PENCURIAN (Jarīmah al-Sarīqah)
A. Pengertian Sarīqah
Sarīqah adalah bentuk masḍar
dari kata “saraka-yusriku-sarakan” dan secara etimologis
sarīqah berarti mengambil harta milik
seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu
daya.
Menurut
Wahbah Al-Zuhaili sarīqah ialah mengambil harta milik orang lain dari tempat
penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam kategori mencuri adalah mencuri informasi dan
pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.[1]
Sedangkan
Menurut Abdul Qādir Aūdah Ada dua macam sarīqah menurut Islam, yaitu sarīqah yang diancam dengan haḍ dan sariqah
yang diancam dengan ta’zīr. Sarīqah yang diancam dengan haḍ dibedakan
menjadi dua macam yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil
yaitu mengambil harta milik orang lain secara diam-diam, sementara itu, pencurian
besar ialah mengambil harta milik orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis
ini juga disebut perampokan.
Perbedaan antara pencurian
kecil dan pencurian besar menurut Abdul Qādir Aūdah adalah pencurian kecil ialah pengambilan harta
kekayaan yang tidak disadari oleh korban dan dilakukan tanpa izin. Pencurian
kecil ini harus memenuhi dua unsur tersebut secara bersamaan. Kalau salah satu
dari kedua unsur tersebut tidak ada, tidak dapat disebut pencurian kecil. Jika
ada seseorang yang mencuri harta benda dari sebuah rumah dengan disaksikan si
pemilik dan pencuri tidak menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan, maka kasus
seperti ini tidak termasuk pencurian kecil, tetapi penjarahan.
Demikian juga seseorang yang merebut harta orang lain, tidak termasuk dalam jenis pencurian kecil, tetapi pemalakan atau perampasan; semuanya termasuk ke dalam lingkup pencurian. Meski demikian, jarīmah tidak dikenakan hukum haḍ tetapi hukuman ta’zīr. Seseorang yang mengambil harta dari sebuah rumah dengan direlakan pemiliknya dan tanpa disaksikan olehnya, tidak dapat dianggap pencuri.
B. Unsur-unsur Jarīmah Sarīqah
Sesuai dengan definisinya unsur pencurian adalah
mengambil harta orang lain secara diam-diam, yang diambil berupa harta, harta
yang diambil merupakan milik orang lain dan ada itikad tidak baik.
1. Mengambil harta secara diam-diam
Pengambilan
harta itu dapat dianggap sempurna jika:
a. Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya;
b. Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari
pemiliknya;
c. Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke
tangan si pencuri.
2.
Barang yang dicuri
berupa harta
Disyaratkan
yang dicuri itu berupa harta:
a. Yang bergerak, karena pencurian mempunyai makna perpindahan
harta yang dicuri dari pemilik kepada pencuri;
b. Berharga, maksudnya adalah bahwa barang tersebut
berharga bagi pemiliknya, bukan dalam pandangan pencurinya;
c. Memiliki tempat penyimpanan yang layak;
d. Sampai nisab (ukuran).
Mengenai
kadar nilai nisab barang yang dicuri yang mengakibatkan hukuman potong
tangan adalah, menurut Iman Syafi’ī dipotong tangan apabila mencuri seharga seperempat
dinar yang sama dengan tiga dirham, menurut Syaukani pendapat ini dipegang oleh
jumhur Ulama Salaf dan Khalaf,
dan diantara mereka adalah empat Madzhab, namun yang dijadikan dasar adalah
hitungan perak yakni tiga dirham bukan seperempat dinar, jika nilai dinar dan
dirham berbeda.
Selanjutnya
dasar pegangan dari pendapat para ulama terkait pnominal penentuan nisab
pencurian di atas adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori yang artinya:
“bahwa hukuman hadd adalah bila mencuri seperempat dinar dan barang yang bernilai setara dengan seperempat dinar” (HR. Bukhori).
3. Harta yang
dicuri itu milik orang lain
Disyaratkan
dalam pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan milik orang
lain. Yang dimaksud dengan milik orang lain adalah bahwa harta itu ketika
terjadinya pencurian adalah milik orang lain dan yang dimaksud dengan waktu
pencurian memindahkan harta dari tempat penyimpanannya. Atas dasar ini, maka
tidak ada hukuman haḍ dalam pencurian terhadap harta yang status
pemilikannya bersifat syubhat.
Barang-barang yang pada asalnya tidak ada pemiliknya boleh diambil, akan tetapi jika sudah ada dalam penguasaan seseorang atau Ulul Amri maka dianggap telah ada pemiliknya. Sedangkan harta yang sengaja ditinggalkan atau dibuang pemiliknya adalah sama dengan harta yang tidak ada pemiliknya.
1. Ada itikad tidak baik
Adanya itikad tidak baik seorang pencuri terbukti bila ia mengetahui bahwa hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatannya itu ia bermaksud memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.[3]
C. Syarat-syarat
Jarīmah Sarīqah
Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus
diperlihatkan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya.
Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-Haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham Fi
Majlis Al-Qādā, mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya
hukuman ini, yaitu:
1. Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya
sedang tidur, anak kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut;
2. Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat
terdesak oleh kebutuhan hidup. Contohnya adalah kasus seorang hamba sahaya
milik Hatib Bin Abi Balta’ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta milik
seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar Bin Al-Khaththab. Namun, Umar
justru membebaskan pelaku karena ia terpaksa melakukannya.
3. Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban
dan pelaku, seperti anak mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.
4. Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal
kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri
dan pemilik.
5. Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan dijalan Allah. Pada saat seperti itu, Rasulullah tidak memberlakukan hukuman potong tangan, meskipun demikian jarīmah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain seperti dicambuk atau dipenjara (ta’zīr).[4]
D. Sanksi Jarīmah Sarīqah
Dalam tidak pidana pencurian, para ulama
mempermasalahkan ganti rugi dan sanksi. Menurut Imam Abu Hanīfah, ganti rugi
dan sanksi itu tidak dapat digabungkan, artinya bila pencuri sudah dikenai
sanksi hukuman haḍ, maka baginya tidak ada keharusan untuk membayar
ganti rugi, alasanya, al-Qur’ān hanya menyebutkan masalah sanksi saja.
Akan tetapi Mazhab Hanafī pada umumnya berpendapat
bahwa pemilik harta itu boleh meminta dikembalikannya harta itu setelah
pencurinya dikenai sanksi hukuman bila harta itu masih ada, baik masih berada
di tangan pencuri maupun telah berpindah ke tangan orang lain, maka orang tersebut
dapat meminta ganti rugi kepada pencuri.
Menurut Imam Syafi’ī dan Imam Ahmad, sanksi dan ganti rugi itu dapat digabungkan.
Alasannya, pencuri melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah berupa keharaman
mencuri dan hak hamba berupa pengambilan atas harta orang lain. Oleh karena
itu, pencuri harus mempertanggungjawabkan akibat dua hak ini. jadi pencuri
harus mengembalikan harta yang dicurinya bila masih ada dan harus membayar
ganti rugi bila hartanya sudah tidak ada. Selain itu, ia harus menanggung
sanksi atas perbuatannya. Inila yang disebut dengan prinsip ḍaman di
kalangan ulama.
Dengan demikian, sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta yang dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya. Hanya mereka berbeda pendapat bila harta yang dicuri itu telah tidak ada ditangan pencuri. Apakah pencuri itu hanya dikenai haḍ saja, ataupun disertai dengan kewajiban membayar ganti rugi. Adapun dasar hukum potong tangan terdapat firman Allah dalam QS. Al Māidah ayat 38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Adapun
orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”.
Hukuman
potong tangan ini tidak dapat dimaafkan, jika perkaranya sudah diserahkan dan
ditangani oleh ulil amri. Berkenaan dengan anggota badan yang dipotong
dan batas pemotongannya, para ulama berbeda pendapat.
1. Imam Mālik dan Imam Syafi’ī
berpendapat pada pencurian pertama yang dipotong adalah tangan kanan, pada
pencurian kedua yang dipotong adalah kaki kiri, pada pencurian yang ketiga yang
dipotong adalah tangan kiri, pada pencurian ke empat yang dipotong adalah
tangan kanan. Jika pencuri masih mencuri yang kelima kalinya maka dipenjara
sampai dia bertaubat.
2. Atha’ berpendapat bahwa pencurian yang pertama
dipotong tangannya, dan mencuri yang kedua kalinya dihukum ta’zīr.
3. Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa pada pencurian
pertama dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong tangan kirinya,
pada pencurian ketiga dikenai hukuman ta’zīr.
4. Imam Abu Hanīfah berpendapat bahwa pada pencurian
pertama pencuri dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong kaki
kirinya, pencurian ketiga dipenjara sampai bertaubat.
Salah satu hal yang disepakati oleh para ulama adalah
bahwa kewajiban potong tangan itu dihapus, jika tangan yang akan dipotong
itu telah hilang sesudah pencurian terjadi.
Batas pemotongan menurut Imam Abu Hanīfah, Imam Mālik, Imam Syafi’ī, Imam Ahmad dan Zahiri adalah dari pergelangan tangan ke bawah, begitupula bila yang dipotong kakinya. Alasannya adalah batas minimal anggota yang disebut tangan dan kaki adalah telapak tangan atau kaki dengan jari-jarinya. Selain itu Rasulullah melakukan pemotngan tangan pada pergelangan tangan pencuri.[5]
E. Pembuktian dan Pelaksanaan Hukuman Jarimah Sarīqah
Adapun
cara pembuktian jarīmah pencurian adalah sebagai berikut:
1. Dengan saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana
pencurian minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai
hukuman.
2. Dengan dengan pengakuan
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak
pidana pencurian. Menurut Imam Mālik, Imam Abu Hanīfah, Imam Syafi’ī, dan Zhahiriyah
pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi
menurut pendapat Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syiah Zaidiyah bahwa pengakuan harus dinyatakan
sebanyak dua kali.
3. Dengan sumpah
Dikalangan Syafi’īyah berkembang suatu pendapat bahwa
pencurian bisa juga dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam
suatu peristiwa pencurian tidak ada saksi atau tersangka tersebut tidak mau
bersumpah mengakui perbuatannya, maka sumpah bisa dikembalikan kepada si
penuntut (pemilik barang). Dan jika si penuntut mau disumpah maka si pencuri yang
tidak mau disumpah tadi akan dikenai hukuman haḍ. Namun alat bukti yang satu ini tidak begitu kuat
untuk dijadikan alat bukti. Sebab sumpah yang dikembalikan untuk tindak pidana
pencurian merupakan tindakan yang riskan dan kurangtepat, karena hukuman sarīqah ini sangat berat sehingga diperlukan ketelitian dan
kecermatan dalam pembuktiannya.
[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 46-53.
Label: FIQIH
0 Komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda