
perselisihan, maka menjadi tidak sah akadnya karena ketidakjelasan yang
menghalangi penyerahan dan penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad
tersebut. Kejelasan objek akad terwujud
dengan penjelasan, tempat manfaat, masa waktu, dan
penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para pekerja.
Label: HUKUM ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda