Senin, 09 Januari 2023

FAKTOR MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM


Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.[1] Warga negara (masyarakat) memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, disisi lain warga masyarakat juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses perbuatan hukum tersebut masyarakat dilibatkan secara aktif. Sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan seperangkat sanksinya diketahui, dimaknai dan disetujui masyarakat dan hukum di jadikan sebagai kesedapan hidup.

Harold J. Laksi menyatakan bahwa warga negara berkewajiban menegakkan hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan.[2] Ada tiga bentuk masyarakat diantaranya:

a.           Masyarakat teratur yakni masyarakat yang di atur dengan tujuan tertentu;

b.           Masyarakat teratur yang terjadi dengan sendirinya karena persamaan kepentingan;

c.           Masyarakat tidak teratur, yang terjadi dengan sendirinya tanpa dibentuk.[3]

Sementara itu Chambliss dan Seidman membuat perbedaan mengenai masyarakat menjadi dua model:[4] Pertama, model masyarakat yang berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat yang demikian akan sedikit mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan di dalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupannya.[5] Tidak terdapat perbedaan diantara anggota masyarakat mengenai apa yang seharusnya diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan di dalam masyarakat. Dalam hubungan ini maka berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan di antara para warganya.

Kedua, model masyarakat konflik, model ini berlawanan dengan model masyarakat yang pertama, dimana berdirinya masyarakat bertumpu kepada kesepakatan warganya, sedangkan pada model masyarakat yang kedua ini masyarakat di lihat sebagai suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh warga yang lainnya. Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat konflik berbeda dengan nilai-nilai dalam masyarakat yang bertumpu kepada kesepakatan, sehingga keadaan ini akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.

Ada dua fungsi yang dapat di jalankan oleh hukum di dalam masyarakat. Pertama, sebagai sarana kontrol sosial[6] dan kedua, sebagai sarana untuk melakukan social engineering. Proses engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman dibayangkan (efektivitas menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru) dari masyarakat. Proses perkembangan kecepatan menanam unsur-unsur yang baru. Perubahan-perubahan yang di kehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.

Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian pada hukum tersebut.

Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota masyarakat, hukum akan mengalami banyak hambatan dalam penerapannya. Karena perilaku individu bermacam-macam serta mempunyai kepentingan yang berbeda. Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku warga masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar tetap konform dengan norma yang selalu dijalankan berdasarkan kekuatan sanksi.[9]

Ewick dan Sylbey merumuskan bahwa kesadaran hukum mengacu kepada cara-cara dimana orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang. Bagi Ewick dan Sylbey kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan,  karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris, dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan norma atau asas.[10] Achmad Ali menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan, sering orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu meskipun sangat erat hubungannya namun tetap tidak persis sama, kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat.[11]



[1] Soerjono  Soekanto, Faktor-faktor  yang  Mempengaruhi  Penegakan  Hukum..., 45.

[2] Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 186.

[3] J.B. Daliyo dkk. Pengantar Ilmu Hukum. Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia, 1989), 13.

[4] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung:  Angkasa, 1980), 48-52. Lihat juga Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 106-112.

[5] W.G. Sumner mengungkapkan pandangan klasik tentang model masyarakat konsensus tentang hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam pandangan Sumner masyarakat mengatur dirinya sendiri melalui folkways dan moral yang mereka miliki dan hukum dikembangkan secara bertahap melalui folkways dan mores yang sikapnya umum. Lihat Achmad Ali dan Wiwi Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), 108.

[6] Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Lihat Lawrence Friedman, American Law  (London: W.W. Norton & Company, 1984), 3.

[7] Hukum sebagai alat mengontrol sosial (law as a tool of social enginering) dengan pengontrolan tersebut tentu untuk menciptakan ketertiban hukum. Lihat, Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), 43.

[8] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung:  Angkasa, 1980), 119-120.

[9] Heru Muljanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta (Tesis Univ. Sebelas Maret Surakarat, 2008), 24-25.

[10] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 298.

[11] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan..., 299.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda