Sabtu, 31 Desember 2022

PEMBERONTAKAN (jarīmah al-Baghyu)

 Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 61-69.

A. Pengertian Al-Baghyu

Pemberontakan disebut al-Baghyu yang menurut arti etimologi (bahasa) adalahطَلَبُ الَشَّيْءِ  “mencari atau menuntut sesuatu”, pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman.[1] Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah surat al-A’rāf ayat 33.

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar

Dalam pengertian istilah (terminologi) para mujtahid berbeda pendapat. Perbedaan tersebut diperinci sebagai berikut:

1.     Malikiyah

البغي : الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغاته ولو تأويلا

Pemberontakan adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan.

            Dari defenisi tersebut, Malikīyah mengartikan bughot atau pemberontak sebagai berikut.

البغاة : فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم او نائبه لمنع حقّ وجب عليها او لخلعه

Pemberontak adalah sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan al-imam Al-a’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.

 

2.     Hanafīyah

البغي : الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق

Pemberontakan adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).

 

3.     Syafī’iyah dan Hanabilah

فالبغي هو خروج جماعة ذات شوكة ورئيس مطاع عن طاعة الإمام بتأويل فاسد

Pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pimimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan menggunakan alasan (ta’wil) yang benar.

 

4.     Menurut Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah

Pemberontak adalah orang-orang yang menganggap dirinya benar, sedangkan imam salah, ia memerangi dan menuntut imam, ia memiliki kelompok dan kekuatan. Jadi pemberontak adalah orang-orang yang keluar dari imam yand sah yang berasal kelompok yang memiliki kekuatan.

            Dari definisi-defisini yang dikemukan oleh para ulama tersebut, terlihat adanya perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam jarīmah pemberontakan, tetapi tidak dalam unsur yang prinsipil.

Apalagi diambil intisari dari definisi-definisi tersebut, dapat dikemukan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan. Dasar dari adanya jarīmah pemberontakan adalah yang tertera dalam QS. Al-Hujūrat ayat 9 :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ آقْتَتَلثوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَي الأُخْرَى فَقَاتِلُوا  الَّتِى تَبْغِى حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ الَّلهِ فَإِنْ فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ الَّلهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“jika ada golonan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, (kepada perintah Allah), maka damaikanlah keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Pemberontakan bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan yang sah. Apabila terjadi ha-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian meluas kepada pemberontakan maka menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. Sebab, pemberontakan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan dan pembangkangan apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan darurat dalam negara.

B.     Unsur-unsur pemberontakan

Suatu pemberontakan belum bisa dikatakan tindak pidana sebelum dia melakukan unsur-unsur pemberontakan, yakni:

1.     Pembangkangan terhadap kepala negara

Untuk terwujudnya jarīmah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara yang berdaulad. Yang dimaksud membangkan adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.

Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Seperti contoh penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, seperti hukuman haḍ zina atau hukuman kiṣaṣ.

Berdasarkan kesepakatan para fuqaha’, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan sebuah kewajiban. Karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali didalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam (kepala negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat maka tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk menaati apa yang diperintahkannya.

Pembangkangan kadang ditunjukkan pada imam atau kepala negara, dan kadang-kadang pada pejabat yang ditunjuk atau mewakilinya. Pejabat-pejabat tersebut antara lain menteri, hakim, atau peabat-pejabat dibawahnya. Dalam system imamah, penguasa tertinggi dengan istilah imam yang diatasnya tidak ada imam lagi, sedangkan penguasa dibawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau dengan wakil imam apabila dia mewakili Al-Imam Al-A’zham.

Pembentukan imamah atau pemerintahan merupakan bagian dari fardlu kifayah, sama halnya dengan menegakkan keadilan. Hal ini dikarenakan umat memerlukan seorang pemimpin (imam) yang menjalankan urusan-urusan agama, membela sunnah, menyantuni orang teraniaya, serta mengatur hak dan kewajiban warga negara. pembentukan imamah yang diketahui eksistensinya, bisa ditempuh dengan berbagai cara sebagai berikut:

a.     pemilihan oleh ahlul hal wal ‘aqdī;

b.     penunjukan langsung oleh imam terdahulu terhadap orang yang menggantikannya;

c.     imam yang terdahulu membentuk majlis permusyawaratan yang terdiri dari orang-orang tertentu dan disitulah akan terjadi pemilihan kepala yang baru;

d.     kudeta atau perebutan kekuasaan yang diumumkan kepada rakyat

Apabila imamah telah terbentuk dan diakui dengan salah satu dari keempat cara tersebut maka tindakan pembangkangan terhadapnya merupakan suatu pemberontakan.

Para ulama madzhab juga telah sepakat bahwa memerangi dan menumpas orang-orang yang menghadap terhadap pemerintah yang sah tidak boleh dilakukan sebelum meraka memberi kejelasa tentang sebab pembangkangannya. Apabila mereka menyebutkan kezaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dan mereka memiliki fakta yang benar terkait maka imam harus berupaya menghantikan kezalima dan penyelewengan tersebut. Kemudian mereka diajak patuh dan tunduk kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka tidak ingin kembali maka mereka harus diperangi atau ditumpas.

 

2.     Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan

Adapun yang dimaksud kekuatan adalah jumlah yang banyak daripada anggota memberontak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan logistik dan dana yang memungkinkan mereka melakukan perlawanan.

Ulama dari kalangan Hanabilah mengartikan kekuatan dengan sesuatu (gabungan orang dan senjata) yang untuk menumpasnya diperlukan prajurit yang banyak. Syafi’īyah mensyaratkan untuk terwujudnya kekuatan diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan sempurna kecuali dengan adanya pemimpin.

Pendapat syafi’īyah disini cukup beralasan, karena berapaun banyaknya anggota dan betapa kuatnya suatu kelompok tetapi kalau tidak ada pemimpin yang mengantarkan atas visi dan misinya maka kelompok tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan. Dengan demikian, pengertian kekuatan itu harus berupa gabungan dari unsur personil, senjata, logistik dan tak lupa pemimpin yang pandai mengatur taktik dan strategi.

Suatu tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan disyaratkan harus adanya penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila tidak disertai dengan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontaka seperti contoh penolakan Ali bin Abi Tholib R.A untuk membaiat Abu Bakar R.A, pembangkangan (keluarnya) kelompok khawarij dari kelompok Ali bin Abi Tholib R.A. Mereka tidak dianggap sebagai tindakan pemberontakan karena tidak adanya kekuatan yang timbul dari pembangkangan tersebut, oleh karena itu jika hanya sekedar ide atau sikap yang menggambarkankan pembangkangan maka hal tersebut belum bisa disebut pemberontakan.

Pemberontakan menurut Imam Mālik, Imam Syafi’ī, Imam Ahmad dimulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata, maka pembangkangan itu belum dianggap sebagai pemberontakan, dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak bersalah).

Apabila dalam tahap perhimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai pemberontakan, melainkan hanya dikatagorikan sebagai ta’zīr. Akan tetapi menurut Imam Hanafī, mereka itu dianggap sudah sebagai pemberontak, karena menurut Imam Hanafī pemberontakan itu dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata, dengan situasi yang seperti itu dikhawatirkan lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya.[2]

 

3.     Adanya niat melawan hukum

Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat untuk melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi jika seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak mentaatinya. Apabila tidak ada maksud keluar dari imam atau tidak ada maksud menggunakan perbuatan maka perbuatan pembangkang itu belum dikatagorikan sebagai pemberontak.

Seseorang bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat aau tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku belum bisa dianggap sebagai pemberontak.

Apabila pemberontakan tidak melakukan jarīmah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak melainkan sebagai jarīmah biasa.

C. Sanksi pemberontakan serta pembuktian dan pelaksanaan hukuman

Pertanggungjawaban tindak pidana pemberontakan, baik pidana maupun perdata, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi tindak pidananya. Pertanggung jawaban sebelum mughalabah dan sesudahnya berbeda dengan pertanggungjawaban atas tindakan pada saat terjadinya mughalabah (penggunaan kekuatan). 

1.     Pertanggungjawaban sebelum mugholabah dan sesudahnya

Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggungjawaban atas semua tindak pidana yang dilakukannya sebelum mughalabah (pertempuran), baik perdata maupun pidana, sebagai pelaku jarīmah biasa. Demikian pula halnya jarīmah yang terjadi setelah selesainya mughalabah (pertempuran).

Apabila sebelum terjadinya pemberontakan itu ia membunuh orang, ia dikenakan hukuman kiṣaṣ. Jika ia melakukan pencurian maka ia dihukum sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila syarat-syarat terpenuhi. Apabila ia merampas harta  milik orang lain  maka ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, meskipun tujuan akhirnya pemberontakan.

2.     Pertanggungjawaban atas perbuatan pada saat mugholabah

Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran ada dua macam, yaitu:

a)     Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan yaitu tindakan seperti merusak jembatan, mengebom gudang amunisi, merusak gedung pemerintahan, membunuh para pejabat atau menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman jarīmah biasa melainkan dengan hukuman Jarīmah al-Baghyu (pemberontakan) yakni hukuman mati tidak ada pengampunan.

Dengan cara melakukan penumpasan yang terhadap pemberontak negara yang bertujuan untuk menghentikannya. Apabila mereka telah menyerah dan meletakkan senjatanya, penumpasan harus dihentikan dan mereka dijamin keselamatan jiwa dan hartanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni mereka atau menghukum mereka dengan hukuman ta’zīr atas tindakan pemberontakan mereka, bukan karena jarīmah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinya pemberontak setelah mereka dilumpuhkan dan ditangkap adalah hukuman ta’zīr.

b)    Tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pemberontakan, yakni tindak pidana yang terjadi saat berkecamuknya pertempuran tetapi berkaitan dengan pemberontakan, seperti minum-minuman keras, zina atau pemerkosaan dan dianggap sebagai jarīmah biasa, sedangkan pelakunya dihukum sesuai dengan hukuman hūdūd dengan jarimah yang telah mereka lakukan.

            Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika mereka merusak dan menghancurkan aset-aset negara yang dianggap oleh mereka perlu dihancurkan. Adapun kerusakan harta secara individu yang menyangkut kekayaan individu maka mereka tetap dibebani pertanggung jawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil harus dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Hanafī dan pendapat yang shahih di kalangan Madzhab Syafi’ī. Namun, dikalangan Madzhab Syafi’ī ada yang berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah dilakukannya seperti halnya hancur dan hilangnya benda atau yang lain baik yang berkaitan dengan pemberontakan, karena hal itu mereka lakukan dengan tujuan melawan hukum.



[1] Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 107-126.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda