PEMBERONTAKAN (jarīmah al-Baghyu)
A. Pengertian
Al-Baghyu
Pemberontakan disebut al-Baghyu yang menurut arti etimologi
(bahasa) adalahطَلَبُ الَشَّيْءِ “mencari
atau menuntut sesuatu”, pengertian tersebut kemudian
menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena
dosa maupun kezaliman.[1] Hal
ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah surat al-A’rāf ayat 33.
قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar”
Dalam
pengertian istilah (terminologi) para mujtahid berbeda pendapat. Perbedaan tersebut diperinci sebagai berikut:
1. Malikiyah
البغي : الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغاته ولو تأويلا
“Pemberontakan
adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah
tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan
menggunakan alasan”.
Dari defenisi tersebut, Malikīyah
mengartikan bughot atau pemberontak sebagai berikut.
البغاة : فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم او نائبه
لمنع حقّ وجب عليها او لخلعه
“Pemberontak
adalah sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan al-imam Al-a’zham (kepala
negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud
menggulingkannya”.
2. Hanafīyah
البغي : الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق
“Pemberontakan
adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan
cara yang tidak benar (sah)”.
3. Syafī’iyah
dan Hanabilah
فالبغي هو خروج جماعة ذات شوكة ورئيس مطاع عن طاعة
الإمام بتأويل فاسد
“Pemberontakan
adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pimimpin yang ditaati,
dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan menggunakan alasan (ta’wil)
yang benar”.
4. Menurut Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah
Pemberontak adalah orang-orang yang
menganggap dirinya benar, sedangkan imam salah, ia memerangi dan menuntut imam,
ia memiliki kelompok dan kekuatan. Jadi pemberontak adalah orang-orang yang keluar dari
imam yand sah yang berasal kelompok yang memiliki kekuatan.
Dari definisi-defisini yang dikemukan oleh para ulama tersebut, terlihat adanya
perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam jarīmah
pemberontakan, tetapi tidak dalam unsur yang prinsipil.
Apalagi
diambil intisari dari definisi-definisi tersebut, dapat dikemukan bahwa
pemberontakan adalah pembangkangan
terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan
argumentasi atau alasan. Dasar dari adanya jarīmah pemberontakan adalah
yang tertera dalam QS.
Al-Hujūrat ayat 9 :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ آقْتَتَلثوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَي الأُخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِى تَبْغِى حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ الَّلهِ فَإِنْ
فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ الَّلهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِيْنَ
“jika ada golonan dari
orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali,
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Pemberontakan bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan yang sah. Apabila terjadi ha-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian meluas kepada pemberontakan maka menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. Sebab, pemberontakan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan dan pembangkangan apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan darurat dalam negara.
B. Unsur-unsur pemberontakan
Suatu
pemberontakan belum bisa dikatakan tindak pidana sebelum dia melakukan
unsur-unsur pemberontakan, yakni:
1. Pembangkangan terhadap kepala negara
Untuk terwujudnya jarīmah pemberontakan disyaratkan
harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara yang berdaulad. Yang dimaksud
membangkan adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya,
atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.
Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah
yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu
yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Seperti contoh
penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim,
seperti hukuman haḍ zina atau hukuman kiṣaṣ.
Berdasarkan kesepakatan para fuqaha’, penolakan
untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan
pemberontakan, melainkan sebuah kewajiban. Karena ketaatan tidak diwajibkan
kecuali didalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu
apabila seorang imam (kepala negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan
dengan syariat maka tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk menaati apa yang
diperintahkannya.
Pembangkangan kadang ditunjukkan pada imam atau kepala
negara, dan kadang-kadang pada pejabat yang ditunjuk atau mewakilinya.
Pejabat-pejabat tersebut antara lain menteri, hakim, atau peabat-pejabat
dibawahnya. Dalam system imamah, penguasa tertinggi dengan istilah imam
yang diatasnya tidak ada imam lagi, sedangkan penguasa dibawahnya apabila
pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau
dengan wakil imam apabila dia mewakili Al-Imam Al-A’zham.
Pembentukan imamah atau pemerintahan merupakan
bagian dari fardlu kifayah, sama halnya dengan menegakkan keadilan. Hal
ini dikarenakan umat memerlukan seorang pemimpin (imam) yang menjalankan
urusan-urusan agama, membela sunnah, menyantuni orang teraniaya, serta
mengatur hak dan kewajiban warga negara. pembentukan imamah yang diketahui
eksistensinya, bisa ditempuh dengan berbagai cara sebagai berikut:
a. pemilihan oleh ahlul hal wal ‘aqdī;
b. penunjukan langsung oleh imam terdahulu terhadap orang
yang menggantikannya;
c. imam yang terdahulu membentuk majlis permusyawaratan
yang terdiri dari orang-orang tertentu dan disitulah akan terjadi pemilihan
kepala yang baru;
d. kudeta atau perebutan kekuasaan yang diumumkan kepada rakyat
Apabila imamah telah terbentuk dan diakui dengan salah
satu dari keempat cara tersebut maka tindakan pembangkangan terhadapnya
merupakan suatu pemberontakan.
Para ulama madzhab juga telah sepakat bahwa memerangi
dan menumpas orang-orang yang menghadap terhadap pemerintah yang sah tidak
boleh dilakukan sebelum meraka memberi kejelasa tentang sebab pembangkangannya.
Apabila mereka menyebutkan kezaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh
pemerintah dan mereka memiliki fakta yang benar terkait maka imam harus
berupaya menghantikan kezalima dan penyelewengan tersebut. Kemudian mereka
diajak patuh dan tunduk kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka tidak
ingin kembali maka mereka harus diperangi atau ditumpas.
2. Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan
Adapun yang dimaksud kekuatan adalah jumlah yang banyak
daripada anggota memberontak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan
logistik dan dana yang memungkinkan mereka melakukan perlawanan.
Ulama dari kalangan Hanabilah mengartikan kekuatan
dengan sesuatu (gabungan orang dan senjata) yang untuk menumpasnya diperlukan
prajurit yang banyak. Syafi’īyah mensyaratkan untuk terwujudnya kekuatan
diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan sempurna
kecuali dengan adanya pemimpin.
Pendapat syafi’īyah disini cukup beralasan, karena
berapaun banyaknya anggota dan betapa kuatnya suatu kelompok tetapi kalau tidak
ada pemimpin yang mengantarkan atas visi dan misinya maka kelompok tersebut
dianggap tidak mempunyai kekuatan. Dengan demikian, pengertian kekuatan itu
harus berupa gabungan dari unsur personil, senjata, logistik dan tak lupa
pemimpin yang pandai mengatur taktik dan strategi.
Suatu tindakan pembangkangan dianggap sebagai
pemberontakan disyaratkan harus adanya penggunaan dan pengerahan kekuatan.
Apabila tidak disertai dengan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai
pemberontaka seperti contoh penolakan Ali bin Abi Tholib R.A untuk membaiat Abu
Bakar R.A, pembangkangan (keluarnya) kelompok khawarij dari kelompok Ali
bin Abi Tholib R.A. Mereka tidak dianggap sebagai tindakan pemberontakan karena
tidak adanya kekuatan yang timbul dari pembangkangan tersebut, oleh karena itu
jika hanya sekedar ide atau sikap yang menggambarkankan pembangkangan maka hal
tersebut belum bisa disebut pemberontakan.
Pemberontakan menurut Imam Mālik, Imam Syafi’ī, Imam Ahmad dimulai sejak
digunakannya kekuatan secara nyata, maka pembangkangan itu belum dianggap
sebagai pemberontakan, dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak
bersalah).
Apabila dalam tahap perhimpunan kekuatan saja, maka
tindakan mereka belum dianggap sebagai pemberontakan, melainkan hanya
dikatagorikan sebagai ta’zīr. Akan tetapi menurut Imam Hanafī, mereka
itu dianggap sudah sebagai pemberontak, karena menurut Imam Hanafī
pemberontakan itu dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan
dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan menunggu
sampai terjadinya penyerangan secara nyata, dengan situasi yang seperti itu
dikhawatirkan lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya.[2]
3. Adanya niat melawan hukum
Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan,
disyaratkan adanya niat untuk melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur
ini terpenuhi jika seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan
imam atau tidak mentaatinya. Apabila tidak ada maksud keluar dari imam atau
tidak ada maksud menggunakan perbuatan maka perbuatan pembangkang itu belum
dikatagorikan sebagai pemberontak.
Seseorang bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan
bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak
mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat aau tujuan
pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku belum bisa dianggap
sebagai pemberontak.
Apabila pemberontakan tidak melakukan jarīmah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak melainkan sebagai jarīmah biasa.
C. Sanksi pemberontakan serta
pembuktian dan
pelaksanaan hukuman
Pertanggungjawaban
tindak pidana pemberontakan,
baik pidana maupun perdata, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi tindak
pidananya. Pertanggung jawaban sebelum mughalabah dan
sesudahnya berbeda dengan pertanggungjawaban atas tindakan pada saat
terjadinya mughalabah (penggunaan kekuatan).
1. Pertanggungjawaban sebelum mugholabah dan sesudahnya
Orang yang melakukan
pemberontakan dibebani pertanggungjawaban atas semua tindak pidana yang
dilakukannya sebelum mughalabah
(pertempuran), baik perdata maupun pidana, sebagai pelaku jarīmah biasa.
Demikian pula halnya jarīmah yang terjadi setelah selesainya mughalabah
(pertempuran).
Apabila sebelum terjadinya
pemberontakan itu ia membunuh orang, ia dikenakan hukuman kiṣaṣ. Jika ia melakukan
pencurian maka ia dihukum sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila
syarat-syarat terpenuhi. Apabila ia merampas harta milik orang lain
maka ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi dalam hal ini ia tidak dihukum
sebagai pemberontak, meskipun tujuan akhirnya pemberontakan.
2.
Pertanggungjawaban atas
perbuatan pada saat mugholabah
Tindak pidana yang terjadi
pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran ada dua macam, yaitu:
a)
Tindak pidana yang
berkaitan langsung dengan pemberontakan yaitu tindakan seperti merusak jembatan,
mengebom gudang amunisi, merusak gedung pemerintahan, membunuh para pejabat
atau menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman jarīmah biasa
melainkan dengan hukuman Jarīmah al-Baghyu (pemberontakan) yakni hukuman mati tidak ada
pengampunan.
Dengan
cara melakukan penumpasan yang terhadap pemberontak
negara yang bertujuan untuk menghentikannya. Apabila mereka telah
menyerah dan meletakkan senjatanya, penumpasan harus dihentikan dan mereka
dijamin keselamatan jiwa dan hartanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (ulil
amri) boleh mengampuni mereka
atau menghukum mereka dengan hukuman ta’zīr atas tindakan pemberontakan
mereka, bukan karena jarīmah atau perbuatan yang mereka lakukan pada
saat terjadinya pemberontak setelah mereka dilumpuhkan dan ditangkap adalah
hukuman ta’zīr.
b) Tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pemberontakan, yakni tindak pidana yang terjadi saat berkecamuknya pertempuran tetapi berkaitan dengan pemberontakan, seperti minum-minuman keras, zina atau pemerkosaan dan dianggap sebagai jarīmah biasa, sedangkan pelakunya dihukum sesuai dengan hukuman hūdūd dengan jarimah yang telah mereka lakukan.
Adapun pertanggungjawaban perdata
bagi para pemberontak tidak ada jika mereka merusak dan menghancurkan aset-aset
negara yang dianggap oleh mereka perlu dihancurkan. Adapun kerusakan harta
secara individu yang menyangkut kekayaan individu maka mereka tetap dibebani
pertanggung jawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil harus
dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Hanafī dan pendapat yang shahih di kalangan Madzhab Syafi’ī. Namun, dikalangan Madzhab Syafi’ī ada yang berpendapat
bahwa pemberontak harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah
dilakukannya seperti halnya hancur dan hilangnya benda atau yang lain baik yang
berkaitan dengan pemberontakan, karena hal itu mereka lakukan dengan tujuan melawan
hukum.
[1] Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 107-126.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda