EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM (1)
Tulisan Ini adalah bagian dari buku saya yang sudah diterbitkan pada tahun 2020
Silahkan copy judul dibawah ini untuk dijadikan daftar pustaka/footnote
Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 28-49
Efektivitas penegakan hukum
merupakan suatu indikator penilaian terhadap penegakan suatu hukum, dalam
artian untuk mengukur keberhasilan atau target yang telah ditetapkan dalam
penerapan suatu hukum.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) efektivitas berasal dari kata efektif
yang berarti memiliki pengaruh, akibat, membawa hasil atau berhasil
guna, sedangkan efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah
hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang
pantas.
Menurut
Achmad Ali bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas
dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati, lebih lanjut Achmad mengemukakan bahwa pada umumnya
faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan
adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para
penegak hukum baik di dalam menjelaskan tugas yang di bebankan terhadap diri
mereka maupun dalam menegakan perundang-undangan tersebut, dengan
kata lain efektivitas hukum adalah kesesuaian antara apa yang diatur
dalam hukum dengan pelaksanaannya.
Soerjono
Soekanto mengatakan bahwa efektif adalah taraf sejauh mana suatu
kelompok dapat mencapai tujuannya, hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif,
pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing atau merubah perilaku
manusia sehingga menjadi perilaku hukum. The
Liang Gie menjelaskan bahwa pengertian efektivitas adalah suatu
keadaan yang mengandung pengertian mengenai
terjadinya suatu efek yang dikehendaki.
Sementara
itu penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam bermasyarakat dan bernegara.
Penegakan hukum dari segi subjeknya dapat dilakukan oleh subjek
hukum yang luas dan subjek hukum yang sempit atau terbatas.
Penegakan
hukum dalam arti luas melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Penegakan hukum dalam arti sempit dari segi subjeknya adalah penegakan
hukum yang diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu atauran hukum berjalan sebagaimana
seharusnya.
Sedangkan
penegakan hukum dari sudut objeknya yaitu dari segi hukumnya, dalam hal
ini pengertiannya juga mencakup penegakan hukum dalam arti yang luas dan
penegakan hukum dalam arti sempit atau terbatas. Penegakan hukum dalam arti
luas adalah penegakan hukum yang mencakup nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam
masyarakat. Sedangkan penegakan hukum dalam arti sempit adalah penegakan hukum
yang hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan yang tertulis
saja.
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum adalah upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum baik dalam arti formil
yang sempit maupun material yang luas sebagai pedoman perilaku dalam
setiap perbuatan hukum, baik oleh subjek hukum maupun oleh aparatur
penegak hukum yang resmi diberi tugas dan wewenang oleh undang-undang untuk
menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Penegakan
hukum tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban, hal ini mungkin
disebabkan oleh karena hukum di identikkan dengan penegakan perundang-undangan,
asumsi seperti ini sangat keliru, karena hukum itu harus di lihat dalam satu
sistem yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum.
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan
peraturan (regulations) namun mencakup bidang yang luas yang meliputi
struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal
structure). Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri
dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal culture).
Struktur
hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
lembaga-lembaga terkait seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, komisi
judisial dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma,
peraturan maupun undang-undang. Budaya hukum adalah meliputi pandangan,
kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan
pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain budaya hukum
itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu
diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Jika
kita mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara
umum menurut Achma Ali, C.G. Howard dan R.S. Mumner adalah sebagai berikut:
a. Relevansi
aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi
target aturan hukum secara umum. Jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk
undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami
kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut;
b. Kejelasan
rumusan dari subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target yang
diberlakukannya aturan hukum, jadi perumusan subtansi hukum harus dirancang
dengan baik, jika aturannya tertulis maka harus ditulis dengan jelas dan mampu
dipahami secara pasti, meskipun nantinya tetap membutuhkan interprestasi
dari penegak hukum yang akan menegakkannya;
c. Sosialisasi
yang optimal kepada seluruh target aturan hukum. Kita tidak boleh meyakini fiksi
hukum yang menentukan bahwa semua produk yang ada dalam wilayah suatu negara
dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya. Tidak
mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum mampu mengetahui keberadaan
suatu hukum dan subtansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan
secara optimal;
d. Jika
hukum yang dimaksud adalah aturan perundang-undangan, maka seyogiayanya aturan
tersebut bersifat melarang dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang
bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksankan ketimbang hukum
yang bersifat mengharusnkan (mandatur);
e. Sanksi
yang di ancamkan oleh aturan hukum tersebut harus dipadankan dengan sifat
aturan hukum yang di langgar. Suatu sanksi yang dapat dikatakan tepat untuk
suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain;
f. Berat
ringannya sanksi yang di ancamkan dalam aturan hukum harus proporsional
dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya sanksi yang terlalu ringan
untuk suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat warga masyarakat tidak akan
segan untuk melakukan kejahatan tersebut;
g. Kemungkinan
bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum tersebut, karena tindakan yang di atur dan di ancamkan sanksi memang
tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan
untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman).
Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan
yang bersifat gaib atau mistik adalah mustahil untuk efektif,
karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi
perbuatan yang sering dikenal “sihir” atau “ tenung” adalah
mustahil untuk efektif dan dibuktikan;
h. Aturan
hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif
ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang di anut oleh
orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum
yang sangat efektif adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam
sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,
seperti norma moral, agama, norma adat-istiadat/kebiasaan dan lainnya. Aturan
hukum yang tidak di atur dan dilarang oleh norma lain, akan lebih tidak
efektif;
i. Efektif
atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada
standar hidup sosio – ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Sebelumnya
keterlibatan umum sedikit atau banyak harus telah terjaga, karena tidak mungkin
efektivitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam
keadaan kaos atau situasi perang dahsyat.
Penegakan
hukum yang baik menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaidah-kaidah
serta dengan perilaku nyata dari manusia, guna untuk mewujudkan hal tersebut,
Soerjono Soekanto telah merumuskannya kedalam tiga macam dalam hal berlakunya hukum, yakni
secara yuridis, sosiologis dan filosofis sebagai berikut:
1. Berlakunya
hukum secara yuridis, mengenai hal ini beberpa tokoh memberikan
pernyataannya seperti Hans Kasen yang menyatakan bahwa, hukum mempunyai
kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kepada kaidah yang
lebih tinggi tingkatnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang dimaksud
dengan efektivitas hukum yang dibedakan dengan hal berlakunya hukum oleh
karena efektivitas merupakan fakta. W. Zavenbereng berpendapat bahwa
suatu kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut
terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, dan Logemann yang berpendapat
bahwa kaidah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara
suatu kondisi dan akibatnya;
2. Belakunya
hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum.
Mengenai hal ini ada dua teori yang menyatakannya sebagai berikut: Pertama,
adalah teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum berlaku secara
sosiologis. Apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dalam hal
tersebut terlepas dari masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Kedua,
teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian. Bahwa berlakunya hukum di
dasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada sistem hukum
tersebut;
3. Berlakunya
hukum secara filosofis yakni hukum tersebut merupakan sutu kesesuaian
dengan apa yang ducita-citakan hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi,
misalnya Pancasila.
Supaya
hukum dapat berfungsi dengan baik, maka hukum harus memenuhi ketiga macam unsur
di atas, apabila hukum hanya memiliki kekuatan yuridis, maka ada
kemungkinan bahwa hukum tersebut hanya merupakan kaidah yang mati “dode
regel”. Kalau kaidah hukum hanya
mempunyai kelakuan sosiologis dalam artian teori kekuasaan, maka hukum
tersebut hanya menjadi aturan pemaksa dan apabila hukum hanya mempunyai
kekuatan filosofis, maka hukum tersebut hanya sebagai kaidah hukum yang
diharapkan atau dicita-citakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila kaidah hukum tersebut
diartikan sebagai patokan untuk dapat bergaul dengan damai, maka ketiga
hal tersebut di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Efektivitas hukum merupakan
proses yang bertujuan supaya hukum dapat berlaku efektif. Menserasikan antara
apa yang ada di dalam kaidah-kaidah sejumlah peraturan-peraturan terhadap
penciptaan, pemeliharaan dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup. Keadaan tersebut dapat di tinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas.
Menurut Soerjono Soekanto masalah pokok dalam penegakan hukum adalah terletak
pada hukumnya sendiri (peraturan perundang-undangan yang berlaku), penegak
hukumnya yakni pihak-pihak yang mengawal penerapan hukum, sarana atau fasilitas
yang mendukung penerapan hukum, masyarakat di mana hukum tersebut diberlakukan
dan budaya hukum dalam masyarakatnya. Kelima faktor tesebut saling memiliki kaitan yang erat dikarenakan esensi
dari penegakan hukum. Kelima faktor tersebut merupakan tolak ukur daripada efektifitas
penerapan hukum.
B. Faktor
Undang-Undang
Hukum
lahir karena adanya tuntutan-tuntutan dari instrumental terhadap
pemerintah. Bagaimanapun hukum tidak dapat dipisahkan dari pemerintah, seperti
yang dikatakan Donald Black bahwa hukum adalah suatu pengendalian oleh
pemerintah. Memang benar tidak semua aturan hukum dibuat oleh pemerintah dalam artian yang
lebih luas yang mencakup kekuasaan legeslatif, eksekutif dan yudikatif,
tetapi suatu aturan baru dapat dikatakan
sebagai aturan hukum jika ke – berlakuannya memperoleh legitimasi oleh
suatu pemerintahan. Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya yang sesuai dengan pemegang kekuasaan.
Kekuatan-kekuatan
politik dalam proses pembentukan hukum (undang-undang) dapat dilihat dari dua
sisi yakni, sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal
(institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan
lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga
negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah
seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum (undang-undang) adalah lahir
dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara
yang diberikan otoritas untuk membuat suatu aturan hukum (undang-undang).
Dalam
hal ini undang-undang yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ideologi
negara, dan undang-undang dibuat haruslah menurut ketentuan yang mengatur
kewenangan pembuatan perundang-undang sebagaimana diatur dalam konstitusi
negara, serta undang-undang dibuat haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat di mana undang-undang tersebut diberlakukan.
Menurut
Soerjono Soekanto ukuran efektivitas pada faktor undang-undang adalah
sebagai berikut:
1. Peraturan
yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis;
2. Peraturan
yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron,
secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan;
3. Secara
kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi;
4. Penerbitan
peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis
yang ada.
Sedangkan
menurut Achmad Ali mengatakan bahwa efektifnya suatu perundang-undangan
banyak tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1.
Pengetahuan tentang subtansi
perundang-undangan.
2.
Cara-cara memperoleh
pengetahuan tersebut.
3.
Institusi yang terkait
dengan ruang – lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya.
4.
Bagaimana proses lahirnya
suatu perundang-undangan. Dimana suatu undang-undang tidak boleh di lahirkan
secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat) yang diistilahkan oleh
Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu) yang
memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Dalam
membuat hukum atau menyusun peraturan perundang-undangan Montesquieu
menganalisa dalam bukunya yang berjudul “The Spirit of Laws” sebagai
berikut:
“Bahwa
hukum (perundang-undangan) harus ringkas dan mudah di mengerti, sehingga hukum
tersebut akan berarti bagi siapun yang membacanya. Perubahan-perubahan yang
tidak penting dalam undang-undang yang
ada, undang-undang yang sulit di laksanakan dan undang-undang yang tidak
diperlukan harus dihindari, karena hukum seperi itu akan memperlemah otoritas
sistem hukum secara umum. Jika sebuah hukum tidak bisa diberlakukan bagi semua
orang pada suatu bangsa, maka memberikan toleransi pada keragaman lebih baik
dari pada menjatuhkan tingkat keseragaman yang barang kali secara psikologis
menyenangkan namun berbahaya bagi orang-orang yang situasinya tidak sesuai
dengan rumusan matematis yang dirancang oleh legislator”.
Dalam
memfungsikan hukum sebagai a tool of social engineering (alat rekayasa
sosial) maka proses sosialisasi undang-undang sangatlah penting agar undang-undang atau aturan hukum
tersebut benar-benar efektif pemberlakuannya, proses sosialisasi
undang-undang dilakukan dengan tujuan:
1.
Supaya warga masyarakat
dapat mengetahui kehadiran suatu undang-undang atau peraturan;
2.
Supaya warga masyarakat
dapat mengetahui isi suatu undang-undang atau peraturan;
3.
Supaya warga masyarakat
dapat menyesuaikan diri (pola pikir dan tingkah laku) dengan tujuan yang
dikehendaki oleh undang-undang atau peraturan hukum tersebut.
Demikian
juga halnya dengan peraturan perundang-undangan yang mengancamkan sanksi
terhadap berbagai jenis kejahatan dan
kekerasan, seyogyanya dilakukan proses sosialisasi yang maksimal di
dalam masyarakat, sehingga baik kehadiran maupun isi undang-undangnya dapat
diketahui oleh semua kalangan masyarakat.
[1] Ali Geno Berutu, Formalisasi Syariat Islam Aceh dalam tatanan Politik Nasional (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal 28-49
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda