MURTAD (Jarīmah al-Riddah)
Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 80-85.
A. Pengertian Riddah
Riddah adalah bentuk mashdar dari kata رد – ير د yang secara etimologi berarti صر فه – ار جعه memalingkannya, mengembalikannya. al-Riddah juga mempunyai “kembali dari suatu kondisi kepada kondisi lain”.[1] Kata Riddah juga bisa diartikan sebagai الرجو ع الى الكفر بعد الا سلا م “kembali kepada kekafiran sesudah beragama Islam”. Sementara itu, Al-Raghib Al-Isfahani mengartikan kata al-Riddah dengan cara membandingkannya dengan kata al-irtidad.
الر جو ع في الطر يق الذ ي جا ء منه لكن الردة تختص با
لكفر والإر تدا د يستعمل فيه وفي غيره
“Kembali ke sebuah jalan yang pernah
dilaluinya ketika ia datang, tetapi kata al-Riddah secara spesifik dipakai
untuk kembali (ke agama lama) akibat kekufuran. Sementara itu, kata al-Irtidad
dapat dimaksudkan dalam arti yang lain”.
Adapun secara terminologis, ulama fiqh
mendefinisikan al-Riddah sebagai berikut:
1.
Imam Al-Nawawi
Al-Riddah adalah memutus keislaman dengan dibarengi niat
(ucapan) dan perbuatan kufur, baik dimaksudkan untuk menghina, menantang, maupun menyakini (kekufuran tersebut).
2.
Zainuddin Al-Malibari
Riddah secara syariat ialah sikap
memutuskannya seorang mukallaf dari agama Islam dengan kekufuran, baik
berupa niat, ucapan, maupun perbuatan yang disertai keyakinan, penentangan atau penghinaan. Contohnya seperti sikap tidak mengakui Allah sebagai pencipta, menginginkan seorang nabi, menolak sesuatu
yang telah disepakati, sujud kepada makhluk dan ragu-ragu dalam kekufuran.
3.
Wahbah Al-Zuhalli
Al-Riddah ialah
kembali dari agama Islam menuju kekufuran dengan niat atau perbuatan sehingga
si pelaku dianggap kafir.
4.
Abdul Qadir Audah
Al-Riddah ialah
kembali dari agama Islam atau memutuskan diri dari Islam.
B. Unsur-Unsur Jarimah Riddah
Menurut Abdul Qādir Aūdah, jarīmah murtad meliputi dua unsur
yaitu keluar dari agama Islam lalu menuju kekafiran dan melawan hukum.
1.
Keluar dari agama Islam lalu menuju kekafiran. Yaitu tidak lagi menyakini bahwa Islam adalah
agama yang benar. Proses ini terjadi melalui tiga cara, yaitu
sebagai berikut.
a) Dengan Tindakan, yaitu melakukan perbuatan yang diharamkan secara sengaja untuk menghina, meremehkan, atau menentang Islam. Abdul Qādir Aūdah mengatakan bahwa contoh paling konkret pada masa kini adalah banyaknya pihak yang tidak mau menerima hukum Islam.
b) Dengan Ucapan, yaitu seseorang dapat menjadi kafir apabila ia mengatakan
bahwa Allah bukanlah tuhan, Allah tidak Esa. Selain itu, apabila
memproklamasikan diri telah keluar dari agama Islam atau menyatakan diri
sebagai nabi, maka secara otomatis ia telah murtad.
c) Dengan Keyakinan seperti meyakini bahwa alam ini telah ada
sebelum adanya Allah.
Siapapun yang didalam hatinya terdapat
keraguan tentang Islam, selama tidak diucapkan atau dilakukan, maka ia tidak
dianggap murtad. Meskipun demikian, urusannya dengan Allah belum selesai dan
akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
2.
Melawan hukum, yakni
seseorang sengaja mengucapkan atau melakukan apa yang sebelumnya terlintas di
dalam hati dan ia sadar hal itu akan membuatnya dianggap murtad.
Perihal melawan hukum ini berkaitan erat
dengan niat dan kesengajaan. Ulama kalangan Mazhab Syafi’ī mensyaratkan bahwa untuk terjadi jaīimah al-Riddah
pelaku harus berniat murtad. Oleh karena itu, tidak cukup kalau hanya sengaja
melakukan sesuatu, seperti sujud kepada matahari tanpa niat.
Sementara itu, Wahbah
al-Zuhaili mengemukakan persyaratan sah dari Jarīmah murtad, yakni pelaku harus berakal sehat dan harus dalam kondisi sadar dan tidak berada
dalam tekanan.
C. Sanksi Jarīmah Riddah
Jarīmah al-Riddah termasuk Jarīmah Hūdūd yakni hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan
menjadi hak Allah (hak masyarakat). Sanksi terhadap pelaku jarīmah riddah
terdiri atas tiga kategori, yaitu hukuman
asli, hukuman pengganti dan hukuman pelengkap.
1.
Hukuman Asli
Sanksi asli terhadap pelaku jarīmah
al-Riddah adalah dibunuh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh hadis
berikut.
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata,
“Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”. (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud,
Al-Tirmidzi, dan Al-Nasa’i).
Ulama sepakat bahwa Pelaku Jarīmah al-Riddah adalah dibunuh. Namun
demikian, pelaksanaannya tidak boleh serta-merta dibunuh. Sebelumnya sipelaku
dimbau untuk bertaubat dan kembali ke agama Islam. Jika ia mau bertaubat,
darahnya terpelihara, tetapi jika tidak mau bertaubat, sanksinya adalah hukuman
mati.
Sementara itu, bagi yang bersedia bertaubat
maka diterimalah taubatnya. Menurut ulama dari kalangan Syafi’īyah anjuran ini berlaku bagi
laki-laki dan perempuan. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini mengatakan bahwa wajib
menganjurkan taubat bagi laki-laki dan perempuan yang murtad.
Apabila anjuran bertaubat tidak digubris
oleh pelaku Jarīmah al-Riddah maka ia boleh diperangi. Namun
demikian, karena perang terhadap si pelaku tidak seperti perang terhadap kaum
kafir yang secara jelas memusuhi Islam, ia tidak boleh dijadikan budak apabila
telah kalah.
Mengenai tenggang
waktu untuk bertaubat bagi pelaku yang murtad menurut mazhab Malikī berpendapat bahwa waktu yang
tersedia untuk bertaubat adalah tiga hari tiga malam, terhitung sejak pertama
kali ia dinyatakan telah melakukan jarīmah tersebut, bukan sejak pertama
kali ia murtad dan tidak dihitung sejak pertama kali masalahnya diperkarakan
secara luas.
Menurut Abu Hanīfah,
persoalan waktu untuk menunggu keputusan sikap pelaku ini menjadi wewenang
penuh penguasa. Kalau penguasa memutuskan untuk segera dieksekusi, maka harus
dilakukan, sebaliknya, kalau penguasa
ingin memberikan toleransi waktu maka tersangka akan dieksekusi sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
Menurut Mazhab Syafi’ī, ada dua pendapat mengenai
pemberian tenggang waktu, yaitu (1) diberi waktu tiga hari dan (2) segera
dieksekusi pada saat si pelaku menolak untuk bertaubat. Pendapat yang kedua
didasarkan atas hadis tentang Ummu Rauman diatas.
Mazhab Hambali juga memberikan
tenggang waktu selama tiga hari. Namun, selama tiga hari itu si pelaku harus
ditahan. Sementara itu, ulama Zahiriyah tidak menentukan batasan waktu, akan tetapi kalau pada saat
diperintahkan bertaubat tidak mau maka ia dibunuh.
2. Hukuman Pengganti
Sebelumnya telah dijelaskan
apabila pelaku bersedia taubat, ia terbebas dari hukuman mati. Namun, bukan
berarti ia terbebas dari hukuman sama sekali. Si pelaku memang terbebas hukuman
haḍ, tetapi ia mendapat hukuman ta’zīr.
Hukuman ta’zīr inilah bentuk hukuman pengganti bagi
pelaku jarīmah riddah yang bertaubat.
Hukuman ta’zīr
menjadi wewenang penguasa setempat. Jenis, kadar dan teknisnya berbeda antara
satu daerah dan daerah lain. Hukuman ini dapat berupa cambukan, penahanan,
ganti rugi, atau kecaman. Apabila di suatu daerah kasus murtad sering berulang,
penguasa boleh menerapkan hukuman yang sangat berat.
3. Hukuman Pelengkap
Abdul Qādir Aūdah mengemukakan
bahwa pelaku jarīmah al-Riddah terdapat sanksi pelengkap,
yaitu pembekuan asset harta dan pembatasan kewenangan dalam
membelanjakan harta kekayaan.
a)
Pembekuan aset harta
Abdul Qādir Aūdah, Imam Mālik, Al-Syafi’ī dan Ahmad berpendapat
bahwa orang murtad yang meninggal, harta kekayaannya tidak dapat diwariskan
kepada keluarganya, baik yang muslim maupun non muslim.
Pembekuan aset orang murtad bukan berarti menghilangkan hak
kepemilikannya. Ini hanya sebagai sanksi pelengkap, bukan sanksi pokok. Ketika
bertaubat, ia tetap berhak atas harta kekayaannya. Akan tetapi kalau ia
terbunuh dalam kondisi masih murtad, asetnya menjadi harta negara (fai’i).
b)
Pembatasan Kewenangan dalam membelanjakan Harta
Kekayaan
jarīmah al-Riddah pada prinsipnya tidak akan
memengaruhi pelaku dalam hal kewenangan atas harta kekayaannya. Oleh sebab itu,
orang murtad tetap diperbolehkan untuk memindahkan hak miliknya kepada pihak
lain dengan cara hibah, jual-beli, atau sewa. Akan tetapi orang murtad tidak
dibenarkan memindahkan hak miliknya dengan cara waris karena adanya perbedaan
agama.
Dengan demikian, jarīmah al-Riddah hanya akan
berpengaruh pada hak pelaku dalam
kewenangannya untuk membelanjakan harta kekayaan
yang dimiliki, baik sebelum maupun sesudah murtad. Seseorang yang meninggal
dalam kondisi murtad, harta kekayaannya harus dibekukan. Kalau tetap
dibelanjakan maka hal itu dinilai baṭil, karena harta itu hak kaum
muslimin yang diberikan melalui baitul māl atau berstatus fai’i.
Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Māliki, Syafi’ī, dan
Hanbalī.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 80-85.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda