Minggu, 08 Januari 2023

Sejarah Perjanjian Hudaibiyah 2

 PART 2

Ketika hampir sampai di kota Makah mereka melihat kaum Quraisy bersiap-siap untuk mencegah mereka dengan senjata. Buda’il kepala suku Khuza’ah, meskipun bukan seorang muslim, bersikap baik terhadap Islam. Dia membawa kabar ini kepada Nabi dan selanjutnya mengirimkannya kembali untuk melaporkan kepada kaum Quraisy bahwa umat Islam datang untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang. Kepada kaum Quraisy juga diiusulkan agar menerima perdamaian dengan mereka selama masa tertentu. Karena telah mengirim pesan kepada kaum Quraisy, umat Islam berhenti di Hudaibiyah[1]

Kaum  Quraisy, walaupun begitu tetap menyiagakan pasukannya untuk menahan Rasulullah dan para sahabat agar tidak masuk kota Makkah. Pada waktu itu, bangsa Arab bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Pada awalnya beliau mengutus Umar Ibnul-Khattab, namun sekali lagi Nabi Muhammad mencoba mengirim utusan. Pertama sekali maksud tersebut dibebankan kepada Umar bin Khattab. Tetapi Umar menolak dengan mengatakan :” Rasulullah, saya kahawatir Quraisy akan mengadakan tindakan kepada saya, mengingat di Mekkah tidak ada pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih dalam hal ini dari pada saya, yakni Usman bin ‘Affan.”.

Usman pun dipanggil oleh Nabi untuk melaksanakan tugas sebagai utusan kepada pihak Quraisy. Pertama sekali ia diperintahkan untuk bertemu dengan Abu Sufyan. Dan ketika Usman sudah bertemu dengan mereka, ia diperintahkan untuk mengehentikan keinginan untuk masuk Mekkah. Kalau ia sendiri mau thawaf silakan thawaf. Tetapi Usman menampik bujukan tersebut. Dia baru mau thawaf kalau Nabi juga dan beserta rombongan dapat pula thawaf bersama sama.

Perundingan antara Utsman bin ‘Affan dan para pemimpin Quraisy memakan waktu agak lama, sehingga tersiar kabar di kalangan kaum Muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Tiada pilihan lain bagi mereka kecuali menuntut balas, sambil berdiri di sebatang pohon beliau mengumpulkan semua sahabatnya untuk membulatkan tekad dan bersiap-siap menghadapi kaum musyrikin Quraisy.

Mereka mengikrarkan sumpah setia akan tetap membela Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga. Peristiwa tersebut dalam sejarah Islam terkenal dengan nama “Bai’atur-Ridhwan[2], yaitu : Pernyataan janji setia yang diridhoi Allah, yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an. Peristiwa bai’at, yang berlangsung di bawah pohon Samrah, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Salmah bin Akwa’, menjadi asbab nuzulnya  firman Allah : QS. Al-Fath:18.

۞ لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًاۙ

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

Tekat umat Islam untuk mengorbankan jiwa mereka dalam mempertahan kan agama mereka, membuat orang Quraisy menjadi sadar. Pengalaman mereka yang telah lalu berfaedah sekali bagi mereka. Sekarang mereka dapat menyadari apa arti tekat umat Islam itu. Karena itu mereka menugaskan Suhel Ibn Amar untuk melanjutkan perundingan damai. Suatu genjatan senjata disetujui dengan memulihkan perdamaian diantara kedua belah pihak dalam jangka waktu 10 tahun. Pasal-pasal pokok perjanjian[3] itu adalah sebagai berikut :

1.     Nabi Muhammad dan kaum-Nya pada tahun ini harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji. Tahun depan mereka boleh datang untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak beleh lebih dari tiga hari.

2.     Kedua belah pihak tidak saling menyerang (mengadakan gencatan senjata) selama 10 (sepuluh) tahun.

3.     Siapa saja dari pihak Quraisy yang berkeinginan bergabung dengan pihak Muhammad (Islam) maka diperkenankan. Demikian juga sebaliknya pihak Islam yang bergabung dengan pihak Quraisy maka dianggap bagian dari mereka.

4.     Siapa saja yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan

Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah[4]. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:

  1. Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
  2. Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
  3. Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
  4. Kaum Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
  5. Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.

Syarat-syarat itu tentu sangat tidak menyenangkan umat Islam, tetapi karena menghormati sikap perdamaian Nabi, mereka tetap diam. Kemurahan dan keluhuran budi Nabi didalam menyetujui perjanjian ini menyebabkan sedikit rasa tidak puas diantara pengikutnya. Akan tetapi, Nabi meyakinkan mereka akan pendirian yang benar dan meramalkan hasil ahir yang baik dari perjanjian itu.

BERSAMBUNG KE PART 3

[1] Hudaibiyah merupakan sebuah tempat yang berada dilintasan jalan dari Jedah ke Makah yang berada diluar tanah haram. Tempat tersebut diperkirakan perjalanan satu hari dari Makah (saat itu). Ditempat inilah Nabi Muhammad berhenti dan menanti penyeleseian ketika terjadi penolakan oleh penduduk Arab atas pelaksanaan ibadah haji Nabi. (Lihat Ensilkopedi Islam, 137).

[2] Mahmudunnasir, Islam, Its Consepts and History, ter Adang Affandi, Cet 4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 140.

[3] Abd al-Aziz Salim, Tarikh al-Daulah al-Arabiyyah (Bairut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1986), 126.

[4] Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009.


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda