Senin, 09 Januari 2023

PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG UPAH ATAU UJRAH

 

Keberadaan upah tergantung pada adanya akad. Sedangkan menurut Ulama` Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, tergantung pada kebutuhan ‘aqid. Menurut Hanafiyah serta Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara:

a.       Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad;

b.      Mempercepat tanpa adanya syarat;

c.       Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit. Jika dua orang yang berakad sepakat untuk mengakhirkan upah, maka hal itu diperbolehkan.

Selain dari apa yang telah disebutkan diatas dalam perspektif agama Islam terdapat dua macam Upah:

a.   Upah dalam Ruang Lingkup Ijarah (Sewa);

Menurut Ulama` Syafi`iyah, ijarah merupakan akad suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Sementara itu, terdapat pendapat yang mengartikan ijarah adalah jual-beli jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat dari tenaga manusia. Terdapat beberapa Ulama` yang tidak menyepakati hal ini, dikarekan dalam hal jual-beli jasa, unsur jual-beli yang terdapat di dalamnya tidak dapat dipegang (tidak ada), sehingga sesuatu yang tidak ada tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai jual-beli. Namun, Ibn Rusyd berpendapat, kemanfaatan walaupun tidak berbentuk dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat). Dalam ijarah terdapat beberapa rukun (menurut para Jumhur Ulama` berjumlah empat rukun), yang harus terpenuhi, salah satunya yakni upah (Ujrah).

b.   Upah Ji’alah

Pada dasarnya Ji’alah memperuntukkan sejumlah uang kepada orang yang melaksanakan pekerjaan mubah, baik diketahui ataupun tidak. Bentuk dari ji’alah ini, lebih tepatnya seperti sayembara. Barangsiapa yang melakukan suatu    pekerjaan    yang    dikehendaki oleh pemberi    ji’alah maka orang tersebut akan mendapatkan upahnya. Ji’alah juga termasuk memberikan upah, kepada mereka yang telah menyelamatkan dan mengembalikan harta orang lain dari kebinasaan. Hukum mengadakan ji’alah diperbolehkan, disebabkan faktor kebutuhan masyarakat. Sedangkan jika terjadi pembatalan, maka dampaknya bergantung kepada siapa pihak yang telah membatalkannya. Apabila yang membatalkan ji’alah adalah pihak pekerja, maka pekerja tersebut tidak berhak upah. Jika sebaliknya, maka pekerja berhak mendapatkan upah (kecuali jika pembatalan tersebut terjadi sebelum pekerja melakukan pekerjaannya).

Produk dan layanan pada BRILink dilakukan dengan akad imbal jasa (akad ijarah atau ujrah). Upah (Ijarah) merupakan akad yang digunakan untuk kepemilikan manfaat (jasa) dari seorang mu’ajir oleh seorang musta’jir yang dijelaskan disengaja dengan memberikan pengganti (kompensasi/upah). Imbal jasa tersebut adalah antara pihak bank penyelenggara BRILink dengan agen. Seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian kerjasama diatas.  Mekanisme imbal jasa yang dilakukan adalah berupa besaran komisi/fee. Pemberian upah hendaknya berdasarkan akad (kontrak) perjanjian kerja, karena akan menimbulkan hubungan yang berisi hak-hak atas kewajiban masing-masing pihak. Menurut penjelasan para ulama hukum ujrah diperbolehkan dalam Islam.



BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda