RELASI ANTARA AGAMA DAN NEGARA
Tulisan Ini adalah bagian dari buku saya yang sudah diterbitkan pada tahun 2020
Silahkan copy judul dibawah ini untuk dijadikan daftar pustaka/footnote
Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 18-27
Negara
ditinjau dari gambaran umum adalah organisasi dalam suatu wilayah yang sah dan
ditaati oleh rakyatnya.[1]
Sedangkan Syariah adalah jalan menuju mata air (jalan yang harus di ikuti) dan
kode moral dalam hukum Islam (Qānun Islāmī). Dalam pendefinisian negara Islam, pakar politik negara Islam menyebutkan bahwa
istilah negara Islam bukanlah suatu penetapan dari para ulama yang tidak bisa
di kritik maupun dianalisan. Muhammad Abu Zahrah bahwa pembagian
negara Islam kepada Dārul Islām dan Dārul Harb tidaklah
berdasarkan hadis, tetapi sebaliknnya merupakan hasil penalaran dan ijtihad
para ulama.
Menurut
Fazlur Rahman negara Islam
adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim dalam rangka memenuhi
keinginan mereka dan tidak kepentingan lain. Sedangkan Imam as-Sarakshi menyebut nengara Islam adalah panggilan atau nama
untuk suatu kawasan yang dikuasi oleh ummat Islam dan sebagai bukti kekuasaan
mereka memperoleh keamanan disana.
Untuk melaksanakan penegakan hukum tentunya memerlukan kekuasaan, maka untuk itu diperlukan terbentuknya negara sebagai organisasi kekuasaan (machts organisatie) yang akan melaksankan dan menegakkan hukum, dasar hukum negara atau berdaulat menurut para pakar politik Islam adalah firman Allah s.w.t :
وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَاۤءَ
النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ وَمَنْ
يَّكُنِ الشَّيْطٰنُ لَهٗ قَرِيْنًا فَسَاۤءَ قَرِيْنًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat” (QS. An-Nisā’ [4]:58).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ
وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ
شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS.
An-Nisā’ [4]:59).
Hasan al-Bana menjelaskan bahwa
pengakuan “bahwa tiada tuhan selain Allah” berarti umat Islam wajib bergantung
pada hukum Allah dalam setiap aspek
kehidupannya, sedangkan dalam politik Bana berpendapat bahwa mendirikan
pemerintahan tuhan
dimuka bumi adalah suatu keharusan. Menurut Munawir Sjadzali megandung unsur proses hubungan yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin
dan yang dipimpin (rakyat) dalam rangka mencapai tujuan yang saling memberi
manfaat bagi kedua belah pihak. Pemimpin sebagai pemegang amanah berlaku adil
terhadap mar’us (yang dipimpin).
Seorang
ahli kajian agama-agama dan penulis buku terkenal Karen Amstrong pada tahun
1996 telah mengatakan bahwa pada akhir abad ke-20 agama menjadi sesuatu yang
patut dipertimbangkan. Hal yang dianggap mustahil oleh banyak orang pada tahun
1950 dan 60-an, yang dimana kaum sekuler mempunyai anggapan bahwa agama
hanyalah takhayul dan bualan primitif yang ditumbuh-kembangkan
oleh manusia rasional dan beradab.
Apa
yang menjadi prediksi kaum sekuler justru malah terjadi sebaliknya, prediksi
tersebut benar–benar meleset, dipenghujung abad ke-20 manusia kembali melirik agama
sebagai pelabuhan menjanjikan akan kebahagiaan hidup. Nilai-nilai yang telah
diabaikan oleh hingar – bingar modernisme dirindukan kembali, agama
telah mendapatkan momentumnya kembali. Secara umum para sosiologi teoritis politik Islam telah
merumuskan teori-teori tentang hubungan antara
agama dan negara lalu membedakannya menjadi tiga paradigma, petama
paradigma Integralistik, kedua paradigma Simbiotik dan ketiga,
Paradigma sekularistik.
A. Paradigma
Integralistik
Paradigma ini adalah konsep penyatuan agama dengan
negara (integrated) keduanya tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga
meliputi politik atau negara. Karena agama dan negara menyatu maka menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus pemrintahan negara diselenggarakan atas dasar unsur ilahi. Mereka beranggapan bahwa kedaulatan itu berasal dan berada ditangan tuhan dan
kepala negara adalah penjelmaan dari tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak
tanpa ada alternatif yang lain.
Paradigama penyatuan agama dan negara juga dianut oleh
kalangan fundamentalisme Islam, dimana kelompok
ini cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dinaggap mendasar dan
prinsipil. Al-Maududi merupakan salah satu ulama yang menganut faham ini,
Maududi berpendapat bahwa negara Islam harus didasarkan pada pada empat prinsip dasar yaitu: (1) Mengakui kedaulatan tuhan, (2) menerima otoritas Nabi
Muhammad s.a.w, (3) memiliki status wakil tuhan, (4) dan menerapkan musyawarah.
Menurut Maududi syariat Islam tidak mengenal pemisahan
antara politik atau agama dan negara, syariat Islam adalah suatu sistem yang
sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan dan tatanan kemasyarakatan.
Sementara itu Ibnu Taimiyyah menjelaskan dalam bukunya al-Syāsah al-Syar’īyah fī
aslah al-Ra’i wa al-Ri’āyah bahwa syariah adalah
prinsip agama yang lengkap, baginya syariah itu harus menjadi konstitusi
negara, Islam adalah agama sekaligus negara (dīn wa daulah), dan tokoh-tokoh lainnya seperti Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Hasan al-Banna.
Di Indonesia Muhammad Natsir (1973) merupakan salah
satu tokoh yang menganut paradigma integralistik ini, dimana menurut
pandangannya bahwa urusan kenegaraan merupakan suatu bagian yang tak dapat
dipisahkan dari Islam (integreerend deel) menurutnya negara bukanlah
tujuan tapi alat, dan pada prinsipnya negara merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Islam itu sendiri.
Menurut Natsir dasar negara yang disebut juga sebagai state
philosophy atau falsafah negara haruslah merupakan seperangkat nilai, ide
atau norma yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang sangggup memberi
bimbingan lahir dan batin kepada rakyat,
supaya menjadi bangsa yang berakhlak dan bermoral,
sekaligus dijadikan
sebagai sumber aturan-aturan pokok yang dituangkan dalam konstitusi (UUD) untuk
dipedomani dan dipegang teguh oleh suatu bangsa dalam memecahkan berbagai
persoalan kehidupan negara guna mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan
bersama dan dasar seperti ini hanya ada dalam agama Islam.
B. Paradigma
Simbiotik
Paradigma ini adalah agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan saling
memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan agama negara
dapat berkembang dan begitu juga dengan sebaliknya dimana negara memerlukan
agama karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan
etika.
Paradigma Simbiosis antara agama dan negara dapat dilacak pada pemikiran al-Mawardi, ia memaparkan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan ilusi kenabian guna untuk memelihara negara dan mengatur dunia.
Dalam konsepsi al-Mawardi, pemeriliharaan agama dan mengatur dunia (negara) merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, keduanya merupakan dimensi dari misi kenabian. Oleh karena itu dalam pandangan al-Mawardi disimpulkan bahwa agama (syariat) mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Disisi lain sebenarnya Mawardi berusaha menjelaskan sebuah pendekatan pragmatik dengan menyelesaikan persoalan politik kalau dihadapkan dengan prinsip – prinsip agama.
C. Pradigam
Sekularistik
Paradigma sekularistik
adalah paradigam penenolakan terhadap integralistik maupun simbiotik. Paradigma
ini menghendaki adanya pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara,
dalam artian paradigma ini menolak adanya pendasaran negara terhadap Islam, hukum
negara harus disandarkan pada prinsip-prinsip sekuler bukan pada hukum
Islam.
Pandangan ini dapat kita lacak pada pemikiran Ali Abdurrazaq,
Ali menegaskan bahwa Islam tidak menetapkan terhadap suatu rezim tertentu dan
tidak pula mendek kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu.
Tetapi Islam justru memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk
mengorganisasikan negara sesuai dengan intlektual, soial dan tuntutan zaman.
Ali Abdurrazaq berpendapat bahwa tidak ada petunjuk yang
jelas baik dalam al-Qur’ān maupun as-Sunnah tentang ketentuan suatu bentuk
sistem pemerintahan dalam Islam, hal ini senada dengan pendpat Muhammad Abu
Zahra yang mengatakan bahwa pembagian negara kedalm dārul Islām
dan dārul harb
tidaklah berdasarkan kepada as-Sunnah tetapi menurapak hasil analisis dan ijtihad
para ulama.
Diskusi
tentang apakah Islam mempunyai hubungan dengan konsep negara atau tidak masih
menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan dikalangan ilmuan Islam
termasuk di Indonesia. Menurut Munawir Sjadzali ada tiga golongan pendapat para
pakar Islam mengenai konsep negara dalam Islam.
Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dalam segala aspek kehidupan manusia termasuk didalamnya politik dan negara. Kelompok ini berpandangan bahwa dalam bernegara ummat Islam tidak perlu mengikuti sistem negara barat tetapi, hendaknya kembali kepada sistem negara Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w dan al-Khulafā al-Rāsyidīn pada awal perkembangan Islam.
Pendapat kedua menyatakan bahwa, Islam adalah suatu agama yang sama sekali tidak berhubungan dengan negara maupun politik. Menurut pendapat yang kedua ini Nabi Muhammad s.a.w hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul–rasul sebelumnya yang memiliki tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang berakhlak mulia. Menurut golongan ini Nabi Muhammad tidak pernah bertugas untuk membangun dan memimpin suatu negara.
Pendapat ketiga adalah golongan yang mengatakan Islam adalah sebagai falsafah
dan ideologi negara yang lengkap. Golongan ini juga tidak sempendapat
dengan aliran yang mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak ada hubungannya
degan negara dan politik. Menurut kelompok ini Islam
adalah ajaran yang menyeluruh, walupun didalam Islam tidak terdapat sistem
negara dalam arti teori yang lengkap, namun di dalam Islam terdapat petunjuk
bagi kehidupan bernegara.
Muhammad
Mahfud MD berpendapat bahwa di dalam sumber utama ajaran
Islam (al-Qur’ān dan as-Sunnah) memang tidak ada ajaran tentang mengenai sistem
politik dan ketatanegaraan. Artiya tidak ada ajaran tertentu yang harus di
ikuti dan dilaksanakan sebagai sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam.
Dalam
Islam sejarah bukan dalam Islam wahyu, sistem politik dan ketatatnegaran sangat
bermacam–macam, banyak negara yang mengaku “negara Islam”, tetapi sistem
poliitik dan sistem hukumnya bermacam–macam, hal ini dapat disimpulkan bahwa
tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan dalam Islam, sebab kalau ada sistem
tertentu yang harus di anut, maka dengan sendirinya semua negara Islam,
sistemnya harusnya sama. Menurut Mahfud Islam memang tidak menggariskan sistem
politik dan ketatanegaraan tertentu, tetapi Islam bisa menerima berbagai sistem
dan bentuk sesuai dengan tuntutan tempat, waktu dan tardisi (masing–masing
negara). Karena itu negara – negara Islam ada berbentuk monariki,
republik, bersistem presidensil dan parlementer. Tegasnya Islam
menerima sistem atau bentuk apapun yang ditetapkan oleh manusia sesuai dengan
kebutuhan dan penerimaan masing – masing negara.
Pertarungan
pemikiran terutama menyangkut politik hukum negara terus bergulir tak
terkecuali di Indonesia. Sebagian pemikir dan penggiat politik berpendapat
bahwa Islam telah mengajarkan secara lengkap tentang hukum–hukum yang harus
diberlakukan dalam kehidupan bernegara, sehingga harus di ikuti sepenuhnya
sesuai dengan teks ajaran – ajarannya.
Abdullah
Ahmad An-Na’īm berpendapat bahwa penerpan syariat Islam di Indonesia justru malah
merendahkan syariah itu sendiri, menurut Nai’īm penerapan syariat Islam di
Indonesia hanya sebatas kulitnya saja dan belum menyentuh subtansinya. Penerapan syariat Islam dalam pandangan Na’īm
tidak pernah menitik beratkan pada inti syariat tersebut seperti, keadilan sosial, pemeberantasan
korupsi sampai kepada akar-akarnya.
Nurcholish
Madjid berpendapat bahwa fundamentalisme lebih berbahaya dari narkotika,
ia melontarkan pemekiran tentang bahanya "organizet religion" dan fundamentalisme agama. Bagi
Nurcholis fundamentalisme adalah musuh yang harus diwaspadai. Fundamentalisme dalam satu
agama tertentu menurutnya, menyebabkan gagasan-gagasan palsu dan bersifat
menipu. Dimasa sekarang fundamentalisme telah menjadi sumber kekacauan
dan penyakit mental baru di masyarakat. Akaibat-akibat yang ditimbulkannya jauh
lebih buruk dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada, seperti
kecanduan minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Sedangkan Masdar
berpendapat bahwa Pelaksanaan syariat Islam yang diatur oleh negara akan
menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada syariat yang
disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka, agama
pada intinya harus menjadi wilayah yang otonom dari negara.
Penggunaan
masa lampau membuat kaum Islam formalis tidak mampu memperepsi realitas
dengan obyektif, realitas kekinian dilihat dengan kaca mata masa lalu,
sehingga persepsinya mengalami distorsi dan anakronistik. Kaum
Islam formalis disebutnya hanya melihat Islam dari aspek ritual
yang wajib dilaksanakan, dipertahankan dan bahkan diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan, sehingga seluruh yang berlabel Islam harus menjadi prioritas.
Konsekuensi logis dari sikap itu adalah Islam menjadi gerakan komunal, sectarian dan feodalistik yang kehilangan peran vitalnya. KH. Abdurrahman Wahid secara tegas mengarahkan kekutannya pada dimensi itu, menurutnya feodalisme agama dapat menciptakan keresahan antar umat beragama, oleh karena itu ia menentang formalisasi atau menjadikan Islam sebagai hukum negara.
Ajaran
Islam sudah mencakup berbagai bidang hukum seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Iternasional yang semuanya
siap dioperasionalkan sebagai paket yang given yang harus di ikuti oleh
setiap pemeluk Islam. Pendapat seperti ini di anut oleh paham Islam Politik, Islam Formal atau
Islam Eksklusif dengan dalil sebagai dasar argumennya adalah:
......وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ
اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“.......Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” (QS al-Māidah [5]: 44).
Di sisi lain ada penggiat politik
muslim yang menganut paham yang lebih moderat dan akomodatif terhadap realitas
perbedaan dan pluralitas masyarakat. Paham ini sering disebut sebagai
penganut gerakan Islam Kultural, Islam Substantif, Islam
Inklusif atau Islam Kosmopolit. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam
yang harus diperjuangkan pemberlakuannya dalam hidup bernegara itu bukan norma-norma
tekstual atau fikihnya, melainkan makna–maknanya subtantif atau
asas-asasnya.
Menurut
pendapat ini “barang siapa yang tidak berhukm dengan prinsip hukum (yakni
keadilan) seperti yang diperintahkan
Allah, maka orang itu kafir”. Dengan demikian norma-norma hukum Islam
terlebih dalam bentuk
fikih tidak ada yang
mutlak sehingga tidak harus di ikuti seperti apa adanya, sebab yang terpenting
adalah prinsip keadilan.
[1] Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 18-27
Label: POLITIK