SEBAB KEBERADAAN PARTAI LOKAL DI ACEH
Isu mengenai
partai politik lokal muncul paska dicapainya kesepakatan
dalam nota kesepahaman antara perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam. Salah satu butir nota kesepahaman itu
menyepakati bahwa,
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan
perundingan yang panjang dan alot dikenal dengan Memorandum Of Understanding (MoU) di Helsinki.
Titik tolak perdamaian Aceh yang
ditempuh oleh pemerintah adalah dengan penunjukan Henri Dunant Centre (HDC)[1] sebagai pihak ketiga guna untuk mencari jalan
penyelesaian Aceh secara tepat, damai dan demokratis.[2] Pada tanggal 12
Mei 2000 dicetuskan “Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan di Aceh”[3]
yang epektif dilaksanakan sejak Juni–September 2000 dan kemudian diperpanjang
hingga Januari 2001. Selanjutnya proses perdamaian Aceh terus berlanjut dengan
dilakukannya perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) tanggal 9 Desember 2002, yang masih ditengahi oleh pihak HDC di Jenewa.[4]
Perdamaian ini dirancang untuk menghentikan kekerasan dan membentuk kerangka
perdamaian yang kekal yang mengedepankan 4 agenda yang utama (1) Agenda
bidang militer, (2) Bantuan Kemanusiaan, (3) Rekonstruksi dan
(4) Reformasi Sipil.[5]
Dalam
perundingan dilangsungkan di Helsinki, sebagaimana telah di jelaskan di atas,
status keistimewaan Provinsi Aceh di pertegas kembali dengan di perbolehkanya
memiliki berbagai keistimewaan bila dibandingkan dengan sebelumnya. Adapun
keistimewaan tersebut adalah: Adanya lambang kedaerahan, himne,
simbol-simbol daerahnya, penentuan perbatasan, sistem peradilan syariah, penentuan suku bunga bank, investasi langsung, pembagian dan pengelolaan aset
sumber daya alam
dengan sebesar 70% untuk Provinsi Aceh dan 30% untuk Pemerintah Pusat, serta di ijinkanya Provinsi Aceh memiliki partai politik berbasis lokal.[6] Kebijakan
ini dijalankan dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak di
tandatanganinya perjanjian Helsinki tersebut, Pemerintah Republik Indonesia akan memfasilitasi berdirinya partai
politik lokal di Aceh melalui adanya peraturan
perundang-undangan yang mendukung hal tersebut.
[1] Rizal Sukma, “Security
Operations in Aceh: Goals,
Consequences, and Lessons”..., viii.
[2] Republik
ndonesia, Peraturan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Rencana Induk
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Propinsi NAD
dan Kepulauan Nias Sumatra Utara, X 2-2.
[3] Anthony L.
Smith, “Aceh: Democratic
Times ..., 85.
[4] Anthony L.
Smith, “Aceh: Democratic
Times ..., 87.
[5] Ali Geno Berutu, Pemberlakuan Qanun Aceh di Kota Subulussalam: Kajian Atas
Qanun No. 12, 13 dan 14 Tahun 2003 (SPs UIN
Jakarta: Tesis 2016), h. 30-32.
[6]Berutu, Ali Geno. "ACEH LOCAL PARTIES IN THE HISTORY OF REPUBLIC OF INDONESIA." JIL: Journal of Indonesian Law 2, no. 2 (2021): 202-225.
Label: POLITIK
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda