Yurisprudensi pemeriksaan perkara banding di Indonesia
1.
Putusan tidak memperhatikan memori banding.
- Putusan MA No. 112 K/Sip/1955,
tanggal 11 April 1955 : “ Karena pengadilan tinggi tidak memperhatikan memori banding, akibatnya
putusan pengadilan tinggi tersebut harus dibatalkan.
2.
Tidak wajib meninjau
satu persatu dalil-dalil dalam memori banding.
- Putusan MA No. 247 K/Sip/1953,
tanggal 6 April 1955 : “Hakim banding tidak wajib meninjau satu per satu dalil-dalil yang termuat dalam memori
banding dan juga tidak wajib meninjau satu per satu segala pertimbangan dari hakim pertama”.
3.
Keberatan pembanding diabaikan.
- Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal
11 April 1956 :”Keberatan-keberatan Pembanding yang tercantum dalam memori banding,
wajib dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi dalam putusannya”.
4.
Hakim tinggi boleh
mengambil alih alasan-alasan hakim pengadilan negeri.
- Putusan MA No. 143 K/Sip/1956,
tanggal 14 Agustus 1957 :” Semenjak zaman Hindia Belanda dalam praktik “Raden van Justitie” dalam apel, tidak
mengharuskan kepada hakim banding untuk meninjau, serta mempertimbangkan semua hal, satu demi satu tentang apa saja yang oleh pembanding
diajukan di dalam memori bandingnya. Hakim banding dapat mengoper penuh terhadap alasan-alasan hukum Hakim Pertama
Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah benar dan tepat. Dengan
“sikap mengoper”
tersebut, hakim banding sesungguhnya telah memperlihatkan pendiriannya bahwa pengadilan tinggi
tidak menyetujui dalil-dalil yang di dalam “Memori Banding”.
5.
Memori banding tidak disampaikan kepada terbanding.
- Putusan MA No.74/Sip/1955, tanggal
12 September 1957 :”Dalam hal pemeriksaan banding, memori tidak diberitahukan kepada pihak lawan, putusan pengadilan yang bersangkutan patut dibatalkan”.
6.
Mengambil alih pertimbangan hakim pengadilan negeri.
-
Putusan MA No.786 K/Sip/1972,
tanggal 3 Januari 1972 :”Pengadilan Tinggi adalah berwenang untuk mengambil alih semua pertimbangan hukum dalam
putusan pengadilan negeri yang oleh Pengadilan Tinggi dinilainya pertimbangan tersebut telah benar dan tepat
dalam mengadili perkara yang dimohon
banding tersebut.
7.
Pemeriksaan perkara di tingkat banding.
-
Putusan MA No. 951 K/Sip/1973,
tanggal 9 Oktober 1975 :” Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat
banding—pengadilan tinggi yang hanya memeriksa
keberatan- keberatan yang
diajukan oleh pembanding saja, adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang
atas seluruh perkara tersebut, baik faktanya,
maupun penerapan hukumnya yang telah
diputuskan oleh hakim pertama”.
8.
Pemeriksaan perkara di tingkat banding.
-
Putusan MA No. 194 K/Sip/1975, tanggal
30 November 1976 :”Pengadilan Tinggi sebagai peradilan
tingkat banding, dalam memeriksa perkara
perdata yang dimohon
banding harus memeriksa
dan memberikan putusan
perkara tersebut secara
keseluruhannya, baik yang konpensi maupun yang rekonvensi yang telah
diputus oleh peradilan tingkat pertama”.
9.
Permohonan banding oleh yang bukan pihak.
-
Putusan MA No. 207 K/AG/1993,
tanggal 25 November 1994 ;”Permohonan banding
yang diajukan oleh orang yang bukan merupakan
pihak dalam pengadilan tingkat pertama, maka
permohonan banding tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama. Upaya hukumnya
seharusnya adalah mengajukan perlawanan (verzet).
10. Putusan sela tidak dapat dibanding secara tersendiri.
-
Putusan MA No. 316 K/Pdt/1994,
tanggal 28 Mei 1997 :”Terhadap putusan sela tidak dapat diajukan banding secara berdiri sendiri, harus lebih
dahulu ditunggu putusan akhir, baru dapat diajukan banding bersama-sama dengan putusan akhir.
11. Banding putusan
dan surat kuasanya.
-
Putusan MA No. 202 K/Sip/1953,
tanggal 6 Juli 1955 :”Suatu surat kuasa yang isinya menyatakan bahwa pemberian
kuasa ini untuk menggunakan segala upaya hukum terhadap putusan
Pengadilan dapat ditafsirkan (dianggap) termasuk juga untuk mengajukan permohonan banding”.
12. Keberatan pembanding diabaikan.
-
Putusan MA No. 112 K/Sip/1955, tanggal
11 April 1956 : “Keberatan-keberatan Pembanding yang tercantum dalam memori banding,
wajib dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi dalam putusannya”.
13. Masalah surat
kuasa banding.
-
Putusan MA No.117 K/Sip/1955,
tanggal 8 Mei 1957 :”Suatu surat kuasa yang isinya tidak dengan tegas menyebutkan pemberian kuasa untuk mohon
banding, seperti dalam kasus ini
hanya dipakai kalimat : Menolak segala macam putusan yang merugikan, maka surat kuasa ini tidak
dapat diterima untuk
mengajukan permohonan banding”.
14. Masalah memori
banding.
-
Putusan MA No. 143 K/Sip/1956,
tanggal 14 Agustus 1957 :”Semenjak zaman Hindia Belanda dalam praktek Raden van Justitie dalam appel, tidak mengharuskan kepada Hakim Banding
untuk meninjau, serta mempertimbangkan semua hal, satu demi satu tentang apa saja yang oleh Pembanding
diajukan di dalam memori bandingnya. Hakim Banding
dapat mengoper penuh terhadap alasan-alasan hukum putusan Hakim Pertama Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah benar dan tepat. Dengan sikap mengoper tersebut,
Hakim Banding sesungguhnya telah memperlihatkan pendiriannya bahwa Pengadilan Tinggi
tidak menyetujui dalil-dalil yang ada di dalam Memori Banding”.
15. Masalah pembuktian oleh pengadilan tinggi.
-
Putusan MA
No. 25 K/Sip/1957, tanggal 18 September 1957 :
· Pemohon
Kasasi dalam memori kasasi mengemukakan keberatan terhadap putusan akhir Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa tanah sengketa
adalah tanah partikelir.
· Kesimpulan
ini adalah hasil pembuktian oleh Pengadilan Tinggi yang diperoleh dari hasil pembuktian berupa “perslah keahlian”
yang dibuat oleh Ahli Agraria
dan disidang ahli ini, juga
disumpah sebagi Ahli. Disamping itu didengar pula beberapa orang saksi di bawah sumpah. Upaya
pembuktian oleh Pengadilan Tinggi dengan hasil
kesimpulan tersebut di atas
telah ditentang oleh Pemohon Kasasi.
· Majelis
Mahkamah Agung menilai bahwa Pengadilan Tinggi dalam cara pembuktian tersebut di atas, ternyata tidak melanggar
UU atau Hukum dan Hasil pembuktian itu adalah
bersifat kenyataan yang tidak takluk akan kasasi. Dengan pertimbangan ini Mahkamah
Agung menolak kasasi dari pemohon
kasasi”.
16. Pemeriksaan secara
keseluruhan.
-
Putusan MA No.46 K/Sip/1969, tanggal 9 Juni 1971 :”
· Majelis Hakim Pertama telah memberi putusannya. Tiga orang
Tergugat menolak putusan ini dan mengajukan upaya hukum Banding
ke Pengadilan Tinggi.
Dari permohonan banding,
secara formil, hanya seorang Pemohon
banding yang dapat
diterima, sedang tiga orang Pemohon
yang lain tidak dapat
diterima.
· Majelis Hakim Banding dalam memeriksa dan mengadili perkara
ini, seharusnya memeriksa perkara ini secara keseluruhan terhadap
semua kepentingan para Pembanding,
termasuk Pembanding yang permohonan bandingnya dinyatakan tidak dapat diterima.
17. Memori banding
dalam upaya hukum banding.
-
Putusan MA No.663 K/Sip/1971, tanggal 6 Agustus
1973 ;”Undang-undang tidak mewajibkan
pemohon banding (Pembanding) untuk menyerahkan memori banding ke Pengadilan Tinggi sewaktu perkara
yang dimohon banding
tersebut diajukan dan diperiksa
oleh Pengadilan Tinggi. Karena itu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang tidak memenuhi
permintaan Pembanding agar pemeriksaan ditangguhkan, karena Pembanding akan menyerahkan memori banding, bukan merupakan pelanggaran terhadap Hukum
Acara Perdata oleh Hakim”.
18. Memori/risalah banding.
-
Putusan MA No. 663 K/Sip/1971, tanggal 6 Agustus
1973 :” Undang-undang yang mengatur pemeriksaan ulangan terhadap
putusan Pengadilan tingkat pertama, di dalam
perkara perdata tidak mewajibkan si pemohon banding untuk mengajukan
keberatan- keberatannya di dalam
risalah banding atau memori
banding.
19. Cara pemeriksaan di tingkat banding.
-
Putusan MA No. 951 K/Sip/1973,
tanggal 9 Oktober 1975 :”Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding-Pengadilan Tinggi yang hanya
memeriksa keberatan-keberatan yang
diajukan oleh Pembanding saja, adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas
seluruh perkara tersebut, baik faktanya,
maupun penerapan hukumnya yang
telah diputuskan oleh hakim
pertama”.
20. Para pihak tidak perlu hadir.
-
Putusan MA No. 23 K/Sip/1973, tanggal
19 Nopember 1975 :”Persidangan dalam memeriksa
putusan perkara gugatan perdata yang dimohon banding ke Pengadilan Tinggi yang tidak dihadiri para pihak adalah
tidak bertentangan dengan hukum acara, sehingga baik sidangnya maupun
putusan Pengadilan Tinggi
a quo adah sah menurut
hukum. Dasar hukumnya UU No. 20/tahun 1947 jo UU No.1/tahun 1951 pasal II ayat (1) (2)”.
21. Asas pemeriksaan tingkat banding.
-
Putusan MA No. 281 K/Sip/1973
tanggal 2 Desember 1975 :”Asas hukum acara perdata yang berlaku bagi cara pemeriksaan putusan Hakim yang dimohonkan
banding adalah bahwa fokus pemeriksaan oleh Pengadilan Tinggi hanya terbatas pada Putusan Pengadilan Negeri yang dianggap
merugikan pihak yang mohon banding. Jadi pemeriksaannya tidak
diarahkan pada dictum
putusan PN yang menguntungkan baginya”.
22. Banding atas putusan
arbitrase:
-
Putusan MA No.
1/Banding/Wasit/1981, tanggal 10 Juli 1984 ;”Para pihak yang telah bersepakat bahwa terhadap putusan panitia
arbitrase tidak dapat diajukan banding, ex Pasal 641 Rv jo
Pasal 377 HIR, oleh karena itu maka permohonan banding
tersebut adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung”.
23. Banding keputusan pendaftaran merek.
-
Putusan MA No. 432 K/TUN/2001, tanggal
29 Mei 2002 :”Upaya hukum banding terhadap penolakan permohonan pendaftaran
merek Departemen Kehakiman dan HAM berdasar atas alasan yang bersifat substantive, seharusnya diajukan kepada komisi banding merek. Namun, karena komisi
banding merek belum berjalan secara efektif,
maka pihak yang dirugikan oleh Dir.Merek Dep Kehakiman tersebut dapat
mengajukan gugatan kepada Peratun-
Peradilan Tata Usaha Negara ex Pasal 1 ayat (3) dari UU No. 5/tahun 1986.
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda