Minggu, 08 Januari 2023

Sejarah Perjanjian Hudaibiyah 1

 PART 1

Perjanjian Hudaibiyyah (صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H). Rasulullah dan para sahabat berada pada posisi sulit, karena seluruh prosesi pelaksanaan ibadah Haji bertempat di Makkah sedangkan pada saat itu Makkah dikuasai oleh kaum kafir Quraisy.

Quraisy menganggap Rasulullah dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari berhala-berhala yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka'bah adalah suatu kewajiban bagi Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya. Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu, kaum Muhajirin sendiri pun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan—tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja, mereka semua yakin akan adanya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada mereka.[1]  

Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendapat kepercayaan kaum kafir Quraisy bahwa kedatangan Rasulullah dan kaum Muslimin adalah murni untuk melakukan ibadah umrah maka Rasulullah memerintahkan beberapa hal, pertama agar perjalanan dilakukan melalui rute yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum kafir Quraisy, kedua Rasulullah memerintahkan agar hewan hadyu untuk pelaksanaan ibadah umrah ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang dan Ketiga kaum Muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan dengan pedang disarungkan untuk memperlihatkan bahwa perjalanan dilakukan bukan bermaksud untuk melakukan penyerangan. Muhammad juga membawa binatang qurban yang terdiri dari 70 ekor unta, juga mengenakan pakian ihram[2]

Cara ini akan menghilangkan kecurigaan orang-orang Quraisy, dengan meyakinkan mereka akan maksud damai umat Islam. Dan memang sudah men-tradisi dikalangan Arab siapa saja yang melakukan peribadatan di al-Masjid al-Haram pada bulan-bulan suci, maka terjamin keamanannya. Dalam hal ini Allah berfirman QS Al-Baqarah: 217:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah

Berita tentang keberangkatan rombongan Nabi ini terdengar oleh orang-orang Musyrik Mekkah. Mereka pun menyiapkan satu pasukan tentara  dengan pasukan berkuda sebanyak 200 orang. Pasukan ini di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jahal. Pasukan ini bergerak menyongsong kedatangan rombongan Nabi Muhammad, dan mereka berkemah di Dzu Thuwa. (3)

Dari Dzul Hulaifah rombongan Nabi bergerak terus menuju Mekkah. Tetapi sesampainya di ‘Usfan, rombongan ini bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’ab. Nabi bertanya kalau-kalau ia mengetahui berita sekitar orang-orang Quraisy. Orang tersebut menjelaskan : “Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini. Lalu mereka berangkat dengan menekan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dzu Thuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kiral Ghanim.”

Nabi mempertimbangkan, bila mereka terus melakukan perjalanan dan bertemu dengan pasukan Quraisy tersebut, tentulah akan terjadi pertumpahan darah. Padahal sejak awal beliau sudah memutuskan bahwa tidak akan ada darah yang tetumpah. Mereka bermaksud memasuki Mekkah dengan damai, aman dan tenteram. Dalam suasana seperti itu, dari kejauhan sayup-sayup terlihat kepulan debu dari pasukan Musyrik Makkah tersebut. Nabi kemudian berseru kepada anggota rombongannya, siapa diantara mereka yang mengetahui jalan lain untuk mencapai Mekkah. Mendengar itu seseorang maju ke depan yang mengetahui jalan lain menuju Mekkah tersebut.

Namun jalannya berliku-liku dan sangat sulit dilalui. Nabi menyetujui hal itu, lalu memerintahkan rombongan untuk menmepuh jalan tersebut. Akhirnya mereka sampai ke satu tempat bernama Thaniat al-Murar, jalur menuju ke Hudaybiyah yang terdapat di sebelah bawah kota Mekkah. Ternyata kawasan tersebut sangat kerontang, tiada satupun sumber mata air. Mndengar itu Rasulullah mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikan kepada seseorang anggota rombongan kemudian dibawa ke salah satu sumur yang terdapat di kawasan itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir pada salah satu sumur tetsrebut airpun memancar.[4]

BERSAMBUNG PART 2

[1] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad : Ibadah Haji Yang Pertama, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/28/lni2wy-sejarah-hidup-muhammad-saw-ibadah-haji-yang-pertama ( diakses pada tanggal 3 Desember 2014)

[2] Muhammad Husayn Haikal, Hayat Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935), 374

[3]Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009.

[4] Muhammad Husein Haikal, Hayatu Muhammad..

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda