EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM (2)
Tulisan Ini adalah bagian dari buku saya yang sudah diterbitkan pada tahun 2020
Silahkan copy judul dibawah ini untuk dijadikan daftar pustaka/footnote
Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 28-49
B. Faktor
Penegak Hukum
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau
tidaknya kinerja hukum adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini
dikehendaki adanya aparatur yang handal, sehingga aparat tersebut dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah
meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik, sebagaimana
pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan bahwa:
“Dalam rangka penegakan hukum dan
implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah
suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif
manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat,
harus diaktualisasikan”.
Penegakan hukum pada
prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi
masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan. Dalam pelaksanaan penegakan hukum,
keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan,
hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang dan bersifat menyamaratakan.
Setiap orang yang mencuri harus di hukum tanpa membeda-bedakan siapa yang
mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis
dan tidak menyamaratakan. Adil bagi
seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Penegakan hukum
sebenarnya telah dimulai ketika peraturan perundang-undang dirumuskan oleh
badan legislatif. Setiap norma hukum dalam bentuk apapun pasti akan
memihak kepada nilai-nilai tertentu yang dianggap mulia. Nilai-nilai yang
dianggap mulia tersebut sama, karena menurut nilai yang mulia tersebut terdapat
dalam hukum alam. Kurang baiknya kondisi undang-undang merupakan salah
satu faktor timbulnya kejahatan, namun dikemukakan pula adanya faktor lain yang
mempengaruhi yaitu pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen dan sikap
atau tindak tanduk penegak hukum.
Para penegak hukum tidak hanya
berpatokan dari substansi norma hukum formil yang ada dalam
undang-undang (law in book), karena hal tesebut dapat mencederai rasa
keadilan di dalam masyarakat. Seyogyanya penegakan hukum harus bertitik – tolak
pada hukum yang hidup (living law). Dengan kata lain para penegak hukum
harus memperhatikan budaya hukum (legal culture) di tengah-tengah masyarakat guna untuk
memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat
terhadap hukum dalam sistem hukum yang berlaku.
Ruang
lingkup istilah penegak hukum sangat luas sekali, dalam tulisan ini yang
dimaksudkan dengan penegak hukum dibatasi pada kalangan yang secara langsung
berkecimpung di dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law
enforcement, akan tetapi juga peace maintenance, kiranya sudah dapat
diduga bahwa kalangan tersebut adalah mereka yang bertugas di bidang-bidang
kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pengacara dan pemasyarakatan.
Aparatur
penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi-institusi penegak hukum
dan apara penegaknya, dalam arti sempit aparatur penegak hukum yang terlibat
tegaknya hukum tersebut dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa,
hakim dan petugas-petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan
aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya, yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi,
serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Menurut
Jimly Asshiddiqie dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum setidaknnya
dipengaruhi oleh tiga elemen penting yaitu:
1. Institusi
penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya;
2. Budaya
kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya;
3. Perangkat
peraturan yang mendukung, baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur
materil hukum yang dijadikan sebagai standar kerja, baik hukum materilnya
maupun hukum acaranaya.
Upaya
penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga
aspek di atas secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dapat
berjalan dengan baik dan dapat
diwujudkan secara nyata. Pengertian hukum yang
memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah
dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi juga
harus mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan.
Selaras dengan pendapat Jimly di atas Hikmanto Juwanto
juga berpendapat bahwa pelaksanaan hukum akan melemah apabila hukum dijadikan
sebagai komoditas politik, dilaksankan secara diskriminatif, sehingga
perlu dilakukan pembenahan dari berbagai aspek yang meliputi institusi penegak
hukum, kesejahteraan penegak hukum dan memperbaiki subtansi hukum dengan
kehidupan masyarakat, karena penegakan hukum merupakan faktor penting dalam
kehidupan hukum dalam bernegara.
Sementara
itu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas
hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut:
1. Sampai
sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada;
2. Sampai
batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan;
3. Teladan
macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat;
4. Sampai
sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan
kepada petugas, sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Noet dan Selznick menegaskan bahwa seorang penguasa
(otoritas penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat aturan-aturan
sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu di ingat bahwa kekuasaan empirik
tidak bisa dipaksa untuk sesuai dengan keinginan sipembuat hukum, dia akan menambah
kredibilitas dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta
menarik kemauan secara sukarela. Apabila senyatanya aturan tersebut adil,
merasa terikat oleh aturan tersebut dan yang sangat penting penyelenggaraan
peradilan tidak berpihak termasuk kepada aparat penegak hukum sekalipun dengan
berbagai kepentingannya, kecuali menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan
sosial.
Menurut Daniel S. Lev yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, tempat hukum dalam negara tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
C. Faktor
Sarana atau Fasilitas
Sarana
atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum
menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Menuru
Soerjono Soekanto patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana
prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan
kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya.
Adapun elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Prasarana yang telah ada
apakah telah terpelihara dengan baik;
2.
Prasarana yang belum ada
perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu pengadaannya;
3.
Prasarana yang kurang
perlu segera dilengkapi;
4.
Prasarana yang rusak
perlu segera diperbaiki;
5.
Prasarana yang macet
perlu segera dilancarkan fungsinya;
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi fungsinya.
D. Faktor
Masyarakat
Satu
hal yang perlu di ingat bahwa proses bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak
terlepas dari keberadaan hukum itu sendiri dalam sistem sosial yang lebih luas.
Prosedur penegakan hukum tidak terlepas dari faktor-faktor sosial – kultural
tempat hukum itu hendak diberlakukan.
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Warga negara (masyarakat) memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, disisi
lain warga masyarakat juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses
perbuatan hukum tersebut masyarakat dilibatkan secara aktif. Sehingga adanya
hukum dengan segala peraturan organik dan seperangkat sanksinya diketahui,
dimaknai dan disetujui masyarakat dan hukum di jadikan sebagai kesedapan hidup.
Harold
J. Laksi menyatakan bahwa warga negara berkewajiban menegakkan hukum, jika
hukum itu memuaskan rasa keadilan. Ada tiga bentuk masyarakat diantaranya:
a.
Masyarakat
teratur yakni masyarakat yang di atur dengan tujuan tertentu;
b.
Masyarakat
teratur yang terjadi dengan sendirinya karena persamaan kepentingan;
c. Masyarakat tidak teratur, yang terjadi dengan sendirinya tanpa dibentuk.
Sementara itu Chambliss dan Seidman
membuat perbedaan mengenai masyarakat menjadi dua model: Pertama, model masyarakat yang berdasarkan
pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat
yang demikian akan sedikit mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan di
dalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang
menjadi landasan kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan diantara anggota masyarakat
mengenai apa yang seharusnya diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan
di dalam masyarakat. Dalam hubungan ini maka berdirinya masyarakat bertumpu
pada kesepakatan di antara para warganya.
Kedua,
model masyarakat konflik, model ini berlawanan dengan model masyarakat yang
pertama, dimana berdirinya masyarakat bertumpu kepada kesepakatan warganya,
sedangkan pada model masyarakat yang kedua ini masyarakat di lihat sebagai
suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh warga
yang lainnya. Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat konflik berbeda dengan
nilai-nilai dalam masyarakat yang bertumpu kepada kesepakatan, sehingga keadaan
ini akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.
Ada dua fungsi yang dapat di jalankan oleh hukum di dalam masyarakat. Pertama, sebagai sarana kontrol sosial dan kedua, sebagai sarana untuk melakukan social engineering. Proses engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman dibayangkan (efektivitas menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru) dari masyarakat. Proses perkembangan kecepatan menanam unsur-unsur yang baru. Perubahan-perubahan yang di kehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.
Berdasarkan
fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai sarana kontrol
sosial, maka setiap peraturan diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan
dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang
dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian pada
hukum tersebut.
Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota masyarakat, hukum akan mengalami banyak hambatan dalam penerapannya. Karena perilaku individu bermacam-macam serta mempunyai kepentingan yang berbeda. Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku warga masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar tetap konform dengan norma yang selalu dijalankan berdasarkan kekuatan sanksi.
Ewick dan Sylbey merumuskan bahwa kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara dimana orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang. Bagi Ewick dan Sylbey kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan, karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris, dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan norma atau asas. Achmad Ali menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan, sering orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu meskipun sangat erat hubungannya namun tetap tidak persis sama, kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat.
E. Faktor
Budaya Hukum
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai hasil dari
karya, rasa dan cipta masyarakat, di dalam rasa termasuk semua unsur yang
merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai warga masyarakat.
Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental dan kemampuan berfikir dari
orang-orang yang hidup bermasyarakat yang menghasilkan filsafat serta
ilmu pengetahuan baik yang berwujud teori murni maupun yang telah di susun
untuk langsung diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun
budaya hukum, Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa budaya hukum adalah adanya
tanggapan yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.
Tanggapan tersebut merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum, jadi menurut Hilman, budaya hukum menunjukkan tentang pola
perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan
(orientasi) yang sama terhadap kehidupan yang dihayati masyarakat bersangkutan.
Budaya hukum bukan meruapakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari
masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan sikap dan perilaku.
Nilai-nilai sosial dan budaya serta kaidah-kaidah yang terhimpun dalam lembaga kemasyarakatan pada hakekatnya merupakah rules for the game of life. Dengan demikian maka lembaga-lembaga kemasyarakatan seyogiyanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan pedoman bagi tingkahlakunya. Maka lembaga-lembaga kemasyarakatan berisikan nilai-nilai sosial dan budaya serta kaidah-kaidah yang melembaga dan bahkan menjiwai warga-warga masyarakat. Namun demikian lembaga-lembaga kemasyarakatan tidaklah identik dengan nilai-nilai sosial dan budaya, lembaga-lembaga kemasyarakatan sifatnya lebih khusus dikarenakan adanya kemungkinan bahwa suatu nilai sosial dan budaya tertentu dapat dikemukakan pada pelbagai lembaga kemasyarakatan.
Esmi Warassih mengatakan bahwa peranan
kultur hukum dalam penegakan hukum sangatlah penting dan sangat sering
berhubungan dengan faktor-faktor non – hukum, sebagaimana dijelaskan
sebagai berikut:
“Penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai fakor (interchange). Dalam konteks yang demikian titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar sebagai suatu “rumusan hitam-putih” yang ditetapkan dalam berbagai peraturan per-undang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga masyarakat. Artinya, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat yang selanjutnya disebut dengan kultur hukum”.
Budaya
hukum masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal muncul karena ada dorongan tertentu baik
yang bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif
dapat muncul karena adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan
seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif.
Sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan
yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya.
Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena adanya semacam tekanan
dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk
kepada hukum.
Pada
takaran umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum
disebabkan karena adanya sanksi (punishment) yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman
sehingga lebih memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada
gilirannya dapat menyusahkan mereka, motivasi ini biasanya bersifat sementara
atau hanya temporer.
Sehubungan
dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya
dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan.
Ancaman dan paksaanpun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat
dikategorikan sebagai hukum. Maka tentu saja unsur paksaan inipun erat
kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan
hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif. Salah satu pertanyaan yang
dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya
hukum karena ancaman paksaannya kurang berat, mungkin juga karena ancaman
paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat.
Membicarakan
tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu
dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum, hukum
dapat efektif jika faktor-faktor
yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif
atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat
dari perilaku masyarakat, suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif
apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau
dikehendaki oleh peraturan
perundang-undangan tersebut, karena faktor-faktor yang menghambat efektivitas
hukum tidak hanya datang dari para penegaknya saja (polisi, jaksa, hakim dll.)
akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh budaya hukum dalam masyarakat dimana
hukum itu diberlakukan.
[1] Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 28-49
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda