Sejarah Perjanjian Hudaibiyah 2
PART 2
Ketika hampir sampai di kota Makah
mereka melihat kaum Quraisy bersiap-siap untuk mencegah mereka dengan senjata.
Buda’il kepala suku Khuza’ah, meskipun bukan seorang muslim, bersikap baik
terhadap Islam. Dia membawa kabar ini kepada Nabi dan selanjutnya
mengirimkannya kembali untuk melaporkan kepada kaum Quraisy bahwa umat Islam
datang untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang. Kepada kaum
Quraisy juga diiusulkan agar menerima perdamaian dengan mereka selama masa
tertentu. Karena telah mengirim pesan kepada kaum Quraisy, umat Islam berhenti
di Hudaibiyah[1]
Kaum Quraisy, walaupun begitu
tetap menyiagakan pasukannya untuk menahan Rasulullah dan para sahabat agar
tidak masuk kota Makkah. Pada
waktu itu, bangsa Arab
bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Pada awalnya
beliau mengutus Umar Ibnul-Khattab, namun sekali lagi Nabi Muhammad mencoba
mengirim utusan. Pertama sekali maksud tersebut dibebankan kepada Umar bin
Khattab. Tetapi Umar menolak dengan mengatakan :” Rasulullah, saya kahawatir
Quraisy akan mengadakan tindakan kepada saya, mengingat di Mekkah tidak ada
pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup
mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka.
Saya ingin menyarankan orang yang lebih dalam hal ini dari pada saya, yakni
Usman bin ‘Affan.”.
Usman pun dipanggil oleh Nabi untuk
melaksanakan tugas sebagai utusan kepada pihak Quraisy. Pertama sekali ia
diperintahkan untuk bertemu dengan Abu
Sufyan. Dan ketika Usman sudah bertemu dengan mereka, ia diperintahkan untuk mengehentikan keinginan
untuk masuk Mekkah. Kalau ia sendiri mau thawaf silakan thawaf. Tetapi
Usman menampik bujukan tersebut. Dia baru mau thawaf kalau Nabi juga dan
beserta rombongan dapat pula thawaf bersama sama.
Perundingan antara Utsman bin ‘Affan
dan para pemimpin Quraisy memakan waktu agak lama, sehingga tersiar kabar di
kalangan kaum Muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Tiada pilihan lain bagi
mereka kecuali menuntut balas, sambil berdiri di sebatang pohon beliau
mengumpulkan semua sahabatnya untuk membulatkan tekad dan bersiap-siap
menghadapi kaum musyrikin Quraisy.
Mereka mengikrarkan sumpah setia
akan tetap membela Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga.
Peristiwa tersebut dalam sejarah Islam terkenal dengan nama “Bai’atur-Ridhwan”[2],
yaitu : Pernyataan janji setia yang diridhoi Allah, yang kemudian diabadikan
dalam Al-Qur’an. Peristiwa
bai’at, yang berlangsung di bawah pohon Samrah, seperti yang diriwayatkan oleh
Ibn Abi Hatim dari Salmah bin Akwa’, menjadi asbab nuzulnya firman Allah
: QS. Al-Fath:18.
۞
لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ
فَتْحًا قَرِيْبًاۙ
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Tekat umat Islam untuk mengorbankan
jiwa mereka dalam mempertahan kan agama mereka, membuat orang Quraisy menjadi
sadar. Pengalaman mereka yang telah lalu berfaedah sekali bagi mereka. Sekarang
mereka dapat menyadari apa arti tekat umat Islam itu. Karena itu mereka
menugaskan Suhel Ibn Amar untuk melanjutkan perundingan damai. Suatu genjatan
senjata disetujui dengan memulihkan perdamaian diantara kedua belah pihak dalam
jangka waktu 10 tahun. Pasal-pasal pokok perjanjian[3]
itu adalah sebagai berikut :
1.
Nabi Muhammad dan kaum-Nya pada
tahun ini harus kembali tanpa melaksanakan ibadah haji. Tahun depan mereka
boleh datang untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak beleh lebih dari tiga
hari.
2.
Kedua belah pihak tidak saling menyerang
(mengadakan gencatan senjata) selama 10 (sepuluh) tahun.
3.
Siapa saja dari pihak Quraisy yang
berkeinginan bergabung dengan pihak Muhammad (Islam) maka diperkenankan.
Demikian juga sebaliknya pihak Islam yang bergabung dengan pihak Quraisy maka dianggap
bagian dari mereka.
4.
Siapa saja yang datang kepada
Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang
kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan
Sekilas isi perjanjian tersebut sama
sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum
Quraisy Mekah[4]. Ini
bisa kita cermati satu persatu isinya:
- Gencatan
senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah
Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum
Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum
Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
- Jika
penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum
Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
- Jika
penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke
Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
- Kaum
Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa
tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka.
Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau
bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi
beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi
kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita
tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika
mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan
ejekan oleh mereka.
- Diperbolehkannya
untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini
tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan
menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Syarat-syarat itu tentu sangat tidak
menyenangkan umat Islam, tetapi karena menghormati sikap perdamaian Nabi,
mereka tetap diam. Kemurahan dan keluhuran budi Nabi didalam menyetujui
perjanjian ini menyebabkan sedikit rasa tidak puas diantara pengikutnya. Akan
tetapi, Nabi meyakinkan mereka akan pendirian yang benar dan meramalkan hasil
ahir yang baik dari perjanjian itu.
[1] Hudaibiyah merupakan sebuah
tempat yang berada dilintasan jalan dari Jedah ke Makah yang berada diluar
tanah haram. Tempat tersebut diperkirakan perjalanan satu hari dari Makah (saat
itu). Ditempat inilah Nabi Muhammad berhenti dan menanti penyeleseian ketika
terjadi penolakan oleh penduduk Arab atas pelaksanaan ibadah haji Nabi. (Lihat Ensilkopedi
Islam, 137).
[2] Mahmudunnasir, Islam, Its
Consepts and History, ter Adang Affandi, Cet 4 (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999), 140.
[3] Abd al-Aziz Salim, Tarikh al-Daulah
al-Arabiyyah (Bairut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1986), 126.
[4] Berutu, Ali G. 2019. “STRATEGI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW Dalam Perjanjian Hudaibiyah.” OSF Preprints. December 14. doi:10.13140/RG.2.2.24647.04009.
Label: POLITIK
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda