Senin, 09 Januari 2023

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan Terhadap Hukum

 

Penegakan hukum tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban, hal ini mungkin disebabkan oleh karena hukum di identikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini sangat keliru, karena hukum itu harus di lihat dalam satu sistem yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations) namun mencakup bidang yang luas yang meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[1]

Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, komisi judisial dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.[2]

Jika kita mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum menurut Achma Ali, C.G. Howard dan R.S. Mumner[3] adalah sebagai berikut:

a.     Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum. Jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut;

b.     Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target yang diberlakukannya aturan hukum, jadi perumusan subtansi hukum harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis maka harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti, meskipun nantinya tetap membutuhkan interprestasi dari penegak hukum yang akan menegakkannya;

c.     Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum. Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua produk yang ada dalam wilayah suatu negara dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum mampu mengetahui keberadaan suatu hukum dan subtansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan secara optimal;

d.     Jika hukum yang dimaksud adalah aturan perundang-undangan, maka seyogiayanya aturan tersebut bersifat melarang dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksankan ketimbang hukum yang bersifat mengharusnkan (mandatur);

e.     Sanksi yang di ancamkan oleh aturan hukum tersebut harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang di langgar. Suatu sanksi yang dapat dikatakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain;

f.      Berat ringannya sanksi yang di ancamkan dalam aturan hukum harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya sanksi yang terlalu ringan untuk suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat warga masyarakat tidak akan segan untuk melakukan kejahatan tersebut;

g.     Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, karena tindakan yang di atur dan di ancamkan sanksi memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman). Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik adalah mustahil untuk efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi perbuatan yang sering dikenal “sihir” atau “ tenung” adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan;

h.     Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang di anut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma moral, agama, norma adat-istiadat/kebiasaan dan lainnya. Aturan hukum yang tidak di atur dan dilarang oleh norma lain, akan lebih tidak efektif;

i.      Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio – ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Sebelumnya keterlibatan umum sedikit atau banyak harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektivitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam keadaan kaos atau situasi perang dahsyat.      



[1] Lawrence Friedman, American Law  (London: W.W. Norton & Company, 1984), 6.

[2] Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea). Lihat Donald Black, Behavior of Law (New York: Academic Press, 1976), 2.

[3] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 376-378. Lihat juga Heru Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP ) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ. Sebelas Maret Surakarat, 2008), 22.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda