BEGAL DALAM PRESPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
Hidup aman dan tenteram memang menjadi dambaan setiap orang di dunia. Karena dengan nyaman dan tenteram, manusia dapat menikmati kebahagiaan orang lain dengan mensyukuri sepenuhnya kebaikan Sang Pencipta. Kehidupan yang aman dan damai merupakan tanggung jawab setiap orang untuk melakukannya, baik dalam keluarga, lingkungan maupun masyarakat.
Dalam Islam, jenis "rasa aman" ini dapat diasosiasikan dengan "kata-kata iman". Iman yang berarti “beriman” adalah percaya bahwa ada tuhan (rabb) yang selalu menjaga perbuatan manusia di dunia. Keimanan juga akan menambah rasa takut, sehingga hamba takut melakukan kesalahan yang diharamkan oleh Tuhannya (Rabb) karena takut akan pembalasan baik di dunia maupun di masa yang akan datang. Akhirnya, iman akan menimbulkan rasa aman yang bersumber dari beriman kepada Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (amar ma'ruf nahī munkar).
Salah satu bentuk perilaku yang mengganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat adalah pengambilan harta milik orang lain di depan umum dan mengancam bahkan terkadang disertai dengan perilaku yang dapat merugikan korban hingga membunuhnya. (begal). Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan aksi pencurian tersebut. Sebut saja kasus pencurian yang dialami seorang warga yang sedang menghidangkan makanan di sebuah rumah makan di Ciledug, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lalu ada kasus perampokan di Malang, Jawa Timur, dimana perampok membunuh salah satu perampok. Menurut laporan, para pelaku perampokan ini berusaha melindungi harta benda dan harga diri mereka melalui aksi perampokan. Setelah kejadian itu, pelaku perampokan yang merupakan warga Malang yang masih bersekolah itu dinyatakan bersalah dan divonis satu tahun latihan.
JPU dalam persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen Kabupaten Malang mengajukan tuntutan dengan mengacu pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Padahal, putusan hakim distrik Kepanjen tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa tindakan pencuri dan korban itu wajar dan tindakannya membela diri dan tidak disengaja. Dalam hukum pidana Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan pedoman bagi setiap orang untuk menilai apakah akan mengaku bersalah atau tidak. Selain pengenalan pemidanaan, KUHP juga mengenal masalah penghapusan pidana dengan alasan pembenaran (rechtsvaardigingsgrond-justifying fact) dan keberatan pengampunan (schulduitsluitingsgrond-faits d'exuce).
Pembuktian sebab adalah menghilangkan tidak sahnya suatu tindak pidana, sehingga perbuatan orang itu dinilai adil dan wajar. Sedangkan alasan grasi adalah alasan penghapusan terdakwa, meskipun masih terlibat dalam kejahatan dan hukum, tetapi tidak didukung karena kesalahan. Tentang dasar-dasar kesaksian dan grasi, hal itu tertuang dalam pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP.
Dalam eliminasi fidan, ada tiga prinsip yang terlibat:
1. Asas pembantuan, yaitu adanya pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.
2. Asas persamaan, yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan hukum atau kewajiban hukum, dan
3. Asas “culpa in causa” adalah pelanggaran hukum dimana orang sejak semula menimbulkan resiko melakukan kejahatan. Sebenarnya, kasus pencuri yang tewas di tangan korban bukanlah hal baru di Indonesia. Pada Mei 2018, tepatnya pada malam ke-25, seorang pencuri membunuh seorang pencuri di kawasan jembatan Summarecon Bekasi, Jawa Barat. Meski korban perampokan yang membela diri dinyatakan bersalah dan dijerat dengan pasal 351 KUHP yang diancam dengan kurungan selama tujuh tahun, namun pada akhirnya dibebaskan karena dianggap sebagai orang yang menyebabkannya. dipertahankan dalam situasi penindasan. (benar), bahkan pencuri yang membunuh pencuri yang merupakan Kapolres Kota Bekasi itu diberi gelar citizen of honor atas keberaniannya dalam memberantas tindak pidana pencurian di kota Bekasi.
Padahal, yurisdiksi kasus pembunuhan perampokan Bekasi bisa dijadikan dasar untuk membebaskan mahasiswa pelaku pembunuhan maling di Malang. Karena kedua kasus ini sama dan membuat mereka melindungi diri dari sengatan tersebut. Oleh karena itu, jika si pembuat membidik pasal 351 KUHP dan dakwaan penganiayaan, mana kata-kata caci maki berlaku bagi si pembuat yang ingin melindungi dirinya, hartanya dan martabatnya? hukum. . Maka menarik untuk dikaji bagaimana hukum Islam memandang pencurian dan pembunuhan pencuri. Seperti yang kita ketahui, Indonesia lebih dari 80% penduduknya menganut Islam sebagai keyakinannya. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam sebenarnya tidak hanya mengatur hubungan antara makhluk dengan pencipta (hablun minnallah), tetapi juga mengatur tata hubungan antara mereka (mu'āmalah/ hablum minannas) agar tidak luput dari tujuan akhir Islam yang hadir. diwajibkan bagi manusia (maqasidu al-shari'ah).
Dari latar belakang tersebut, maka penulis artikel ini akan menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pencurian dan apa hukumnya jika terjadi kasus dimana orang tersebut membunuh pencuri tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang melakukan penelitian kitab-kitab fikih lintas mazhab dan kitab-kitab hadits sebagai sumber dalam esai ini. Sumber sekunder laporan ini berupa buku, surat kabar, artikel dan media online di daerah masing-masing.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda