Sejarah Perjanjian Hudaibiyah 1
PART 1
Perjanjian Hudaibiyyah (صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan
di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah,
6 H). Rasulullah dan para sahabat berada pada posisi sulit, karena seluruh
prosesi pelaksanaan ibadah Haji bertempat di Makkah sedangkan pada saat itu
Makkah dikuasai oleh kaum kafir Quraisy.
Quraisy menganggap Rasulullah dan
pengikut-pengikutnya telah mengingkari berhala-berhala yang terdapat di
dalamnya. Oleh karena itu, memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke
Ka'bah adalah suatu kewajiban bagi Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali
kepada dewa-dewa nenek-moyangnya. Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita
karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka,
juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu, kaum
Muhajirin sendiri pun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan—tersiksa dalam
pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja,
mereka semua yakin akan adanya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada
mereka.[1]
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam
Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi
Makkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah
lama ditinggalkan. Untuk mendapat kepercayaan kaum kafir Quraisy bahwa
kedatangan Rasulullah dan kaum Muslimin adalah murni untuk melakukan ibadah
umrah maka Rasulullah memerintahkan beberapa hal, pertama agar
perjalanan dilakukan melalui rute yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum kafir
Quraisy, kedua Rasulullah memerintahkan agar hewan hadyu untuk
pelaksanaan ibadah umrah ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang
dan Ketiga kaum Muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan dengan
pedang disarungkan untuk memperlihatkan bahwa perjalanan dilakukan bukan bermaksud
untuk melakukan penyerangan. Muhammad juga membawa binatang qurban yang terdiri
dari 70 ekor unta, juga mengenakan pakian ihram[2]
Cara ini akan menghilangkan
kecurigaan orang-orang Quraisy, dengan meyakinkan mereka akan maksud damai umat
Islam. Dan memang sudah men-tradisi dikalangan Arab siapa saja yang melakukan
peribadatan di al-Masjid al-Haram pada bulan-bulan suci, maka terjamin
keamanannya. Dalam hal ini Allah berfirman QS Al-Baqarah: 217:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ
قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ
وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ
عِنْدَ اللّٰهِ ۚ
Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah
Berita tentang
keberangkatan rombongan Nabi ini terdengar oleh orang-orang Musyrik Mekkah.
Mereka pun menyiapkan satu pasukan tentara dengan pasukan berkuda sebanyak 200 orang. Pasukan ini di bawah pimpinan Khalid bin
Walid dan Ikrimah bin Abi Jahal. Pasukan ini bergerak menyongsong kedatangan
rombongan Nabi Muhammad, dan mereka berkemah di Dzu Thuwa. (3)
Dari Dzul Hulaifah rombongan Nabi
bergerak terus menuju Mekkah. Tetapi sesampainya di ‘Usfan, rombongan ini
bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’ab. Nabi bertanya kalau-kalau ia
mengetahui berita sekitar orang-orang Quraisy. Orang tersebut menjelaskan : “Mereka
sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini. Lalu mereka berangkat dengan
menekan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dzu Thuwa dan sudah bersumpah
bahwa tempat itu sama sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin Walid
dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kiral Ghanim.”
Nabi mempertimbangkan,
bila mereka terus melakukan perjalanan dan bertemu dengan pasukan Quraisy
tersebut, tentulah akan terjadi pertumpahan darah. Padahal sejak awal beliau
sudah memutuskan bahwa tidak akan ada darah yang tetumpah.
Mereka bermaksud memasuki Mekkah dengan damai, aman dan tenteram. Dalam suasana
seperti itu, dari kejauhan sayup-sayup terlihat kepulan debu dari pasukan
Musyrik Makkah tersebut. Nabi kemudian berseru kepada anggota rombongannya,
siapa diantara mereka yang mengetahui jalan lain untuk mencapai Mekkah.
Mendengar itu seseorang maju ke depan yang mengetahui jalan lain menuju Mekkah tersebut.
Namun jalannya berliku-liku dan
sangat sulit dilalui. Nabi menyetujui hal itu, lalu memerintahkan rombongan
untuk menmepuh jalan tersebut. Akhirnya mereka sampai ke satu tempat bernama
Thaniat al-Murar, jalur menuju ke Hudaybiyah yang terdapat di sebelah bawah
kota Mekkah. Ternyata kawasan tersebut sangat kerontang, tiada satupun sumber
mata air. Mndengar itu Rasulullah mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya
lalu diberikan kepada seseorang anggota rombongan kemudian dibawa ke salah satu
sumur yang terdapat di kawasan itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke dalam
pasir pada salah satu sumur tetsrebut airpun memancar.[4]
[1] Muhammad Husain Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad : Ibadah Haji Yang Pertama, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/28/lni2wy-sejarah-hidup-muhammad-saw-ibadah-haji-yang-pertama ( diakses pada tanggal 3
Desember 2014)
[2] Muhammad Husayn Haikal, Hayat
Muhammad (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1935), 374
[3]Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009.
[4] Muhammad Husein Haikal, Hayatu
Muhammad..
Label: POLITIK
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda