PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG UPAH ATAU UJRAH
Keberadaan upah tergantung pada adanya
akad. Sedangkan menurut Ulama` Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki
berdasarkan akad itu sendiri, tetapi diberikan sedikit demi sedikit, tergantung
pada kebutuhan ‘aqid. Menurut
Hanafiyah serta Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara:
a. Mensyaratkan
upah untuk dipercepat dalam zat akad;
b. Mempercepat
tanpa adanya syarat;
c. Dengan
membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit. Jika dua orang yang berakad sepakat
untuk mengakhirkan upah, maka hal itu diperbolehkan.
Selain dari apa yang telah disebutkan
diatas dalam perspektif agama Islam terdapat dua macam Upah:
a. Upah
dalam Ruang Lingkup Ijarah (Sewa);
Menurut Ulama` Syafi`iyah, ijarah
merupakan akad suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Sementara
itu, terdapat pendapat yang mengartikan ijarah
adalah jual-beli jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat dari tenaga
manusia. Terdapat beberapa Ulama` yang tidak menyepakati hal ini, dikarekan
dalam hal jual-beli jasa, unsur jual-beli yang terdapat di dalamnya tidak dapat
dipegang (tidak ada), sehingga sesuatu yang tidak ada tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai jual-beli. Namun, Ibn Rusyd berpendapat, kemanfaatan
walaupun tidak berbentuk dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan
(adat). Dalam ijarah terdapat beberapa rukun (menurut para Jumhur Ulama`
berjumlah empat rukun), yang harus terpenuhi, salah satunya yakni upah (Ujrah).
b. Upah
Ji’alah
Pada
dasarnya Ji’alah memperuntukkan
sejumlah uang kepada orang yang melaksanakan pekerjaan mubah, baik diketahui ataupun
tidak. Bentuk dari ji’alah ini, lebih
tepatnya seperti sayembara. Barangsiapa yang melakukan suatu pekerjaan
yang dikehendaki oleh
pemberi ji’alah maka orang tersebut akan mendapatkan upahnya. Ji’alah juga termasuk memberikan upah,
kepada mereka yang telah menyelamatkan dan mengembalikan harta orang lain dari kebinasaan.
Hukum mengadakan ji’alah diperbolehkan,
disebabkan faktor kebutuhan masyarakat. Sedangkan jika terjadi pembatalan, maka
dampaknya bergantung kepada siapa pihak yang telah membatalkannya. Apabila yang
membatalkan ji’alah adalah pihak
pekerja, maka pekerja tersebut tidak berhak upah. Jika sebaliknya, maka pekerja
berhak mendapatkan upah (kecuali jika pembatalan tersebut terjadi sebelum
pekerja melakukan pekerjaannya).
Produk dan layanan pada BRILink dilakukan
dengan akad imbal jasa (akad ijarah
atau ujrah). Upah (Ijarah) merupakan akad yang digunakan
untuk kepemilikan manfaat (jasa) dari seorang mu’ajir oleh seorang musta’jir
yang dijelaskan disengaja dengan memberikan pengganti (kompensasi/upah). Imbal
jasa tersebut adalah antara pihak bank penyelenggara BRILink dengan agen.
Seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian kerjasama diatas. Mekanisme imbal jasa yang dilakukan adalah
berupa besaran komisi/fee. Pemberian
upah hendaknya berdasarkan akad (kontrak) perjanjian kerja, karena akan
menimbulkan hubungan yang berisi hak-hak atas kewajiban masing-masing pihak.
Menurut penjelasan para ulama hukum ujrah
diperbolehkan dalam Islam.
Label: HUKUM ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda