Jumat, 06 Januari 2023

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) ACEH

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Majelis Permusyawartan Ulama (MPU) merupakan salah satu lembaga yang dibentuk dari penjabaran terhadap UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Dengan diberlakukannya UU tersebut, pemerintah mencoba membangkitkan kembali peran ulama dalam masyarakat Aceh dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 UU No. 44 Tahun 1999 disebutkan bahwa: Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama dan bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami.

Keberadaan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) bukan merupakan suatu badan unsur pelaksana pemerintah daerah dan DPRD, tetapi keberadannya merupakan mitra sejajar pemerintah daerah dan DPRD. Pasal 3 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjelaskan tentang kedudukan MPU merupakan suatu badan yang independen sebagai mitra sejajar pemerintah daerah dan DPRD dan bukan unsur pelakasanaan pemerintah daerah.

Kedudukan Majelis Permusyawarana Ulama (MPU) Aceh juga dijelaskan dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 11 Tahun 2006 menjelaskan bahwa MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. MPU dibentuk di Aceh/kabupaten/kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan;
  2. MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama;
  3. MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, serta DPRA dan DPRK.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler, dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun Aceh.

MPU memiliki tugas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6 Perda No. 3 Tahun 2000 yakni memberikan masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada masyarakat di daerah. MPU juga ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa serta islami di daerah.

Fungsi dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Ulama ditegaskan kembali dalam Pasal 139 dan 140 UU No. 11 Tahun 2006 sebagai berikut:

  1. MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi;
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Majelis Permusyawaratan Ulama juga memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

1)     Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana Pasal 139 ayat (1), MPU mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.      memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan

b.     memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.

2)     Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MPU dapat mengikutsertakan tenaga ahli dalam bidang keilmuan terkait.

Keberadaan ulama dalam masyarakat Aceh memiliki status yang sejajar dengan instansi daerah lainnya, sehingga menempatkan MPU menjadi penting sebagai mitra pemerintahan daerah. Namun dalam membuat keputusan sebagai mitra sejajar sangat terbatas, hal ini disebabkan MPU berfungsi sebagai pemberi saran, pertimbangan, usul kepada pemerintah daerah, tetapi keputusannya tetap berada pada pihak pemerintahan daerah. Meskipun secara yuridis MPU kedudukannya sebagai mitra sejajar pemerintah daerah dan DPRD, tetapi dalam prakteknya belum berjalan secara maksimal, hanya sebatas hubungan konsultatif.

Referensi:

Berutu, Ali Geno. "Aceh dan syariat Islam." (2019).

Berutu, Ali Geno. Formalisasi Syariat Islam Aceh Dalam Tatanan Politik Nasional. Pena Persada, 2020.

Berutu, Ali Geno. PENERAPAN QANUN ACEH DI KOTA SUBULUSSALAM (Kajian Atas Qanun No. 12, 13 Dan 14 Tahun 2003). Ali Geno Berutu, 2016.

Berutu, Ali Geno. "Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam)." (2019).

Berutu, Ali Geno. "Peran Polri, Kejaksaan Dan Mahkamah Adat Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam Di Aceh." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7 (2019).

Berutu, Ali Geno. "Faktor penghambat dalam penegakan qanun jinayat di Aceh." Istinbath: Jurnal Hukum 14, no. 2 (2017): 148-169.

Berutu, Ali Geno. "Penerapan qanun nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulassalam." (2019).

POLRI, PERAN. "PERAN POLRI, KEJAKSAAN DAN MAHKAMAH ADAT ACEH DALAM PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DI ACEH."

Berutu, Ali Geno. "PERAN POLRI, KEJAKSAAN DAN MAHKAMAH ADAT ACEH DALAM PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DI ACEH."



BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda