JUDI (Jarīmah Maisir)
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 86-94.
A. Pengertian Maisir
Judi dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan (ميسر) maisir, yang berarti mudah atau kekayaan. Maisir dikenal juga dengan sebutan “Qimar” yang artinya adalah permainan yang taruhannya dalam bentuk apa saja, boleh uang atau barang-barang, dimana orang yang menang menerima dari yang kalah.[1] Adapun menurut istilah al-maisir adalah segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan berhak mendapatkan taruhan tersebut.
Menurut Quraish Shihab perjudian dinamai dengan maisir karena hasil perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa adanya usaha kecuali menggunakan undian dibarengi oleh faktor keberuntungan atau dengan kata lain yakni permainan yang memberi peluang pada nasib daripada permainan yang menunjukkan skill kemahiran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia judi adalah permainan yang memperebutkan uang,
Hasbi
ash-Shiddieqy mengartikan maisir dengan segala bentuk permainan yang ada
wujud kalah-menangnya, pihak yang kalah memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati
sebagai taruhan kepada pihak yang menang.
Syekh
Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa maisir itu suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa
harus berpikir dan bekerja keras. Menurut at-Tabarsi, ahli tafsir Syiah Imamiah
abad ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang pemenangnya mendapatkan
sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang wajar dan dapat membuat orang jatuh
ke lembah kemiskinan. Permainan anak-anak pun jika ada unsur taruhannya,
termasuk dalam kategori ini Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “al-Halal wal-Haram fil-Islam”, maisir adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan sebuah definisi maisir yang menyeluruh, bahwa “maisir adalah segala permainan
yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak yang menang mendapatkan
harta/materi dari pihak yang kalah”. Dengan demikian dalam maisir terdapat tiga unsur:
1.
adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua pihak yang
berjudi);
2.
adanya suatu permainan yang digunakan untuk menetukan pihak yang
menang dan yang kalah;
3. pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan (murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya.
B. Dasar Hukum Larangan Maisir
Maisir dalam Islam adalah perbuatan yang dilarang, karena muḍarat yang diakibatkan dari perbuatan tersebut jauh lebih besar daripada manfaatnya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Bāqārah ayat 219.
۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ
لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا
يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan”,
QS. Al-Māidah ayat 90-91
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?”
C. Unsur-unsur Maisir
Maisir pada hakekatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke-penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia.
Hal
di atas merupakan kosideran UU No. 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian yang memberikan pengertian bahwa judi pada dasarnya sudah dilarang di
seluruh pelosok Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan semangat moral
Pancasila, bertentangan dengan agama serta pengaruh negatif yang ditimbulkan
dari perbuatan judi. Pasal 303 ayat (3) KUHP menjelaskan bahwa:
“Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.
Dalam
menetapkan hukuman terhadap pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu
unsur-unsur delik dalam jarīmah. Suatu perbuatan dianggap sebagai tindak
pidana apabila unsurnya telah terpenuhi.
Suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian (maisir), apabila telah memenuhi unsur-unsur khusus,
menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang merupakan syarat khusus untuk seseorang
yang telah melakukan jarīmah maisir yaitu:
1. ada dua pihak, terdiri dari satu orang atau
lebih, yang bertaruh, yang menang akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan
tertentu;
2. menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan
peristiwa yang berada di luar kekuasaan dan diluar pengetahuan terlebih dahulu
dari para petaruh.
Adapun unsur-unsur tindak pidana yang disematkan
kepada maisir sehingga layak disebut sebagai perbuatan pidana antara
lain adalah:
1.
perbuatan bertaruh untuk mendapat keuntungan;
2.
dilakukan dua pihak atau lebih;
3. ada i’tikad jahat.
Unsur pertama dari judi adalah perbuatan
bertaruh. Unsur ini memiliki cakupan yang sangat luas, sebab semua jenis
kegiatan yang mempertaruhkan apa saja demi mendapatkan keuntungan dapat dijerat
dengan ketentuan ini. Selain jenis-jenis yang dikemukakan di atas, maka
jenis-jenis lainpun sepanjang mengandung unsur bertaruh dapat dimasukkan ke
dalam kategori judi.
Unsur yang kedua dari judi dalam definisi di
atas adalah dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dalam prakteknya,
memang ada judi yang dilakukan dua pihak saja dan ada juga lebih dari dua
pihak. Dalam permainan judi online tebak skor dalam sepak bola misalnya, yang
dapat terlibat bisa lebih dari dua orang, di mana satu orang akan keluar
sebagai pemenang. Selain itu, judi yang dilakukan oleh lebih dari dua pihak
adalah permainan judi dengan memakai bandar. Cara seperti ini seperti yang
dilakukan di kasino-kasino. Dalam hal ini, meski para penjudi duduk
berhadap-hadapan, yang menjadi lawan sesungguhnya adalah bandar judinya.
Adapun unsur yang ketiga, adanya i’tikad jahat. Pertama,
karena maisir memang dilarang keras oleh naṣ, kedua,
motivasi orang untuk berjudi tidak lain untuk maraup harta lawanya sebanyak
mungkin. Pihak yang memang tidak akan menaruh belas kasihan kepada lawannya,
demikian pula sebaliknya, pihak yang kalah akan menaruh dendam dan penasaran
dan bertekad akan menaklukkan lawan yang mengalahkannya. Meski mereka tampak
akur duduk satu meja, namun dalam hati masing-masing sudah pasti ada i’tikad
jahat tersebut.
Dahulu masyarakat Jahiliah berjudi dengan unta untuk kemudian mereka potong dan mereka bagi-bagikan dagingnya sesuai kemenangan yang mereka raih. Penulis tafsir al-Kasysyaf mengatakan “termasuk kelompok maisir adalah segala bentuk perjudian seperti dadu, catur dan lainnya”. Penulis tafsir Ruhul Ma’ani berkata: termasuk jenis maisir adalah segala macam perjudian seperti dadu, catur dan lain sebagainya. Mengenai catur Imam Syāfi’ī berpendapat bahwa apabila catur itu dilakukan tanpa ada taruhan, tanpa omongan yang jorok dan tanpa melalaikan ṣalat, maka tidaklah haram dan tidak termasuk maisir.
Dari segi hukum, maisir adalah segala macam aktifitas yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk memenangkan suatu pilihan dengan menggunakan uang atau materi sebagai taruhan.
‘Abdul
al-Qādir ‘Aūdah memisahkan perkara sibāq (perlombaan) dari perkara jinayat/hūdūd,
beliau mengistilahkannya dengan al-’al‘āb al-furusīyah, bermain lomba
pacuan kuda (al-’al‘āb al-furūsīyah) juga meliputi praktek olah raga
lainnya yang berlaku sampai sekarang. Menurutnya, manfaat olah raga dapat
meningkatkan kekuatan, ketangkasan yang bermanfaat bagi masyarakat baik di
waktu damai maupun waktu perang. Perlomaaan pacuan kuda, lomba perahu, lomba
balap mobil, lomba terbang, dan lomba ketangkasan bermain pedang, pergulatan,
tinju (boxing), lempar lembing, lomba tembak, angkat besi, lomba tarik
tambang, dan renang.
Ibnul
Qayyim rahimahullahu berkata: Apabila anda menelaah keadaan al-mughālabat
(perlombaan dengan taruhan harta), dalam hal ini anda pasti melihatnya seperti khamar
(miras) sedikitnya menyeret kepada banyaknya, dan banyaknya menghalanginya dari
semua hal dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menjerumuskan ke dalam
perbuatan yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Seandainya
tidak ada satu pun naṣ syariat yang mengharamkannya, tentulah uṣul
syariat, kaidahnya, kandungan hikmah dan maslahat, serta kaidah, (akan)
menyamakan dua hal yang serupa menuntut pengharaman dan pelarangannya.
Ketika syariat Islam tegak di atas keadilan dalam semua hukum-hukum dan ajarannya, maka ia melarang semua mu’āmalah yang berisi perjudian. Ketentuan tersebut terbatas pada semua mu’āmalah yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan, antara untung dan rugi yang bersumber dari gharar dan spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Al-Alusiy
menjelaskan bahwa kemuḍaratan
yang dapat ditimbulkan oleh
perjudian antara lain,
selain perbuatan itu
sendiri merupakan cara peralihan (memakan)
harta dengan cara
yang baṭil, adalah
membuat para pecandunya memiliki
kecenderungan untuk mencuri,
menghancurkan harga diri, menyia-nyiakan keluarga,
kurang pertimbangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
buruk, berperangai keji,
sangat mudah memusuhi orang lain.
Semua perbuatan itu sesungguhnya adalah kebiasaan-kebiasaan yang sangat tidak disenangi orang-orang yang berfikir secara sadar (normal), tapi orang yang sudah kecanduan dengan judi tidak menyadarinya, seolah-olah ia telah menjadi buta dan tuli. Selain itu, perjudian akan membuat pelakunya suka berangan-angan dengan taruhannya yang mungkin bisa memberikan keuntungan berlipat ganda.
D. Sanksi Maisir
Tindak pidana maisir dalam hukum pidana Islam termasuk dalam kategori ta’zīr,
dimana ta’zīr merupakan sesuatu kewenangan Ulil al-Amri (pemerintah), sebab
ketentuan hukumnya (maisir) tidak ditetapkan oleh naṣ, dalam hal
ini hakimlah yang menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana maisir, juga
melimpahkan hak kepada Ulil al-Amri yang bertugas memelihara kepentingan
masyarakat untuk menggunakan tindak kekerasan ataupun kekuatannya terhadap
orang-orang yang tidak mau tunduk dan patuh kepada syariat Islam untuk mematuhi
hukum Allah.
Keadilan adalah sebuah sikap komprehensif yang
mempresentasikan sebuah sikap tingkah laku dan perbuatan yang tepat dan
terukur. Jika prinsip keadilan (justice princip) itu diterapkan seluruh
masyarakat, maka akan terwujud ke tentraman dan kedamaian.
Perjudian dalam Islam sangat jelas dilarang, selain dosa maisir atau judi merupakan budaya yang banyak dampak negatifnya dari pada dampak positifnya sama halnya dengan khamr. Jika khamr tujuannya adalah bersenang-senang begitu pula maisir yang bertujuan untuk mendapat kesenangan serta keuntungan tanpa mau bersusah payah, sebagaimana yang telah dijelaskan firman Allah dalam al-Quran surah al-Bāqārah: 188 dan 219.
Ada
beberapa alasan mengapa maisir sangat dilarang dalam Islam diantaranya
adalah:
1)
Secara ekonomis maisir dapat mengakibatkan kemiskinan, sebab
jarang terjadi seseorang terus-menerus menang, yang paling banyak justru
kekalahan;
2)
Secara psikologis perjudian bisa menumbuhkan sikap penasaran
dan permusushan, dan sikap ria, takabur, sombong pada pihak yang menang.
Sedangkan pada pihak yang kalah dapat mengakibatkan stres, depresi, bahkan
menyebabkan bunuh diri;
3) Sedangkan secara sosiologis perjudian dapat merusak sendi-sendi kekeluargaan yang merupakan inti masyarakat. Perjudian juga menyebabkan konflik sosial seperti perceraian, pertengkaran bahkan bisa mengarah kepada tindak kriminal seperti pembunuhan dan sebagainya.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 86-94.
[7] Ali Geno Berutu, "Implementasi Qanun Maisir (Judi) Terhadap Masyarakat Suku Pak—Pak Di Kota Subulussalam–Aceh." ARISTO 4.2 (2016): 31-46.
[15] QS al-Bāqārah:
188 dan 219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan”. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (Q.S.Al-Bāqārah:
219). “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.
(Q.S.Al-Bāqārah: 188).
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda