PROSES PELAKSANAAN EKSEKUSI CAMBUK DI ACEH
Hukuman
cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum.
Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam qanun ini
dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam qanun tentang hukum formil.[1]
Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan setelah adanya putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap (keputusan mahkamah syar’iyah).[2] Pada saat
pelaksanaan eksekusi Jaksa Penuntut Umum akan mengirim surat panggilan untuk
hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentutan. Kehadiran terpidana cambuk
untuk menjalani eksekusi bersifat suka-rela atas kesadarannya sendiri.
Mengenai teknis pelaksanann hukuman cambuk ini
dijelaskan dalam pasal 33 yakni, 1) Pelaksanaan hukuman cabuk dilakukan di
tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut umum
dan dokter yang ditunjuk; 2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang
berdiameter 0,75 sampai 1 (satu) sentimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak
mempunyai ujung ganda/belah; 3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali
kepala, muka, leher, dada dan kemaluan; 4) Kadar pukulan atau cambukan tidak
sampai melukai; 5)Tersangka laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa
penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat; 6) Sedangkan
tersangka perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya; 7) Pencambukan
terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang
bersangkutan melahirkan. Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
membahayakan terhukum, berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa
cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.[3]
Penundaan
pelaksanaan hukuman hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari kepala kejaksaan
apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan
dokter yang berwenang,[4]
karena sebelum eksekusi cambuk dilakukan, para tersangka harus melalui tes
medis oleh dokter yang telah ditunjuk.[5]
Jika kita lihat secara seksama prosedur pelaksanaan hukuman cambuk terhadap pelanggar qanun di Aceh, maka terlihat dengan jelas bahwa prosedur standarnya telah mempertimbangkan segi-segi keadilan hukum dan hak asasi manusia. Penyerahan kewenangan eksekusi kepada petugas wilayatul hisbah di bawah koordinasi kejaksaan menunjukkan penghormatan pada legalitas kewenangan eksekusi serta kecakapan dalam melaksanakan pencambukan. Pelaksanaan eksekusi di depan publik menunjukkan adanya motif filosofis untuk mempermalukan pelaku atas perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukannya, dan dengan kesediaannya menjalani eksekusi hukuman memungkinkannya memperoleh jalan terhormat baginya untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat tanpa kekhawatiran adanya stigma kriminal. Proses ini tetap disertai dengan kehadiran tenaga medis, yang menunjukkan perhatian pada aspek kesehatan serta keselamatan jiwa dan raga terpidana.[6]
[1] Berutu, Ali Geno. "Qanun Aceh No 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Dalam Pandangan Fikih dan KUHP." Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 87-106.
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda