MINUM-MINUMAN KERAS (Jarīmah Syurb al-Khamr)
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 70-79.
A. Pengertian Khamar
Khamar berasal dari kata khamar (خَمَرَ) yang bermakna satara (سَتَرَ), artinya menutupi, sehingga khamar diartikan sebagai jenis minuman yang memabukkan dan menutupi kesehatan akal,[1] atau seseorang yang menyembunyikan kesaksian.[2] Sedangkan khammara (خَمَّرَ) berarti memberi ragi. al-Khamar juga diartikan arak, yaitu segala yang memabukkan[3]dan dapat juga diartikan sebagi minuman keras,[4] sedangkan khamar menurut bahasa al-Qur’ān adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang diproses sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.
Sedangkan
secara terminologi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fikih. Menurut Imam Mālik, Imam Syafi’ī, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum-minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr maupun bukan khamr,
baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahan-bahan yang lain. Sedangkan pengertian asy-Syurbu menurut Imam Abu Hanīfah adalah meminum-minuman khamr saja, baik yang diminum
itu banyak maupun sedikit. Imam Abu Hanīfah merumuskan khamr menjadi ke dalam tiga cairan:
1.
Perasan anggur yang diendapkan hingga membuih dan menjadi zat yang
memabukkan;
2.
Perahan anggur yang dimasak hingga menggelegak sampai dua pertiga zat
asli anggur hilang, dan akhirnya menjadi zat yang memabukkan.
3. Perahan kurma dan anggur kering yang diendapkan hingga membuih dan menjadi zat yang memabukkan.
Jumhur ulama menyatakan bahwa minuman keras adalah setiap minuman yang di dalamnya terdapat zat yang memabukkan, baik minuman itu dinamakan khamr atau bukan, terbuat dari anggur atau bukan.
B. Unsur-unsur Jarīmah Syurb
al-Khamr
Suatu
perbuatan bisa dianggap sebagai jarīmah apabila telah memenuhi beberapa
unsur, yaitu unsur umum dan unsur khusus. Unsur-unsur umum yang harus dipenuhi
yaitu:
1. Adanya Naṣ yang melarang perbuatan dan
mengancam hukuman terhadapnya. Unsur ini biasa disebut unsur formil
(rukun syar’i). Ketentuan tentang larangan meminum-minuman keras ini tercantum dalam Surat al-Māidah ayat 90.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ
فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”.
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarīmah,
baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur ini
biasa disebut unsur materiil (rukun maddi). Orang itu sudah meneguk walaupun baru
beberapa tegukan.
3. Pelaku adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarīmah yang diperbuat. Unsur ini disebut unsur moril (rukun adābi).
Selain
unsur umum yang tersebut diatas, unsur khusus yang harus dipenuhi jarīmah
syurb al-khamr. Unsur kusus tersebut ada dua yaitu:
1. Asy-Syurbu
Seseorang dianggap meminum-minuman khamr apabila barang yang diminumnya telah sampai
ke tenggorokan. Apabila minuman tersebut tidak sampai ke tenggorokan maka
dianggap tidak meminum, seperti berkumur-kumur. Demikian pula termasuk kepada perbuatan meminum, apabila meminum-minuman khamr tersebut dimaksudkan
untuk menghilangkan haus, padahal ada air yang dapat diminumnya. Akan tetapi,
apabila hal itu dilakukan karena terpaksa (ḍarurat) atau dipaksa, pelaku
tidak bisa dikenai hukuman.
Jumhur ulama menyatakan bahwa perbuatan meminum-minuman keras yang dikenakan hukuman haḍ tersebut harus memenuhi dua rukun, yaitu:
a) Yang diminum itu minuman keras, tanpa
membedakan materi atau benda asal pembuat minuman tersebut;
b) Perbuatan itu dilakukan secara sadar dan sengaja
Menurut
ulama Hanafīyyah, rukun jarīmah syurb al-khamr itu, sesuai dengan
pengertian mereka tentang khamr, hanya satu yaitu, bahwa yang diminum
itu adalah jenis minuman yang mereka rumuskan sebagai khamr. Oleh sebab
itu, jika minuman yang diminum itu bukan seperti cairan, sekalipun memabukkan,
tidak dikenakan hukuman haḍ syurb
al-khamr.
Sedangkan Imam Mālik, Imam Syafi’ī, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur asy-syurbu terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak diperhatikan nama dari minuman itu dan bahan apa yang diminum tersebut. Dengan demikian, tidak ada perbedaan apabila yang diminum itu dibuat dari perasan buah anggur, gandum, kurma, tebu, maupun bahan-bahan yang lainnya. Demikian pula tidak diperhatikan kadar kekuatan memabukkannya, baik sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.
2.
Niat melawan hukum
Unsur
ini terpenuhi apabila seseorang melakukan perbuatan minum minuman keras (khamr)
padahal ia tahu bahwa apa yang diminumnya itu adalah khamr atau musykir.
Dengan demikian, apabila seseorang minum-minuman yang memabukkan, tetapi ia menyangka bahwa apa yang diminumnya
itu adalah minuman biasa yang tidak memabukkan maka ia tidak dikenai hukuman haḍ, karena tidak ada unsur melawan hukum.
Apabila seseorang tidak tahu bahwa minuman keras (khamr) itu dilarang,
walaupun ia tahu bahwa barang tersebut memabukkan maka dalam hal ini unsur
melawan hukum (Qasad al-Jinā’i) belum terpenuhi.
Adapun unsur-unsur pidana yang terdapat di
dalam khamar ini, selain unsur-unsur umum juga ada naṣ yang
melarangnya, melakukan perbuatan yang dilarang/melawan hukum dan pelakunya mukallaf,
maka ada 2 unsur tambahan yang khusus untuk tindak pidana khamar yaitu:
1.
Perbuatan meminum-minuman yang memabukkan dan berbahaya bagi
kesehatan, kesadaran dan daya fikir;
2. Ada i’tikad jahat.
Unsur
pertama dari perbuatan pidana khamar itu sendiri adalah perbuatan
minum, dan sifat zat dari benda yang diminum adalah memabukkan. Dalam hal ini,
bukan berarti bahwa jika minumannya tidak sampai memabukkan maka dia menjadi
halal, sebab hadis Nabi dengan jelas menyatakan keharamannya, banyak atau sedikit.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah bersabda:
مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ
حَرَامٌ
“Apa saja yang banyaknya memabukkan maka sedikitnyapun haram” (HR Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Sedikit
merupakan ukuran yang sangat relatif bagi setiap orang, jika yang sedikit
dibolehkan maka kemungkinan besar orang akan mengkonsumsinya dalam jumlah yang
banyak. Dan Jika sedikit dibolehkan, maka secara logika, hadis yang melarang
membuatnya, mengedarkannya, menyimpannya, menjualnya dan sebagainya menjadi
tidak berlaku sama sekali, karena itu melarang yang sedikit di sini adalah
menutup jalan bagi yang banyak.
Adapun unsur ke-dua adalah adanya i’tikad jahat. Yang dimaksud dengan i’tikad jahat di sini adalah bahwa pelaku minum sudah mengetahui bahwa khamar dapat menghilangkan akal sehat, kemungkinan besar dalam kondisi mabuk dia dapat melakukan apa saja yang membahayakan dirinya dan orang lain, tetapi ia tetap mengkonsumsinya. Hal ini menandakan bahwa ia acuh terhadap kepentingan orang lain.
C. Pembuktian Jarīmah Syurb al-Khamr
Pembuktian
untuk jarīmah syurb al-khamr dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1.
Saksi
Jumlah saksi yang diperlukan untuk
membuktikan jarīmah khamr adalah dua orang yang memenuhi syarat-
syarat persaksian, sebagaimana yang telah diuraikan dalam jarimah zina dan qadzaf.
Imam Abu Hanīfah dan Imam Abu Yusuf
mensyaratkan masih terdapatnya bau minuman pada waktu dilaksanakan persaksian.
Dengan demikian, kedua imam ini mengaitkan persaksian dengan bau minuman keras (khamr).
Imam Muhammad Ibn Hasan tidak mensyaratkan
hal ini, syarat lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanīfah dan murid-muridnya
adalah persaksian atau peristiwa minum khamrnya itu belum kadaluarsa.
Batas kadaluwarsa menurut Imam Abu Hanīfah dan Imam Abu Yusuf adalah hilangnya
bau minuman. Adapun menurut Muhammad Ibn Hasan batas kadaluarsa adalah satu
bulan. Adapun menurut imam-imam yang lain, tidak ada kadaluarsa dalam
persaksian untuk membuktikan jarīmah syurb al-khamr.
2. Pengakuan
Pembuktiaan bisa
dilakukan dengan adanya
pengakuan pelaku. Pengakuan ini cukup satu kali dan tidak perlu diulang-ulang
sampai empat kali. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pengakuan dalam jarīmah zina juga
berlaku untuk jarīmah syurb al-khamr .Imam Abu Hanīfah dan Imam
Abu Yusuf mensyaratkan pengakuan tersebut sebelum kadaluarsa. akan tetapi,
imam-imam lain tidak mensyaratkan.
3. Qarinah
Jarīmah syurb
al-khamr juga bisa dibuktikan dengan qarinah atau tanda. Qarinah tersebut antara lain:
a)
Bau Minuman
Imam Mālik berpendapat bahwa bau minuman keras dari mulut
orang yang meminum
merupakan suatu bukti dilakukannya perbuatan
minuman khamr, meskipun tidak ada saksi. Akan tetapi, Imam Abu Hanīfah,
Imam Syafi’ī, dan
pendapat yang rajih dari Imam Ahmad berpendapat bahwa bau minuman semata-mata
tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, karena sebenarnya mungkin saja ia tidak minum, melainkan hanya berkumur-kumur,
atau ia menyangka apa yang diminumnya itu adalah air bukan khamr.
b)
Mabuk
Imam Abu Hanīfah berpendapat bahwa mabuknya
seseorang sudah merupakan bukti bahwa ia telah melakukan perbuatan meminum-minuman keras (khamr). Apabila dua
orang atau lebih menemukan seseorang dalam keadaan mabuk maka harus dikenai hukuman haḍ, yaitu dera empat puluh kali. Pendapat ini
juga merupakan pendapat Imam Mālik. akan tetapi, Imam Syafi’ī dan salah satu pendapat Imam Ahmad tidak
menganggap mabuk semata-mata sebagai alat bukti tanpa ditunjang dengan bukti
yang lain. Sebabnya adalah adanya kemungkinan minumnya itu dipaksa atau karena
kesalahan.
c)
Muntah
Imam Mālik berpendapat bahwa muntah merupakan alat bukti
yang lebih kuat daripada sekedar bau minuman, karena pelaku tidak akan muntah
kecuali setelah meminum-minuman keras. akan tetapi Imam Abu Hanīfah, Imam Syafi’ī dan Imam Ahmad dalam
salah satu pendapatnya tidak menganggap muntah sebagai alat bukti, kecuali
apabila ditunjang dengan bukti-bukti yang lain, misalnya terdapat bau minuman keras dalam
muntahnya.
D. Sanksi Jarīmah Khamr
Islam menghukum pelaku khamr tanpa harus menunggu akibat
yang ditimbulkan si peminum dan memasukannya dalam kelompok jarīmah.
Menurut ketentun Islam, minum-minuman keras yang pada
umumnya memabukan merupakan perbuatan yang melanggar etika kemanusiaan dan bertentangan
dengan akhlak, sesuai dengan misi awal kehadiran Islam sebagai penyempurna
akhlak manusia.
Para ulama sepakat bahwa konsumen khamr ditetapkan sanksi hukum haḍ, yaitu dera sesuai berat ringannya tindak pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai kadar hukuman bagi peminum khamr. Hal
ini karena al-Qur’ān tidak menentukan hukuman secara pasti dan jelas. Di
samping itu juga, karena eksekusi hukuman peminum khamr di masa Nabi
bervariasi, yang tidak lebih dari 40 kali hukuman cambuk. Sementara di saat
Umar berkuasa (atas saran ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf) peminum khamr dihukum cambuk 80
kali.
Imam
Mālik dan Abu Hanīfah berpendapat bahwa hukuman bagi orang
yang meminum khamr adalah dicambuk 80 kali, pendapat mereka didasarkan kepada perkataan
Sayyidina Ali R.A: “Bila seseroang minum khamr maka akan
mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau maka tidak ingat. Dan hukumannya
adalah 80 kali cambuk”. (HR. Ad-Daruquthuni, Malik).
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Ali R.A. berkata: “Rasulullah SAW mencambuk
peminum khamr sebanyak 40 kali. Abu Bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80
kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai”. (HR.
Muslim).
Sedangkan
Imam Syafi’ī berpendapat hanya 40 kali hukuman cambuk walaupun menurutnya boleh lebih dari 40
kali, di mana selebihnya merupakan hukuman tambahan (ta’zīr) dari
seorang penguasa. Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW:“Dari
Anas R.A. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk
kasus minum khamr dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizy, Abu Daud).
Menurut al-San’ani, pendapat al-Syafi’ī yang mendasarkan kepada praktek Nabi Muhammad dan Abu Bakar merupakan langkah hati-hati sehingga orang yang terbukti memuntahkan khamr karena ketidaktahuannya, tidak dapat dihukum. Berbeda denga Imam Mālik, orang yang memuntahkan khamr tetap dihukum. Pendapat seperti ini ini didsarkan kepada praktik nabi yang mengeksekusi al-Walid bin ‘Uqbah.
Pelaksanaan haḍ bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada jarīmah lainya, namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau dalam keadaan marah, juga dalam mendera ketika eksekutor tidak boleh sampai kelihatan, sedang alat dera yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.
Pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana,
tidak boleh dilakukan pada saat yang bersangkutan masih dalam kondisi mabuk,[15] hal ini dikarenakan yang terpidana tidak
akan dapat merasakan hukuman yang diterimanya. Kemudian apabila eksekusi telah
dilakukan pada saat peminum khamr masih mabuk, ada tiga tindakan
alternatif yang dapat dilakukan, yaitu: (a) diulang (sebagai keharusan), (b) cukup
(tidak diulang), (c) melihat kondisi peminum khamar.
Dengan demikian harus dipahami bahwa penerapan hukuman
bagi peminum khamr merupakan upaya untuk mengembalikan dan menegakkan
supremasi hukum (apalagi sanksi hukum bagi peminum khamr termasuk
kategori hūdūd yang tidak dapat digugurkan oleh pengampunan manusia)
sebagaimana mestinya, sekaligus mendidik dan menimbulkan efek jera bagi
pelakunya.
[1] Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 107-126.
[5] Ali Geno Berutu, "Khamr Criminal Act and Its Resolution in Subulussalam City, Aceh." Al-Risalah 19.2 (2019): 141-158.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda