Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan Terhadap Hukum
Penegakan
hukum tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban, hal ini mungkin disebabkan
oleh karena hukum di identikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi
seperti ini sangat keliru, karena hukum itu harus di lihat dalam satu sistem
yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Sistem
hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations)
namun mencakup bidang yang luas yang meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure)
yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal structure). Menurut Lawrence Friedman,
unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[1]
Struktur
hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
lembaga-lembaga terkait seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, komisi
judisial dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma,
peraturan maupun undang-undang. Budaya hukum adalah meliputi pandangan,
kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan
pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain budaya hukum
itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu
diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.[2]
Jika
kita mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara
umum menurut Achma Ali, C.G. Howard dan R.S. Mumner[3]
adalah sebagai berikut:
a. Relevansi
aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi
target aturan hukum secara umum. Jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk
undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami
kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut;
b. Kejelasan
rumusan dari subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target yang
diberlakukannya aturan hukum, jadi perumusan subtansi hukum harus dirancang
dengan baik, jika aturannya tertulis maka harus ditulis dengan jelas dan mampu
dipahami secara pasti, meskipun nantinya tetap membutuhkan interprestasi
dari penegak hukum yang akan menegakkannya;
c. Sosialisasi
yang optimal kepada seluruh target aturan hukum. Kita tidak boleh meyakini fiksi
hukum yang menentukan bahwa semua produk yang ada dalam wilayah suatu negara
dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya. Tidak
mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum mampu mengetahui keberadaan
suatu hukum dan subtansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan
secara optimal;
d. Jika
hukum yang dimaksud adalah aturan perundang-undangan, maka seyogiayanya aturan
tersebut bersifat melarang dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang
bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksankan ketimbang hukum
yang bersifat mengharusnkan (mandatur);
e. Sanksi
yang di ancamkan oleh aturan hukum tersebut harus dipadankan dengan sifat
aturan hukum yang di langgar. Suatu sanksi yang dapat dikatakan tepat untuk
suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain;
f. Berat
ringannya sanksi yang di ancamkan dalam aturan hukum harus proporsional
dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya sanksi yang terlalu ringan
untuk suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat warga masyarakat tidak akan
segan untuk melakukan kejahatan tersebut;
g. Kemungkinan
bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum tersebut, karena tindakan yang di atur dan di ancamkan sanksi memang
tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan
untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman).
Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan
yang bersifat gaib atau mistik adalah mustahil untuk efektif,
karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi
perbuatan yang sering dikenal “sihir” atau “ tenung” adalah
mustahil untuk efektif dan dibuktikan;
h. Aturan
hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif
ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang di anut oleh
orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum
yang sangat efektif adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam
sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,
seperti norma moral, agama, norma adat-istiadat/kebiasaan dan lainnya. Aturan
hukum yang tidak di atur dan dilarang oleh norma lain, akan lebih tidak
efektif;
i. Efektif
atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada
standar hidup sosio – ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Sebelumnya
keterlibatan umum sedikit atau banyak harus telah terjaga, karena tidak mungkin
efektivitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam
keadaan kaos atau situasi perang dahsyat.
[1] Lawrence Friedman, American
Law (London: W.W. Norton &
Company, 1984), 6.
[2] Tanpa budaya hukum sistem
hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di
keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal
culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living
fish swimming in its sea). Lihat Donald Black, Behavior of Law (New
York: Academic Press, 1976), 2.
[3] Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 376-378. Lihat juga Heru Muljanto, Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan
Pelayanan (SPOPP ) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ. Sebelas
Maret Surakarat, 2008), 22.
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda