Minggu, 08 Januari 2023

Islam Minoritas di Eropa dan Amerika

Eropa merupakan salah satu benua dimana agama Islam berkembang dengan pesat. Islam telah berkembang di Eropa selama 20 tahun terakhir. Hal tersebut bisa dilihat dari jumlah penduduk muslim di Eropa pada tahun 1990 sebanyak 29.6 juta jiwa dan berkembang menjadi 44,1 juta jiwa pada awal tahun 2011.[1] Negara-negara di Eropa memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menanggapi keberadaan muslim di negaranya, ada yang menolak serta ada juga yang mau menerima kehadiran orang-orang muslim tersebut.[2]

Selanjutnya, mayoritas pemerintah dan masyarakat lokal di Eropa, Amerika, dan Australia juga mulai menyematkan stereotip negatif pada pengungsi Suriah sebagai “kriminal berbahaya”. Streotype ini didukung dengan banyaknya berita mengenai penyerangan warga lokal oleh imigran Muslim. Contoh stereotip negatif lain yang sering didengungkan bahwa masuknya imigran Muslim, terutama pengungsi Suriah, akan melakukan islamisasi di Eropa dan menganggu kemakmuran ekonomi domestik dan regional. Padahal semua prasangka prematur tersebut tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Salah satunya seperti yang dijelaskan Al-Jazeera yang menerima laporan dari website HoaxMap, bahwa berita buruk mengenai pengungsi Muslim yang sering beredar belum tentu semuanya benar atau kemungkinan hanya rekaan yang disebarkan pihak-pihak (anti-migran) tertentu.[3]

Menurut PBB, perang sipil di Suriah sudah memaksa sekitar 4,5 juta orang meninggalkan negara tersebut sementara sekitar 6,5 juta orang hidup tanpa tempat tinggal dan terjebak di dalam Suriah.1 Jumlah tersebut adalah yang resmi dicatat oleh UNHCR, namun diprediksi masih ada jutaan pengungsi dan pencari suaka yang belum teregistrasi.  Walaupun begitu, di tengah jumlah pengungsi Suriah dan kebutuhan mereka yang meningkat dari hari ke hari, terdapat beberapa negara yang dituduh mengabaikan tanggung jawab moral akan keberadaan para pengungsi tersebut, contohnya Amerika Serikat dan Australia yang cenderung membatasi pengungsi Suriah untuk dapat masuk ke wilayahnya atau negara-negara Teluk yang dipandang tidak berkontribusi dalam menampung pengungsi Suriah.

Sementara itu, negara-negara penampung (host country) tidak (lagi) mampu dalam memberi perlindungan dan memenuhi kebutuhan esensi para pengungsi Suriah. Banyak pengungsi Suriah yang saat ini mendiami Turki, Lebanon, dan Yordania. Sekitar dua juta ditampung pemerintah Turki, sementara Lebanon dan Yordania masing-masing menerima kurang lebih satu juta dan 600.000 pengungsi Suriah.

Di Afrika, Mesir merupakan negara yang paling banyak didatangi pengungsi Suriah, dengan jumlah 130.000. Akan tetapi pemerintah di negara-negara tersebut menerapkan larangan bekerja formal dan membatasi akses pendidikan bagi pengungsi Suriah di tengah terbatasnya suplai makanan dan fasilitas kamp pengungsian, sehingga banyak pengungsi Suriah seakan tidak mempunyai harapan untuk meneruskan hidup. Tak sedikit dari mereka kemudian berusaha dengan berbagai cara untuk pergi ke benua lain seperti Eropa. Eropa, terutama Jerman dan Swedia dinilai mampu menawarkan kesempatan hidup lebih luas. Di benak para pengungsi, dua negara tersebut mampu memberikan jaminan sosial yang cukup baik. Apalagi, kebijakan kedua negara tersebut dikenal dengan open-door immigration policy yang memperbolehkan pengungsi dan pencari suaka bekerja di sektor formal swasta dan publik, bahkan membuka bisnis sendiri.

Namun bukan berarti hidup dan bekerja di Eropa merupakan perkara mudah. Hungaria, Italia, Yunani, dan Perancis seringkali memperlakukan pengungsi secara tidak manusiawi. Komitmen Jerman dan Swedia kini juga dinilai tidak konsisten dimana pemerintahnya tidak berdaya dalam mempercepat proses pengesahan izin tinggal pengungsi sehingga banyak dari mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian mulai frustasi dengan keadaan yang overpopulasi, minim makanan, pekerjaan, dan aktivitas.

Respon Internasional terhadap pengungsi Suriah yang mayoritas beragama Muslim ini tidak maksimal. Bahkan Amnesti Internasional mendeskripsikan bahwa respon internasional dalam menghadapi pengungsi Suriah sangat shameful (memalukan). Bukan hanya mayoritas negara-negara Barat yang tidak menunjukkan kejelasan komitmen kemanusiaan terhadap nasib dan masa depan pengungsi, tetapi terdapat pula negara-negara Muslim yang tidak fokus dalam mengatasi penderitaan saudara-saudara seiman mereka.[4]

Serangan ini dikutuk oleh setiap orang, termasuk umat muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian masyarakat (khususnya warga negara Eropa dan Amerika) kepada Islam. Orang-orang barat yang dulunya melakukan diskriminasi pada ras kulit hitam, tapi setelah terjadinya 9/11, diskriminasi itu lebih ditunjukkan kepada warga muslim di Eropa,[5] mereka selalu mengatasnamakan Islam sebagai sarang teroris yang harus dimusnahkan.



[1] Berutu, Ali Geno. "Sea Muslim Minoritas: South Thailand/Pattani, South Philippines/Mindanau and Thailand." (2019).

[2] Berutu, Ali G. 2019. “ISLAM DI EROPA.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.30519.06561

[3] Lunyka Adelina Pertiwi

[4] Berutu, Ali Geno Geno. "Migrasi dan Problematika Minoritas Muslim di Asia." Islamic Management and Empowerment Journal 1, no. 2 (2019): 230-246.

[5] Tariq Modood, 


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda