Minggu, 08 Januari 2023

TERMINOLOGI HUKUM ADAT DARI BERBAGAI ASPEK

 

Pada asasnya, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht dipergunakan Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat Zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige wetten, volksinstelingen engebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen engebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichtingvan Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan terminologi godsdientige wetten en oude herkomsten dan berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi adatrecht.

Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, “hukum Indonesia asli”, dan lain sebagainya. Selain itu, terminologi hukum adat beserta masyarakat adatnya mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam masyarakat Aceh4 dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat jerat matee adat phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa “murip i kanung edet, mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi.

Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations”. Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.


BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda