Selasa, 10 Januari 2023

Teori-Teori Pembuktian Hukum Acara Peradilan Agama

Apa yang dimaksud pembuktian dalam hukum acara peradilan agama?
Apa yang dimaksud dengan teori pembuktian?
Teori pembuktian apa saja yang ada dalam hukum acara perdata?

Terdapat dua aliran mengenai kekuatan alat bukti: 

  1. Teori vrijbewijs. Teori ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai alat bukti. 
  2. Teori verplichtbewijs. Teori ini menyatakan bahwa hakim terikat oleh alat-alat bukti.
Adapun ketentuan yang terdapat HIR (Herzien Inlandsch Reglement) menganut gabungan dari teori-teori tersebut, artinya ada ketentuan bahwa hakim terikat dan ada pula yang mengatakan bahwa hakim bebas menilai alat-alat bukti tersebut. Misalnya dalam hal sumpah decisioir hakim terikat oleh sumpah tersebut dan harus dianggap benar oleh hakim. Sedangkan contoh hakim bebas menilai alat bukti yaitu dalam menilai alat bukti saksi.

Sudikno Mertokusumo dalam Rasyid  terkait pembuktian mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian”. Berhubung hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU maka tentang hal tersebut timbul tiga teori, yakni:
  1. Teori pembuktian bebas. Teori ini menghendaki seorang hakim bebas dalam menilai alat bukti yang diajukan. Misalnya untuk menilai keterangan saksi, hakim bebas untuk menilainya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 172 HIR atau Pasal 308 RBg dan 1908 KUH Perdata.
  2. Teori pembuktian negatif, dalam menilai pembuktian harus ada ketentuanketentuan bersifat negatif yang mengikat dan membatasi hakim dan melarang hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Misalnya ketentuan Pasal 169 HIR atau Pasal 306 RBg dan 1906 KUH Perdata bahwa keterangan seorang saksi saja tidak boleh dipercaya oleh hakim (unus testis nullus testis). 
  3. Teori pembuktian positif, disamping adanya larangan bagi hakim, juga mengharuskan adanya perintah kepada seorang hakim untuk tidak menilailain selain apa yang dikemukakan pihak. Misalnya ketentuan Pasal 165 HIR atau Pasal 285 RBg dan Pasal 1870 KUH Perdata, bahwa pembuktian dengan surat akta otentik dianggap bukti yang sempurna yang harus diterima.
BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda