Bagaimana alat bukti saksi disebut sebagai saksi?
Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi?
Bagaimana agar keterangan saksi dapat diterima sebagai alat bukti?
Saksi ialah orang yang memberi keterangan di muka sidang tentang suatu
peristiwa atau keadaan yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri. Sedangkan
kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
seseorang yang tidak merupakan salah satu dari pihak yang berperkara yang
dipanggil di persidangan.
Penunjukkan saksi dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh
hakim karena jabatannya yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. Para
pihak dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui Majelis Hakim tentang
hal-hal yang dianggap penting. Hakim menimbang relevansi pertanyaan dengan
perkara apabila relevan, hakim dapat meneruskan pertanyaan kepada saksi danapabila tidak relevan, tidak perlu ditanyakan. Hakim dapat bertanya kepada saksi
untuk mendapatkan kebenaran. Saksi yang telah diperiksa tetap duduk dalam
ruang sidang agar ia tidak saling berhubungan dengan saksi-saksi lain dan agar
tidak sulit apabila diperlukan keterangan tambahan atau konfirmasi.
Saksi sebagai salah satu alat bukti harus memenuhi syarat formil dan
materiil alat bukti saksi serta telah mencapai batas minimal pembuktian. Syarat
formil alat bukti saksi yaitu saksi tidak orang yang dilarang untuk menjadi saksi,
memberikan keterangan di persidangan, mengucapkan sumpah menurut agama
atau keyakinannya dan diperiksa satu persatu. Adapun syarat materiil alat bukti
saksi yaitu keterangan yang diberikan didukung oleh alasan dan pengetahuan,
fakta peristiwa yang diterangkan bersumber dari pengalaman, penglihatan dan
pendengaran sendiri tentang hal yang benar-benar berkaitan langsung dengan
perkara dan keterangan yang diberikan sesuai antara saksi yang satu dengan yang
saksi lain atau alat bukti lain.
Saksi agar dapat mencapai batas minimal pembuktian harus berjumlah dua
orang atau lebih. Keterangan dengan satu orang saksi dengan tidak ada alat bukti
lain di dalam hukum tidak dapat dipercaya. Kesaksian yang berbeda dan
tersendiri dari beberapa orang tentang beberapa kejadian dapat menguatkan suatuperkara tertentu. Oleh karena kesaksian tersebut bersesuaian dan berhubungan
maka penilaiannya diserahkan kepada hakim.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa syarat formil alat bukti saksi
salah satunya adalah saksi tidak orang yang dilarang untuk menjadi saksi. Adapun
orang yang dilarang menjadi saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 (1)
HIR atau Pasal 172 (1) RBg yaitu saksi yang berasal keluarga sedarah dan
keluarga semenda secara garis lurus, suami/isteri dari pihak meskipun telah
bercerai, anak di bawah umur 15 tahun dan orang gila meskipun terkadang
sembuh.
Keluarga sedarah atau semenda dilarang menjadi saksi sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 145 (1) HIR atau Pasal 172 (1) RBg karena
dikhawatirkan mereka akan memberikan keterangan palsu di persidangan
disebabkan hubungan keluarga yang dekat. Anak-anak yang belum mencapai
umur 15 tahun dilarang untuk didengar sebagai saksi kecuali apabila mereka
telah menikah karena mereka dikhawatirkan mengkhayal dan keterangan mereka
belum dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan orang gila dilarang menjadi
saksi karena keterangan mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Aturan mengenai pembuktian dengan alat bukti saksi di Pengadilan Agama
secara umum mengikuti aturan yang berlaku untuk pembuktian dengan saksi di
lingkungan Peradilan Umum sebagaimana yang disebutkan dalam UU Peradilan
Agama Pasal 54 yaitu: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam UU ini”.
Di samping itu, terdapat aturan hukum acara khusus mengenai pembuktian
dengan saksi seperti dalam sengketa perceraian. Dalam sengketa perkawinan,
untuk mendapatkan putusan perceraian dengan alasan percekcokan (syiqaq) dan
tidak ada harapan akan hidup rukun dalam berumah tangga lagi, maka harus
didengar keterangan saksi dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan
suami istri. Dengan demikian, ketentuan yang menyatakan bahwa orang yang
memiliki hubungan darah dan semenda tidak boleh menjadi saksi,
dikesampingkan oleh Pasal 76 (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo.
UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Dalam perkara tertentu saksi yang berasal dari keluarga sedarah atau
semenda dapat diterima dalam perkara:
- Perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak yang
digariskan Pasal 145 (2) HIR.
- Perkara-perkara mengenai nafkah yang harus dibayar, meliputi pembiayaan
pemeliharaan, dan pendidikan yang digariskan Pasal 141 UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 24 PP No.9 Tahun 1975.
- Perkara-perkara mengenai alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau
pemecatan dari kekuasaan orang tua berdasar Pasal 214 KUH Perdata dan
Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan yang digariskan Pasal 145 (2)
HIR.
Keluarga sedarah dan semenda tidak dapat ditolak kesaksiannya
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 145 (2) HIR atau Pasal 172 (2) RBg
yakni dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut
hukum perdata atau tentang suatu perjanjian pekerjaan. Yang dimaksud dengan
kedudukan perdata ialah mengenai hal ihwal pribadi seseorang yang ditentukan
dalam hukum perdata, misalnya tentang kelahiran, keturunan, kematian,
perkawinan dan perceraian.
Persoalan pembuktian dengan saksi di pengadilan harus dibedakan antara
saksi sebagai syarat hukum dengan saksi sebagai alat pembuktian karena fungsikeduanya sangat berbeda, misalnya sebagai syarat hukum sahnya nikah harus
disaksikan minimal dua orang saksi tetapi untuk membuktikan sahnya
perkawinan tidak harus dengan dua orang saksi. Pembuktian dapat berupa
pengakuan suami istri, sumpah, akta nikah dan lain-lain.
Kesaksian yang telah memenuhi syarat formil maupun materil mempunyai
nilai pembuktian bebas. Nilai kebenaran kesaksian sifatnya tidak sempurna dan
tidak mengikat baik kepada pihak-pihak maupun terhadap hakim. Hakim bebas
menilai kebenaran keterangan saksi dan dapat mengesampingkan keterangan
saksi asal dipertimbangkan dengan cukup dan berdasarkan argumentasi yang
kuat. Dalam pemeriksaan para saksi, hakim tidak boleh menerima suatu hal
sebagai kenyataan yang dikemukakan oleh saksi selama belum yakin tentang
kebenaran yang disampaikan oleh saksi.
Menurut M. Yahya Harahap, alat bukti saksi yang terdiri dari dua orang dan
keduanya memenuhi syarat formil dan materiil, maka dianggap cukup memenuhi
batas minimal pembuktian. Oleh karena itu, tidak diperlukan bantuan atau
tambahan alat bukti lain karena sesuai dengan ketentuan Pasal 169 HIR. Pasal
1911 KUH Perdata, keharusan melakukan penambahan alat bukti lain apabila
saksi yang diajukan hanya terdiri dari satu saksi saja (unus testis).
BACA JUGA
Label: HUKUM