PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI ACEH
Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan secara bertahap. Ini maksudnya,
sedapat mungkin perkara-perkara sebagaimana dimaksudkan di atas, diselesaikan
terlebih dahulu pada tingkat peradilan gampong, tidak langsung dibawa
keluar gampong untuk menyelesaikan kasus-kasus di atas. Bahkan dalam ayat yang
lain ditegaskan lagi, bahwa aparat penegak hukum (Wilayatul Hisbah
dan Polisi) memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan
terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain.
Menurut
Pasal 14, penyelesaian secara adat di gampong dilaksanakan oleh
tokoh-tokoh adat[1]
yang terdiri atas: geuchik atau nama lain, imeum meunasah atau
nama lain, tuha peut atau nama lain; sekretaris gampong atau nama
lain, dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama
lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan. Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan
di meunasah atau nama lain pada tingkat gampong atau
tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh geuchik. Pada prinsipnya, sidang
peradilan adat dilaksanakan di meunasah, tidak boleh di tempat lain. Hal
ini penting karena menyangkut dengan legalitas hasil musyawarah
penyelesaian sengketa tersebut. Namun dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam
hal perlu melibatkan tokoh perempuan, atau pihak berperkara perempuan yang saat
itu sedang datang bulan sehingga tidak boleh memasuki meunasah, maka
dapat disepakati dan diputuskan oleh keuchik agar persidangan dilakukan
di tempat lain.
Dalam
Pasal 15 qanun tersebut ditentukan bahwa tata cara dan syarat penyelesaian
perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat
setempat. Walaupun ketentuan ini sangat singkat dan tegas, namun maknanya
sangat dalam dan luas. Tetapi, ini merupakan salah satu khas lainnya dari hukum
adat, disamping bersifat communal, ia juga bersifat fleksibilitas.
Artinya, mengenai hukum materil dan hukum formil atau mekanisme
dan hukum acara dalam proses penyelesaian perkara tersebut mengacu pada hukum
adat setempat. Hal ini sesuai dengan pepatah adat “lain lubuk lain
ikannya, lain padang lain pula belalangnya”.
Prinsip
proses penyelesaian perkara menurut adat setempat, dimana dasar hukum
keputusannya mengacu pada putusan masa lalu (precedent) yang dimaksudkan
untuk menimbulkan kembali keseimbangan dalam masyarakat (equalibrium),
merupakan hal yang sama dengan kebiasaan berperkara dalam system hukum common
law sebagaimana dipraktek di Inggris, Amerika, dan negara-negara berbahasa
Inggris lainnya, yang disebut dengan Anglo Saxon. Dalam negara-negara Anglo
Saxon, hakim dengan berpedoman pada asas stare decesis[2]
harus mendasarkan diri dalam pengambilan keputusannya pada keputusan-keputusan
hukum terdahulu yang telah mengikat dan berkekuatan hukum tetap (jurisprudent),
apabila hakim akan menyimpang dari
putusan hakim sebelumnya terhadap kasus yang sama tersebut, maka hal itu dapat
dilakukan dengan menyebutkan alasan yang jelas dan logis. Hal ini sangat
penting mereka lakukan agar tidak terjadinya kesenjangan yang mencolok (disparity)
dalam pemberian keputusan.
Perlu
ditegaskan sedikit sistem hukum di atas, untuk menegaskan bahwa para hakim
dalam proses persidangan adat gampong bukanlah sebagai trompet
perundang-undangan. Karenanya, putusan peradilan adat gampong bukan
merupakan vonis, yang berisi kalah atau menang. Tetapi merupakan perdamaian
sebagaimana telah pernah dipraktekkan pada masa lalu (asas stare decesis),
yang disertai dengan jenis-jenis sanksi lain. Yang penting adalah
perdamaiannya, sedangkan jenis sanksi lainnya merupakan sarana perwujudan
menuju kedamaian, ketentraman, dan keadilan di dalam masyarakat gampong.
Sedangkan
dalam Buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh yang disusun oleh Majelis Adat Aceh
(MAA) Provinsi Aceh menjelaskan bahwa, hukum adat memang tidak membedakan kasus
pidana dan perdata, tapi untuk
memudahkan penjelasan prosedur penanganannya antar kasus tersebut perlu ada
pertimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur yang perlu di terapkan jika
kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasus/perkara pidana yang
paling umum jatuh di bawah payung adat adalah pencurian dan kekerasan. Untuk
kasus-kasus tersebut, prosedur yang berlaku tercatat di bawah ini. Namun, ada
pertimbangan-pertimbangan khusus, terutama jika perempuan dan/atau anak
terlibat.[3] Secara
umum prosedur penyelesaian sengketa melalui peradilan–perdamaian adat dilakukan
dengan prosedur dan tahapan-tahapan sebagai berikut:
A.
Untuk sengketa perdata, maka para pihak yang
merasa dirugikan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau
kedua belah pihak kepada kepala dusun (Kadus) atau kepala lorong
atau peutuwa jurong tempat dimana peristiwa hukum tersebut terjadi (asas
teritorialitas). Namun tidak tertutup kemungkinan laporan tersebut dapat
juga langsung ditujukan kepada keuchik. Adakalanya kepala dusun
atau peutuwa jurong itu sendiri yang menyelesaikannya, jika kasusnya
tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan rumit serta
melibatkan kepentingan umum, maka kepala dusun segera melapor kepada keuchik;
2. Segera
setelah keuchik menerima laporan dari kadus atau dari pihak
korban, maka keuchik membuat rapat internal dengan sekretaris keuchik,
kepala dusun, dan imeum meunasah guna menentukan jadwal sidang,
pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarang tempat seperti pasar dan
warung kopi, tetapi harus di rumah atau di meunasah;
3. Sebelum
persidangan digelar, keuchik dan perangkatnya (sekretaris keuchik
atau sekretaris gampong, imeum meunasah dan para kadus
atau peutuwa jurong) melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak.
Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya
dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Pada
saat pendekatan tersebut, para pelaksana peradilan adat akan menggunakan
berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera
diselesaikan;
4. Pendekatan
tidak hanya dilakukan oleh keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga
dilakukan oleh orang bijak lainnya. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya
kaum perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri keuchik
atau tokoh perempuan bijak lainnya;
5. Jika
kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak,
maka sekretaris keuchik akan mengundang secara resmi kedua belah pihak
untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan;
6. Pada
saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau
saudaranya yang lain sebagai juru bicara;
7. Persidangan
bersifat resmi dan terbuka yang biasanya digelar di meunasah atau tempat
lain yang dianggap netral;
8. Forum
persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana
peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya formil
secara adat;
9. Penetapan
tempat duduk adalah sebagai berikut: keuchik, selaku ketua sidang, duduk
dalam satu deretan dengan tuha peuet, imeum meunasah,
cendikiawan, ulama dan tokoh adat gampong lainnya. Di sebelah kiri keuchik,
agak sedikit ke belakang, duduk sekretaris keuchik (sebagai panitera).
Di deretan depan atau di hadapan keuchik merupakan tempat untuk para
pihak atau yang mewakilinya. Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap
kiri dan kanan forum persidangan. Di belakang para pihak, duduk sejumlah
peserta atau pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat gampong dan
keluarga serta sanak saudara dari para pihak;
10. Persidangan
berlangsung dengan penuh khitmad dan keuchik mempersilahkan para pihak
atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat
oleh panitera (sekretaris gampong);
11. Keuchik
mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya jika
dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah
terlebih dahulu;
12. Keuchik
memberikan kesempatan kepada tuha peuet atau tuha lapan
menanggapi sekaligus menyampaikan alternatif penyelesaiannya;
13. Keuchik
mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi
dan menyampaikan jalan keluar terhadap kasus tersebut;
14. Keuchik
beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang akan
diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan
dijatuhkan, maka keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah
mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah
menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering
disebut surat perjanjian perdamaian;
15. Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan
perdamaian, maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan mukim.
Ketidaksetujuan para pihak terhadap putusan peradilan adat gampong juga
harus dinyatakan dalam surat penetapan putusan dan berdasarkan surat penetapan
tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan mukim;
16. Keuchik
membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk menandatangani
akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguhsungguh;
17. Putusan
tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip
baik di kantor keuchik maupun di kantor mukim;
18. Setelah
putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya
putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:
a.
Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan
dikenakan sanksi, yang berat ringannya sangat tergantung pada jenis pelanggaran
atau pidana adat yang mereka lakukan;
b.
Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui
upacara perdamaian dengan membebankan sesuatu pada para pihak atau pada satu
pihak tergantung keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).
Bila
semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah
pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian
di meunasah di hadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah
diputuskan dan telah diterima, maka pelaksanaan eksekusi dilakukan di meunasah
di depan umum, atau di tempat lain di rumah atau mesjid (atas persetujuan
bersama).
B.
Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana
hampir sama dengan prosedur yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada beberapa
tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana peradilan adat guna
menghindari terjadinya sengketa yang lebih berat.[4] Dengan
demikian, prosedur penyelesaian kasus yang bersifat pidana biasanya diawali
dengan langkah-langkah berikut:
1.
Memberi pengamanan secepatnya melalui perlindungan
kepada kedua belah pihak dengan jalan sebagai berikut :
a. Mengamankan pihak pelaku di suatu tempat yang dirahasiakan. Lembaga adat
gampong tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga
pemasyarakatan. Biasanya diamankan sementara di rumah keluarga atau rumah keuchik,
atau untuk sementara meninggalkan gampong, pergi ke tempat lain yang
aman dan terlindung;
b. Jika korban perempuan dan anak, maka pemangku adat juga harus memberikan
perlindungan pada mereka dengan menempatkan korban di rumah salah satu pemangku
adat sampai jangka waktu tertentu hingga perkara tersebut telah ada putusan
dengan upaya damai atau korban dipastikan aman untuk pulang ke rumah;
c. Jika laporan perkara diterima berupa kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak, maka pemangku adat meminta istri pemangku adat atau tokoh perempuan
untuk melakukan penanganan awal perkara;
d. Mengkondusifkan suasana damai, terutama pihak keluarga yang dirugikan;
e. Perangkat gampong berinisiatif dan proaktif menghubungi berbagai
pihak;
f. Siapapun yang melihat/mengetahui/menyaksikan peristiwa pidana tersebut,
tertangkap tangan, dapat segera melaporkan/mengadu kepada keuchik untuk
segera mengambil langkah-langkah pengamanan dan penyelesaian. Selanjutnya,
pengaduan dapat terjadi atas pelaporan langsung para pihak atau oleh salah satu
pihak kepada keuchik (tidak terikat prosedural waktu dan tempat),
tergantung bagaimana kondisi berat atau ringannya pelanggaran. Situasi
pelaporan yang demikian dimaksudkan agar dapat diambil tindakan preventif
(supaya tidak cepat meluas/berkembang korban). Misalnya, perkelahian,
pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain-lain.
2.
Keuchik bersama perangkat
gampong, langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada para
pihak, dengan berbagai cara pendekatan, diluar persidangan musyawarah formal. Keuchik
harus sudah dapat menemukan prinsip-prinsip keputusan berasaskan “damai” keuchik
atau “ureung tuha gampong” lainnya, seperti tuha peuet atau tokoh
lain bersama keuchik, terus mengusut, menyelidiki dan menyidik sesuai
dengan kemampuan dan keyakinan yang dimilikinya terhadap sebab-sebab terjadi
sengketa pada para pihak dan mencari bukti-bukti kebenaran pada pihak saksi
lainnya yang mungkin mengetahui atau melihat proses sengketa tersebut;
3.
Selama proses penyelesaian tersebut seperti yang tertera pada poin di
atas, orang-orang tua dari keluarga para pihak harus terus berupaya membuat
suasana damai dan sejuk terhadap para pihak melalui penyadaran atas segala
perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka bersengketa;
4.
Membuka sidang penyelesaian di meunasah. Apabila suasana sejuk
dan kondusif telah mampu dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap,
barulah para pihak, wakil keluarga beserta pihak “ureung-ureung tuha”
dibawa ke sidang musyawarah di meunasah (bila warga se -gampong)
atau ke mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar gampong yang
berlainan);
a. Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak atau
kasus yang terkait dengan persoalan rumah tangga, maka persidangan perkara
tersebut harus ditutup untuk masyarakat luas;
b. Jika kasus tersebut merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat harus memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada proses persidangan.
5.
Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan data/bukti yang telah
diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian,
sebagai landasan hukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam proses
perdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masing-masing pihak secara formal
dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan terhadap
proses-proses dan hasil perdamaian.
6.
Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang
dan bijak oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh
para pihak untuk mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat.
7.
Eksekusi (atau pelaksanaan) keputusan oleh keuchik dilakukan
dalam suatu upacara yang ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama.
Dalam upacara perdamaian tersebut disiapkan surat perjanjian yang harus
ditandatangani oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi
lagi perbuatan yang menimbulkan sengketa. Jika kasus tersebut merupakan
kekerasan terhadap perempuan dan anak, keputusan harus disertai dengan sebuah
perjanjian tertulis yang didalamnya memuat pelaku tidak boleh melakukan
kekerasan secara berulang, dan pelaku harus mengikrarkan kalimat tersebut di
hadapan majelis adat.
8.
Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi, karena
setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga
pemangku adat dapat mengambil langkah-langkah lain termasuk mengupayakan
rujukan.
[1] lihat Ali Geno Berutu, Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas Sejarah, Istinbath: Jurnal Hukum 13 (2), 163-187.
Label: SYARI'AT ISLAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda