Minggu, 08 Januari 2023

PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI ACEH

Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan secara bertahap. Ini maksudnya, sedapat mungkin perkara-perkara sebagaimana dimaksudkan di atas, diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat peradilan gampong, tidak langsung dibawa keluar gampong untuk menyelesaikan kasus-kasus di atas. Bahkan dalam ayat yang lain ditegaskan lagi, bahwa aparat  penegak hukum (Wilayatul Hisbah dan Polisi) memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain.

Menurut Pasal 14, penyelesaian secara adat di gampong dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat[1] yang terdiri atas: geuchik atau nama lain, imeum meunasah atau nama lain, tuha peut atau nama lain; sekretaris gampong atau nama lain, dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.  Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di meunasah atau nama lain pada tingkat gampong  atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh geuchik. Pada prinsipnya, sidang peradilan adat dilaksanakan di meunasah, tidak boleh di tempat lain. Hal ini penting karena menyangkut dengan legalitas hasil musyawarah penyelesaian sengketa tersebut. Namun dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam hal perlu melibatkan tokoh perempuan, atau pihak berperkara perempuan yang saat itu sedang datang bulan sehingga tidak boleh memasuki meunasah, maka dapat disepakati dan diputuskan oleh keuchik agar persidangan dilakukan di tempat lain.

Dalam Pasal 15 qanun tersebut ditentukan bahwa tata cara dan syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan  ketentuan adat setempat. Walaupun ketentuan ini sangat singkat dan tegas, namun maknanya sangat dalam dan luas. Tetapi, ini merupakan salah satu khas lainnya dari hukum adat, disamping bersifat communal, ia juga bersifat fleksibilitas. Artinya, mengenai hukum materil dan hukum formil atau mekanisme dan hukum acara dalam proses penyelesaian perkara tersebut mengacu pada hukum adat setempat. Hal ini sesuai dengan pepatah adat  “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya”.

Prinsip proses penyelesaian perkara menurut adat setempat, dimana dasar hukum  keputusannya mengacu pada putusan masa lalu (precedent) yang dimaksudkan untuk menimbulkan kembali keseimbangan dalam masyarakat (equalibrium), merupakan hal yang sama dengan kebiasaan berperkara dalam system hukum common law sebagaimana dipraktek di Inggris, Amerika, dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya, yang disebut dengan Anglo Saxon. Dalam negara-negara Anglo Saxon, hakim dengan berpedoman pada asas stare decesis[2] harus mendasarkan diri dalam pengambilan keputusannya pada keputusan-keputusan hukum terdahulu yang telah mengikat dan berkekuatan hukum tetap (jurisprudent), apabila hakim  akan menyimpang dari putusan hakim sebelumnya terhadap kasus yang sama tersebut, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyebutkan alasan yang jelas dan logis. Hal ini sangat penting mereka lakukan agar tidak terjadinya kesenjangan yang mencolok (disparity) dalam pemberian keputusan.

Perlu ditegaskan sedikit sistem hukum di atas, untuk menegaskan bahwa para hakim dalam proses persidangan adat gampong bukanlah sebagai trompet  perundang-undangan. Karenanya, putusan peradilan adat gampong bukan merupakan vonis, yang berisi kalah atau menang. Tetapi merupakan perdamaian sebagaimana telah pernah dipraktekkan pada masa lalu (asas stare decesis), yang disertai dengan jenis-jenis sanksi lain. Yang penting adalah perdamaiannya, sedangkan jenis sanksi lainnya merupakan sarana perwujudan menuju kedamaian, ketentraman, dan keadilan di dalam masyarakat gampong.

Sedangkan dalam Buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh yang disusun oleh Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh menjelaskan bahwa, hukum adat memang tidak membedakan kasus pidana dan perdata, tapi  untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya antar kasus tersebut perlu ada pertimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur yang perlu di terapkan jika kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasus/perkara pidana yang paling umum jatuh di bawah payung adat adalah pencurian dan kekerasan. Untuk kasus-kasus tersebut, prosedur yang berlaku tercatat di bawah ini. Namun, ada pertimbangan-pertimbangan khusus, terutama jika perempuan dan/atau anak terlibat.[3] Secara umum prosedur penyelesaian sengketa melalui peradilan–perdamaian adat dilakukan dengan prosedur dan tahapan-tahapan sebagai berikut:

A.    Untuk sengketa perdata, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

1.     Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau kedua belah pihak kepada kepala dusun (Kadus) atau kepala lorong atau peutuwa jurong tempat dimana peristiwa hukum tersebut terjadi (asas teritorialitas). Namun tidak tertutup kemungkinan laporan tersebut dapat juga langsung ditujukan kepada keuchik. Adakalanya kepala dusun atau peutuwa jurong itu sendiri yang menyelesaikannya, jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan rumit serta melibatkan kepentingan umum, maka kepala dusun segera melapor kepada keuchik;

2.     Segera setelah keuchik menerima laporan dari kadus atau dari pihak korban, maka keuchik membuat rapat internal dengan sekretaris keuchik, kepala dusun, dan imeum meunasah guna menentukan jadwal sidang, pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarang tempat seperti pasar dan warung kopi, tetapi harus di rumah atau di meunasah;

3.     Sebelum persidangan digelar, keuchik dan perangkatnya (sekretaris keuchik atau sekretaris gampong, imeum meunasah dan para kadus atau peutuwa jurong) melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Pada saat pendekatan tersebut, para pelaksana peradilan adat akan menggunakan berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera diselesaikan;

4.     Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga dilakukan oleh orang bijak lainnya. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya kaum perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya;

5.     Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak, maka sekretaris keuchik akan mengundang secara resmi kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan;

6.     Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara;

7.     Persidangan bersifat resmi dan terbuka yang biasanya digelar di meunasah atau tempat lain yang dianggap netral;

8.     Forum persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya formil secara adat;

9.     Penetapan tempat duduk adalah sebagai berikut: keuchik, selaku ketua sidang, duduk dalam satu deretan dengan tuha peuet, imeum meunasah, cendikiawan, ulama dan tokoh adat gampong lainnya. Di sebelah kiri keuchik, agak sedikit ke belakang, duduk sekretaris keuchik (sebagai panitera). Di deretan depan atau di hadapan keuchik merupakan tempat untuk para pihak atau yang mewakilinya. Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap kiri dan kanan forum persidangan. Di belakang para pihak, duduk sejumlah peserta atau pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat gampong dan keluarga serta sanak saudara dari para pihak;

10.  Persidangan berlangsung dengan penuh khitmad dan keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh panitera (sekretaris gampong);

11.  Keuchik mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya jika dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah terlebih dahulu;

12.  Keuchik memberikan kesempatan kepada tuha peuet atau tuha lapan menanggapi sekaligus menyampaikan alternatif penyelesaiannya;

13.  Keuchik mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyampaikan jalan keluar terhadap kasus tersebut;

14.  Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan dijatuhkan, maka keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering disebut surat perjanjian perdamaian;

15.  Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap putusan peradilan adat gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan mukim;

16.  Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguhsungguh;

17.  Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip baik di kantor keuchik maupun di kantor mukim;

18.  Setelah putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:

a.     Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan dikenakan sanksi, yang berat ringannya sangat tergantung pada jenis pelanggaran atau pidana adat yang mereka lakukan;

b.     Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan membebankan sesuatu pada para pihak atau pada satu pihak tergantung keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).

Bila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di meunasah di hadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, maka pelaksanaan eksekusi dilakukan di meunasah di depan umum, atau di tempat lain di rumah atau mesjid (atas persetujuan bersama).

B.    Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan prosedur yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih berat.[4] Dengan demikian, prosedur penyelesaian kasus yang bersifat pidana biasanya diawali dengan langkah-langkah berikut:

1.     Memberi pengamanan secepatnya melalui perlindungan kepada kedua belah pihak dengan jalan sebagai berikut :

a.  Mengamankan pihak pelaku di suatu tempat yang dirahasiakan. Lembaga adat gampong tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Biasanya diamankan sementara di rumah keluarga atau rumah keuchik, atau untuk sementara meninggalkan gampong, pergi ke tempat lain yang aman dan terlindung;

b. Jika korban perempuan dan anak, maka pemangku adat juga harus memberikan perlindungan pada mereka dengan menempatkan korban di rumah salah satu pemangku adat sampai jangka waktu tertentu hingga perkara tersebut telah ada putusan dengan upaya damai atau korban dipastikan aman untuk pulang ke rumah;

c. Jika laporan perkara diterima berupa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat meminta istri pemangku adat atau tokoh perempuan untuk melakukan penanganan awal perkara;

d. Mengkondusifkan suasana damai, terutama pihak keluarga yang dirugikan;

e. Perangkat gampong berinisiatif dan proaktif menghubungi berbagai pihak;

f. Siapapun yang melihat/mengetahui/menyaksikan peristiwa pidana tersebut, tertangkap tangan, dapat segera melaporkan/mengadu kepada keuchik untuk segera mengambil langkah-langkah pengamanan dan penyelesaian. Selanjutnya, pengaduan dapat terjadi atas pelaporan langsung para pihak atau oleh salah satu pihak kepada keuchik (tidak terikat prosedural waktu dan tempat), tergantung bagaimana kondisi berat atau ringannya pelanggaran. Situasi pelaporan yang demikian dimaksudkan agar dapat diambil tindakan preventif (supaya tidak cepat meluas/berkembang korban). Misalnya, perkelahian, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain-lain.

2.     Keuchik bersama perangkat gampong, langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada para pihak, dengan berbagai cara pendekatan, diluar persidangan musyawarah formal. Keuchik harus sudah dapat menemukan prinsip-prinsip keputusan berasaskan “damai” keuchik atau “ureung tuha gampong” lainnya, seperti tuha peuet atau tokoh lain bersama keuchik, terus mengusut, menyelidiki dan menyidik sesuai dengan kemampuan dan keyakinan yang dimilikinya terhadap sebab-sebab terjadi sengketa pada para pihak dan mencari bukti-bukti kebenaran pada pihak saksi lainnya yang mungkin mengetahui atau melihat proses sengketa tersebut;

3.     Selama proses penyelesaian tersebut seperti yang tertera pada poin di atas, orang-orang tua dari keluarga para pihak harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap para pihak melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka bersengketa;

4.     Membuka sidang penyelesaian di meunasah. Apabila suasana sejuk dan kondusif telah mampu dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap, barulah para pihak, wakil keluarga beserta pihak “ureung-ureung tuha” dibawa ke sidang musyawarah di meunasah (bila warga se -gampong) atau ke mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar gampong yang berlainan);

a.  Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak atau kasus yang terkait dengan persoalan rumah tangga, maka persidangan perkara tersebut harus ditutup untuk masyarakat luas;

b.  Jika kasus tersebut merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat harus memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada proses persidangan.

5.     Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan data/bukti yang telah diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai landasan hukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam proses perdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masing-masing pihak secara formal dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan terhadap proses-proses dan hasil perdamaian.

6.     Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang dan bijak oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh para pihak untuk mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat.

7.     Eksekusi (atau pelaksanaan) keputusan oleh keuchik dilakukan dalam suatu upacara yang ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacara perdamaian tersebut disiapkan surat perjanjian yang harus ditandatangani oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang menimbulkan sengketa. Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, keputusan harus disertai dengan sebuah perjanjian tertulis yang didalamnya memuat pelaku tidak boleh melakukan kekerasan secara berulang, dan pelaku harus mengikrarkan kalimat tersebut di hadapan majelis adat.

8.     Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi, karena setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga pemangku adat dapat mengambil langkah-langkah lain termasuk mengupayakan rujukan.



[1] lihat Ali Geno Berutu, Penerapan syariat Islam Aceh dalam lintas Sejarah, Istinbath: Jurnal Hukum 13 (2), 163-187.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda