PIDANA BEGAL DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata begal diartikan sebagai pencurian, yaitu pencurian jalanan. Begal dapat didefinisikan sebagai tindakan mengambil paksa properti orang lain dari jalan secara acak. Merujuk pada konsep hukum pidana Islam di atas, tindakan pencurian ini bisa jadi mirip dengan pencurian (hirabah) dalam hukum Islam.
Hirabah dalam bahasa ini berasal dari kata hara-yuharribu-hirābah yang artinya perang. Sedangkan pengertian hirābah secara kata-kata adalah perbuatan mencuri, merampas atau mengambil hak orang lain tanpa wewenang yang semestinya baik secara pribadi maupun kelompok. Fuqāha mendefinisikan hirābah sebagai qath'u al-tharīq (pencurian) atau al-sarīqah al-qubrā (pencurian besar) karena praktik hirābah tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa harta benda, tetapi juga disertai dengan penganiayaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan, maka fuqaha menyebutnya sebagai pencurian besar. Selain itu, hirābah dapat diartikan mengangkat senjata dan membuat gaduh atau mengganggu jalan-jalan di luar kota.
Dengan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan pencuri dengan maling adalah berkaitan dengan perbuatan melakukan kejahatan. Sedangkan kita mengenal pencurian sebagai tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa ijin dari tempat yang dirahasiakan, sedangkan penjahat/pencuri mengambil barang milik orang lain dan ketidakadilan serta kekerasan.
Adapun dasar penghukuman
terhadap pelaku tindak pidana begal (hirābah) adal QS. Al-Māidah ayat 33
اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ
يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ
يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ
مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى
الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Hukuman bagi orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau
diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di
dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ
يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ
مُّهْتَدُوْنَ ࣖ
Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.
Dalam hukum pidana Islam, penjatuhan hukuman bagi pelaku kejahatan harus memenuhi syarat-syarat yang dapat membuktikan bahwa pelaku telah melakukan hirābah. Merujuk pada konsep hukum pidana Islam yang telah dijelaskan oleh penulis di atas, Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa perbuatan jarimah harus memenuhi tiga rukun, yaitu rukun syar'i sebagai asas hukum. Ayat 33 dari Al-Māidah berarti bahwa hal pertama telah selesai. Yang kedua adalah terpenuhinya rukum māḍi, yaitu adanya perbuatan yang membawa kepada pelaku kejahatan (yang melakukan kejahatan) dan yang ketiga adalah terpenuhinya rukun dewi, sebenarnya dalam hal penipuan, perbuatan tersebut adalah kebalikan dari itu. perilaku masyarakat pada umumnya yang tidak dapat dibedakan dengan ajaran agama apapun, yang berarti bahwa perbuatan mencuri bertentangan dengan budaya - Sikap yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dan pada orang dewasa nyata (kekuatan hukum).
Adapun keadaan begal/hirābah dapat mengadili haḍ adalah sebagai berikut:
1. Begal/hirābah adalah yang paling depan
Artinya, orang-orang yang bisa membuat pengaturan taklif terhadap syaralah yang melakukan hal-hal yang dicuri tersebut. Kriteria kamullaf adalah (1) dewasa dan (2) wajar, artinya dewasa melakukan tindak pidana pencurian tanpa paksaan. Adapun perbuatan mencuri (hirābah) yang dilakukan oleh anak-anak dan orang gila, tidak disamakan dengan haḍ hirābah.
2. Begal/hirābah di dalam membawa senjata
Artinya, jika pelaku tidak menggunakan senjata untuk melakukan kejahatan tersebut, maka pelaku tidak dapat masuk dalam kategori hirābah. Dan dalam uqūbat jarimah hirābah, senjata yang dipegang pelaku merupakan salah satu syarat yang sempurna yang dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan uqūbat jarimah hirābah kepada orang yang melakukannya.
3. Tempat begal/hirābah berada di keramaian
Artinya, tindakan mencuri/hirābah dilakukan di tengah keramaian, setidaknya demikian pendapat Imam Abu Hanīfah. Meskipun Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi'ī dan Imam Malik bin Anas serta sebagian amalan Hanafiyyah dan begal begal tidak memandang tempat ramai atau sepi, menurut pendapat ini, yang menulis hirābah bisa saja ada di dalamnya. tempat sepi atau ramai, nasehat ini tidak bisa dikesampingkan dan tidak ada penjelasan khusus dimana dalam QS. Al-Maidah: 33 kali.
4. Perbuatan mencuri/hirābah merupakan hal yang lumrah di negara-negara muslim
Imam Abu Hanifah mengemukakan pendapat ini, yang berarti bahwa jika tindak pidana pencurian/hirābah dilakukan di luar negara Islam (dār al-harb), maka tidak dapat berada di bawah 'uqūbat hirābah. Sementara itu, juri ulama mengatakan bahwa orang yang menulis jarimah hirābah dapat dikenakan hukuman hirābah tanpa melihat di mana hirābah itu terjadi baik di negara Islam maupun di luar negara Islam, seperti Imam Malik, Imam Ahmad Menurut Imam Syafi'ī dan Zahiriyah. . 5. Perbuatan hirābah/pencurian dilakukan di depan umum
Tindak pidana pencurian/hirābah dilakukan secara terang-terangan (unmasked) untuk tujuan kejahatan terbuka ini agar masyarakat yang takut takut dan tidak melakukan perlawanan terhadap kejahatan pencurian/hirābah tersebut. Selain syarat di atas, pengejaran jarimah hirābah harus disertai dengan bukti-bukti yang dipersyaratkan, yaitu:
1. Harus ada saksi yang menyaksikan tindak pidana begal/hirābah
Sebagai aturan umum, pembuktian dalam hukum pidana Islam harus disertai dengan bukti yang kuat tanpa keraguan. Bukti dalam jariīmah hirābah bisa berasal dari korban atau pelaku. Bukti yang benar bahwa Islam memiliki dua anak laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan atau empat perempuan (QS. Al-Bāqarah: 282) dimana semua saksi tersebut memenuhi bukti yang dibutuhkan seperti (1) Islam (2) dewasa (3) baik (4) cerdas (5) memiliki ingatan yang baik (6) melihat (7) dapat berbicara (8 ) ) tidak ada kendala dalam bersaksi (keluarga).
2. Dengan rasa syukur
Adanya penerimaan penulis jarimah hirābah dapat dijadikan bukti kuat untuk menurunkan 'uqūbat hirābah. Para ulama zumhur berbeda pendapat tentang berapa kali pelaku hirābah harus menyatakan perbuatannya, ada yang mengatakan cukup menerimanya dengan mengatakannya satu kali saja tetapi ada juga yang mengatakan setuju minimal dua kali lipat dari pendapat Hanabilah dan Imam Abu Yusuf. .
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda