FAKTOR MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.[1]
Warga negara (masyarakat) memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, disisi
lain warga masyarakat juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses
perbuatan hukum tersebut masyarakat dilibatkan secara aktif. Sehingga adanya
hukum dengan segala peraturan organik dan seperangkat sanksinya diketahui,
dimaknai dan disetujui masyarakat dan hukum di jadikan sebagai kesedapan hidup.
Harold
J. Laksi menyatakan bahwa warga negara berkewajiban menegakkan hukum, jika
hukum itu memuaskan rasa keadilan.[2]
Ada tiga bentuk masyarakat diantaranya:
a.
Masyarakat
teratur yakni masyarakat yang di atur dengan tujuan tertentu;
b.
Masyarakat
teratur yang terjadi dengan sendirinya karena persamaan kepentingan;
c.
Masyarakat
tidak teratur, yang terjadi dengan sendirinya tanpa dibentuk.[3]
Sementara itu Chambliss dan Seidman
membuat perbedaan mengenai masyarakat menjadi dua model:[4] Pertama, model masyarakat yang berdasarkan
pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat
yang demikian akan sedikit mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan di
dalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang
menjadi landasan kehidupannya.[5] Tidak terdapat perbedaan diantara anggota masyarakat
mengenai apa yang seharusnya diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan
di dalam masyarakat. Dalam hubungan ini maka berdirinya masyarakat bertumpu
pada kesepakatan di antara para warganya.
Kedua,
model masyarakat konflik, model ini berlawanan dengan model masyarakat yang
pertama, dimana berdirinya masyarakat bertumpu kepada kesepakatan warganya,
sedangkan pada model masyarakat yang kedua ini masyarakat di lihat sebagai
suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh warga
yang lainnya. Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat konflik berbeda dengan
nilai-nilai dalam masyarakat yang bertumpu kepada kesepakatan, sehingga keadaan
ini akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.
Ada dua fungsi yang dapat di jalankan oleh hukum di dalam masyarakat. Pertama, sebagai sarana kontrol sosial[6] dan kedua, sebagai sarana untuk melakukan social engineering. Proses engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman dibayangkan (efektivitas menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru) dari masyarakat. Proses perkembangan kecepatan menanam unsur-unsur yang baru. Perubahan-perubahan yang di kehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.
Berdasarkan
fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai sarana kontrol
sosial, maka setiap peraturan diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan
dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang
dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian pada
hukum tersebut.
Adanya
peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak
hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa
didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota masyarakat,
hukum akan mengalami banyak hambatan dalam penerapannya. Karena perilaku
individu bermacam-macam serta mempunyai kepentingan yang berbeda. Dalam suatu
masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang
menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol
sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku warga masyarakat yang pluralistik,
penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam
keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah
laku warga masyarakat agar tetap konform dengan norma yang selalu
dijalankan berdasarkan kekuatan sanksi.[9]
Ewick
dan Sylbey merumuskan bahwa kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara dimana
orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu
pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan
orang-orang. Bagi Ewick dan Sylbey kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan, karenanya merupakan persoalan praktik untuk
dikaji secara empiris, dengan kata lain, kesadaran hukum adalah
persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan norma atau
asas.[10] Achmad Ali
menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah
tiga unsur yang saling berhubungan, sering orang mencampur adukkan antara
kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu meskipun sangat erat
hubungannya namun tetap tidak persis sama, kedua unsur itu memang sangat
menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan
perundang-undangan di dalam masyarakat.[11]
[1] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum..., 45.
[2] Sabian Utsman, Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 186.
[3] J.B. Daliyo dkk. Pengantar
Ilmu Hukum. Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia, 1989), 13.
[4] Satjipto Rahardjo, Hukum
dan Masyarakat (Bandung: Angkasa,
1980), 48-52. Lihat juga Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian
Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 106-112.
[5] W.G. Sumner mengungkapkan
pandangan klasik tentang model masyarakat konsensus tentang hubungan antara
hukum dan masyarakat. Dalam pandangan Sumner masyarakat mengatur dirinya
sendiri melalui folkways dan moral yang mereka miliki dan hukum
dikembangkan secara bertahap melalui folkways dan mores yang
sikapnya umum. Lihat Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 108.
[6] Hukum adalah kontrol
sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai
aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna
atau mencegah perilaku yang buruk. Lihat Lawrence Friedman, American Law (London: W.W. Norton & Company, 1984), 3.
[7] Hukum sebagai alat
mengontrol sosial (law as a tool of social enginering) dengan
pengontrolan tersebut tentu untuk menciptakan ketertiban hukum. Lihat, Utrecht,
E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962),
43.
[8] Satjipto Rahardjo, Hukum
dan Masyarakat (Bandung: Angkasa,
1980), 119-120.
[9] Heru Muljanto, Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan
Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ. Sebelas
Maret Surakarat, 2008), 24-25.
[10] Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 298.
[11] Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 299.
Label: HUKUM
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda