Berlakunya hukum secara yuridis, sosiologis dan filosofis
Penegakan
hukum yang baik menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaidah-kaidah
serta dengan perilaku nyata dari manusia, guna untuk mewujudkan hal tersebut,
Soerjono Soekanto[1]
telah merumuskannya kedalam tiga macam dalam hal berlakunya hukum, yakni
secara yuridis, sosiologis dan filosofis sebagai berikut:
1. Berlakunya
hukum secara yuridis, mengenai hal ini beberpa tokoh memberikan
pernyataannya seperti Hans Kasen yang menyatakan bahwa, hukum mempunyai
kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kepada kaidah yang
lebih tinggi tingkatnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang dimaksud
dengan efektivitas hukum yang dibedakan dengan hal berlakunya hukum oleh
karena efektivitas merupakan fakta. W. Zavenbereng berpendapat bahwa
suatu kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut
terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, dan Logemann yang berpendapat
bahwa kaidah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara
suatu kondisi dan akibatnya;
2. Belakunya
hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum.
Mengenai hal ini ada dua teori yang menyatakannya sebagai berikut: Pertama,
adalah teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum berlaku secara
sosiologis. Apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dalam hal
tersebut terlepas dari masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Kedua,
teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian. Bahwa berlakunya hukum di
dasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada sistem hukum
tersebut;
3. Berlakunya
hukum secara filosofis yakni hukum tersebut merupakan sutu kesesuaian
dengan apa yang ducita-citakan hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi,
misalnya Pancasila.
Supaya
hukum dapat berfungsi dengan baik, maka hukum harus memenuhi ketiga macam unsur
di atas, apabila hukum hanya memiliki kekuatan yuridis, maka ada
kemungkinan bahwa hukum tersebut hanya merupakan kaidah yang mati “dode
regel”. Kalau kaidah hukum hanya
mempunyai kelakuan sosiologis dalam artian teori kekuasaan, maka hukum
tersebut hanya menjadi aturan pemaksa dan apabila hukum hanya mempunyai
kekuatan filosofis, maka hukum tersebut hanya sebagai kaidah hukum yang
diharapkan atau dicita-citakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila kaidah hukum
tersebut diartikan sebagai patokan untuk dapat bergaul dengan damai, maka ketiga
hal tersebut di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.[2]
Efektivitas hukum merupakan
proses yang bertujuan supaya hukum dapat berlaku efektif. Menserasikan
antara apa yang ada di dalam kaidah-kaidah sejumlah peraturan-peraturan
terhadap penciptaan, pemeliharaan dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan
hidup.[3]
Keadaan tersebut dapat di tinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas.
Menurut Soerjono Soekanto masalah pokok dalam penegakan hukum adalah terletak
pada hukumnya sendiri (peraturan perundang-undangan yang berlaku), penegak
hukumnya yakni pihak-pihak yang mengawal penerapan hukum, sarana atau fasilitas
yang mendukung penerapan hukum, masyarakat di mana hukum tersebut diberlakukan
dan budaya hukum dalam masyarakatnya.[4]
Kelima faktor tesebut saling memiliki kaitan yang erat dikarenakan esensi
dari penegakan hukum. Kelima faktor tersebut merupakan tolak ukur daripada efektifitas
penerapan hukum.
[1] Soerjono Soekanto, Beberapa
Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, Cet. Ketiga
(Jakarta: UI Press, 1983), 34.
[2] Soerjono Soekanto, Beberapa
Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, Cet. Ketiga
(Jakarta: UI Press, 1983), 35-36.
[3] Sabian Utsman, Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 373.
[4] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), 8. Lihat juga, Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), 62.
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda