KIṢAṢ (Qishāsh)/PEMBUNUHAN
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 95-106
A. Pengertian Kiṣaṣ
Kata kiṣaṣ (qishāsh) berasal dari kata قصاص
yang artinya memotong atau berasal dari kata Iqtassan yang artinya
mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai pembalasan atas
perbuatannya. Menurut syara’ kiṣaṣ ialah hukuman balasan seimbang bagi
pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang
lain yang dilakukan dengan sengaja.
Adapun arti kiṣaṣ secara terminologi yang dikemukakan oleh Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).[1] Sementara itu dalam Mu’jam al-Wasit, kiṣaṣ diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.[2] Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaaya korban.
B. Dasar Hukum Kiṣaṣ
1. Qs. Al-Bāqārah
ayat 178-179
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ
بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ
لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ
بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى
بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ
يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”
2. QS. Al-Māidah ayat
45
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ
وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗوَمَنْ
لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Kami
telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan
nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama). Barangsiapa
melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang zalim”.
2. QS. Al-Māidah ayat
32
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ
كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ
نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ
وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ
جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ
ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
“Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa
membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan
karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua
manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia
telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang
kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi
kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi”.
3. QS. Al-Isra’ ayat
33
وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا
فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ
كَانَ مَنْصُوْرًا
“Dan
janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka
sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya
itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang
mendapat pertolongan”.
4. QS. Al-An’am ayat
151
وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Dan
janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang
benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti”.
5. HR. At-Tirmidzi
لَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مَكَّةَ قَامَ فِي النَّاسِ
فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ
بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ
“Ketika Allah
Subhanahuwata’ala membukakan kemenangan untuk Rasul-Nya atas kota Makkah,
beliau berdiri memuji Allah Subhanahuwata’ala dan menyanjungnya lalu bersabda,
“Siapa menjadi keluarga korban terbunuh maka ia diberi dua pilihan:
memaafkannya atau membunuhnya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1409)”
6. HR. Abu Hurairah
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا
أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
“Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyât dan bisa kisas (balas bunuh). (HR al-Jamā’ah)”
C. Syarat-syarat Kiṣaṣ
Untuk melaksanakan hukuman kisas harus terpenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut meliputi
syarat-syarat untuk pelaku ( pembunuh), korban ( yang dibunuh), perbuatan
pembunuhannya dan wali dari korban dengan penjelasan sebagai berikut:
1.
Pelaku (Pembunuh)
Wahbah Zuhaily mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku (pembunuh) untuk diterapkannya hukuman kiṣaṣ, syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (pembunuh) harus orang yang mempunyai kebebasan.[3]
2.
Korban (yang dibunuh)
Untuk dapat diterapkannya hukuman kiṣaṣ kepada pelaku harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban harus orang orang yang ma’ṣum ad-dam artinya korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara Islam. Korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan antara pelaku dengan korban (tetapi para jumhur ulama saling berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).
3.
Perbuatan Pembunuhannya
Dalam hal perbuatan pembunuhan menurut ulama dari Hanafīyah pelaku diisyaratkan harus perbuatan langsung (mubaṣaroh), bukan perbuatn tidak langsung (tasabbub). Apabila tassabub maka hukumannya bukan kiṣaṣ melainkan diyāt. Akan tetapi, ulama-ulama selain Hanafīyah tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman kiṣaṣ.
4.
Wali (Keluarga) dari Korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak diketahui keberadaanya maka kiṣaṣ tidak bisa dilaksankan. Akan tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
D. Macam-macam Kiṣaṣ
Adapun jenis-jenis jarīmah (kejahatan) yang
dapat ditindak dengan kiṣaṣ adalah sebagaimana yang dijelaskan Abdul Qādir Aūdah ada 5 jenis kejahatan yang dapat ditindak
dengan menggunkan kiṣaṣ [4] yaitu:
1. Pembunuhan
sengaja (القتل العمد)
Pembunuhan sengaja
adalah suatu pembunuhan di mana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan
suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya, yaitu matinya
orang yang menjadi korban. Sebagai indikator dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat
dari alat yang digunakan untuk membunuh. Dalam hal ini umumnya alat yang
mematikan, seperti senjata api, senjata tajam dan sebagainya.
Adapun unsur-unsur dari pembunuhan sengaja
adalah, sebagai berikut:
a. korban yang dibunuh adalah manusia yanng masih
hidup;
b. kematian yang terjadi adalah hasil dari
perbuatan pelaku;
c. pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian/ adanya niat pelaku.
2. Pembunuhan yang menyamai
sengaja (القتل شبه العمد)
Menurut Mazhab Hanafī
yang dimaksud pembunuhan menyamai sengaja adalah sesuatu pembunuhan yang
dilakukan dengan menggunakan alat yang secara umumnya tidak menyebabkan
kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat kecil, atau sebuah tamparan.[5]
Sedangkan menurut mazhab Syafi’ī
pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah setiap perbuatan yang disengaja akan
tetapi keliru dalam membunuh, yaitu setiap perbuatan yang
tidak diniatkan untuk membunuh, namun menyebabkan kematian. Sebagian ulama
Syafi’īyah mendefinisikan sebagai perbuatan
dengan niat melukai dengan sesuatu yang biasanya tidak mematikan, tetapi
menyebabkan kematian.[6]
Menurut ulama kalangan Hanābilah, pembunuhan menyerupai sengaja
adalah sengaja dalam melakukan perbuatan yang dilarang, dengan alat yang pada
umumnya tidak akan mematikan, namun kenyataannya korban mati karenanya.
Maksudnya, perbuatan memang dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak ada niat
dalam diri pelaku untuk membunuh korban.
Apabila alat tersebut pada umumnya tidak
mematikan, seperti kerikil, ranting kayu, penggaris dan sebagainya, maka
pembunuhan yang terjadi termasuk pembunuhan menyerupai sengaja. Adapun unsur-unsur dari permbunuhan menyerupai sengaja adalah sebagai
berikut:
a.
adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian;
b.
adanya kesengajaan dalam melakukan perbuautan;
c. kematian adalah akibat dari pelaku.
3. Pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ)
Adalah sebuah pembunuhan yang
tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam
niat atau dzann. Seperti pelaku melempar
sesuatu yang ia sangka hewan buruan, tapi
ternyata adalah
manusia. Maksud kesalahan
disini adalah dikembalikan hati itu yaitu
niat.[7]
Termasuk di dalam pembunuhan
tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’ī yang diterima
seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang
lain yang tidur dibawahnya sehingga menyebabkan orang
tadi mati.
Adapun unsur-unsur pembunuhan karena
kesalahan adalah, sebagai berikut:
a. adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya
korban;
b. perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan
(kelalaian) pelaku;
c. antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat.
4. Pencederaan sengaja (الجرح العمد)
Yaitu segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.[8]
5. Pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ)
Yakni pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu tersebut jatuh terkena kepala orang sehingga terluka dan berdarah. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.[9]
E. Penerapan Hukuman Kiṣaṣ
1. Pembunuhan
sengaja (القتل العمد)
Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد) maka
sanksinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara
global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara: 1) dosa besar karena
ada ayat Al-Qur’ān yang melarangnya;
2) dikiṣaṣ karena ada ayat
kiṣaṣ; dan 3) terhalang menerima
warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun”
Sanksi
pertama adalah kiṣaṣ.
Kiṣaṣ di sini adalah
dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada
korbannya. Ketika mustaḥiq al-qiṣaṣ memaafkan dengan tanpa
meminta diyāt, maka menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan
Syafi’ī, maka tidak wajib bagi
pembunuh tadi membayar diyāt. Hanya saja
pelaku boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari mustaḥiq al-qiṣāṣ tadi. Secara hukum mustaḥiq al-qiṣāṣ berhak untuk memaafkan
secara gratis tanpa ada tuntutan diyāt.[10]
Mustaḥiq al-qiṣāṣ juga berhak untuk memberi maaf dengan tuntutan diyāt, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan keluarga terbunuh (mustaḥiq al-qiṣāṣ). Diyāt tersebut dianggap sebagai pengganti dari hukuman kiṣaṣ. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman asal bila keluarga korban memaafkan dan diganti dengan membayar diyāt.
Sanksi kedua membayar kafārah (denda)
Kafārah terhadap pelaku pembunuhan adalah memerdekakan hamba sahaya muslim kalau ditemukan, kalua tidak mampu memerdekakan hamba sayaha, maka berpuasa selama 2 bulan terus menerus.[11] Menurut pendapat pendapat Mazhab Syafi’ī, kewajiban kafārah ketika pelaku pembunuhan dimaafkan oleh keluarga korban dan diganti dengan membayar diyat, maka k kafârahnya adalah diyāt itu sendiri.
Sanksi ketiga adalah membayar diyāt mughalladzah
Menurut Imam al-Syafi’ī sebagai qaul jadīd, diyāt tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadīm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham.[16] Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya diyāt lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.
2. Pembunuhan yang menyamai
sengaja (القتل شبه العمد)
Hukuman bagi pelaku pembunuhan yang menyamai
sengaja (القتل شبه العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu hukuman asal, hukuman
pengganti dan hukuman penyerta.
Hukuman asal
Hukan
asal
bagi pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah
membayar diyāt mughalladzah. Diyāt ini
sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung
jawab dan waktu membayarnya.
Hukuman
Pengganti
Hukuman pengganti bagi pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah membayar kafārah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, jika tidak ditemukan maka puasa 2 bulan terus menerus.
Hukuman
penyerta
Hukuman yang menyertai bagi pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat.
3. Pembunuhan yang tidak
sengaja (القتل الخطأ)
Hukuman bagi pembunuhan yang tidak
sengaja (القتل الخطأ) terdapat s 2
jenis hukumannya yaitu hukuman asal dan hukuman
yang mengikuti.
Hukuman asaal bagi pelaku pembunuhan yang tidak sengaja adalah membayar diyāt dan ta’zīr. Diyāt bagi pembunuhan ini adalah diyāt mukhaffafah. Kadarnya dalah 100 unta dengan perinciang: 20 berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu labûn, 20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhādl. Sanksi yang mengikuti adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
4. Pencederaan sengaja (الجرح العمد)
Hukuman bagi pelaku
pencederaan
yang
sengaja (الجرح العمد) terbagi menjadi menjadi 4 kategori
hukukman:
a. pencederaan terhadap
anggota dengan terputusnya;
b. pencederaan terhadap anggota
dengan hilang kemanfaatannya;
c. pencederaan luka terhadap
selain kepala dan disebut sebagai “الجرح”;
d. pencederaan luka terhadap
kepala atau wajah yang disebut dengan “الشجاع”.
Hukuman bagi pelaku dalam kategori 1 di
atas adalah
kiṣaṣ atau membayar diyāt dan ta’zīr. Hukuman
bagi pelaku kategori 2 adalah membayar diyāt atau ganti
rugi (الأرش). Hukuman bagi pelaku dalam kategori 3 dan 4 adalah dikiṣaṣ
atau ganti rugi, atau hukum keadilan (حكومة العدل).
Adapun diyāt pada selain jiwa atau hilangnya anggota tubuh, maka diyātnya adalah sama dengan diyat hilangnya jiwa. Tapi terkadang diyātnya sebesar1/2 (setengahnya) diyāt jiwa bagi pemotongan sebelah tangan dan sebelah kaki (kalau kedua tangan berarti seluruh diyat jiwa). Kadangkala 1/3 (sepertiga) bagi jinayah terhadap perut bagian dalam. kadangkala ¼ pada pelapuk mata, 1/10 pada setiap satu jari dan 1/20 (نصف عُشر) bagi setiap mūdliḥah kepala dan wajah.
5. Pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ)
Hukuman bagi pelaku pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ) adalah diyāt atau al-`Arsy. Maksud diyāt di sini adalah diyāt sempurna seperti yang telah diterangkan. Sedangkan al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyāt. Pencederaan jenis ini tidak ada ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya telah dijelaskan diketerangan pencederaan sengaja (الجرح العمد).[17]
F. Hapusnya Hukuman Kiṣaṣ
Hukuman kiṣaṣ dapat
dihapus karena hal-hal berikut:
1.
hilangnya tempat/bagian yang dikiṣaṣ;
2.
permaafan/adanya penerimaan maaf;
3. perdamaian.[18]
Yang dimaksud dengan hilangnya tempat yang di kiṣaṣ
adalah hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang akan di kiṣaṣ sebelum
dilaksanakan hukuman kiṣaṣ. Para ulama berbeda pendapat dalam hal hilangnya
tempat untuk kiṣaṣ itu mewajibkan diyāt. Imam Mālik dan Imam Abu Hanīfah berpendapat bahwa
hilangnya anggota badan atau jiwa yang akan di kiṣaṣ itu menyebabkan hapusnya
diyāt, karena bila kiṣaṣ itu tidak meninggal dan tidak hilang anggota badan
yang akan di kiṣaṣ itu, maka yang wajib hanya kiṣaṣ bukan diyat.
Sedang menurut Imam Syafi’ī dan Imam Ahmad dalam kasus diatas kiṣaṣ dan segala aspeknya
menjadi hapus, akan tetapi menjadi wajib diyāt, karena kiṣaṣ dan diyāt
itu kedua-duanya wajib, bila salah satunya tidak dapt dilaksanakan maka diganti
dengan hukuman lainnya.[19]
Sehubungan dengan dengan pemaafan para ulama sepakat
tentang pemaafan kisas, bahkan lebih utama daripada menuntunya. Yang dimaksud
pemaafan menurut Imam Syafi’ī dan Imam Ahmad adalah memaafkan kiṣaṣ atau diyāt tanpa imbalan apa-apa. Sedangkan menurut Imam
Mālik dan Imam Abu Hanīfah terhadap diyāt itu
bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku/terhukum. Jadi menurut kedua ulama
terakhir ini pemaafan adalah pemaafan kiṣaṣ tanpa imbalan apa-apa. Adapun
memaafkan diyāt tersebut bukanlah pemaafan, melainkan perdamaian. Orang
yang berhak memaafkan kiṣaṣ adalah orang yang berhak menuntunya.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 95-106
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda