Sabtu, 31 Desember 2022

PERAMPOK (Jarīmah al-Hirābah)

Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 54-60

A.    Pengertian Hirābah

Hirābah diambil dari kata harb, artinya menyerang dan menyambar harta.[1] Dalam ensiklopedi hukum Islam hirābah diartikan sebagai aksi sekelompok orang dalam negara Islam untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan, yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusiaaan, dan agama.[2]

Selain itu jarīmah hirabah dapat didefinisikan sebagai jarīmah qat’u at-tārīq (penyamun), sarīqah al-kubra (pencurian besar).[3] Didefinisikan sebagai qat’u at-tāriq karena mempunyai pengertian mencegah orang lewat dari jalan umum yang dilalui, mencegah keamanan baik disertai dengan menyakiti badan atau harta saja   ataupun hanya sekedar menakut-nakuti atau mengambil harta. Sementara itu pendefinisian sebagai jarimah sarīqah al-kubra karena perbuatan mengambil harta orang lain secara paksa dengan menggunakan kekuatan atau kekerasan. 

Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi’ah Zaidiyah mendefinisikan hirābah adalah keluarnya seseorang untuk mengambil harta dengan cara kekerasan jika keluarnya menimbulkan ketakutan pengguna jalan, mengambil harta, atau membunuh seseorang. Sebagian ulama mendefinisikan hirabah adalah upaya menakuti-nakuti orang di jalan untuk mengambil hartanya.

Menurut H. A. Djazuli, hirābah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.[4] Para fukaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan jarīmah perampokan diantaranya:

1. Pendapat Syafi’īyah: menjelaskan bahwa hirābah adalah mengambil harta/membunuh/menakut-nakuti yang dilakukan dengan sengaja di tempat yang jauh dari pertolongan;

2. Pendapat Malikīyah: hirābah mengambil harta dengan cara penipuan baik menggunakan kekuatan maupun tidak;

3. Pendapat Hanafīyah: perbuatan mengambil harta secara terang-terangan dari orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.

Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa hirābah adalah suatu tindakan kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan satu orang atau berkelompok tanpa mempertimmbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.

B.    Unsur-unsur Jarīmah Hirābah

Unsur jarīmah hirābah adalah keluar untuk mengambil harta, dilakukan di jalan umum atau di luar pemukiman korban, dilakukan secara terang-terangan, serta adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.

Perbedaan yang asasi antara pencurian dan perampokan terletak pada cara pengambilan harta yakni pencurian dilaksanakan secara diam-diam sedangkan dalam perampokan dilakukan secara terang-terangan atau disertai dengan kekerasan.

Teknis operasional perampokan itu ada beberapa kemungkinan, yaitu:

1.     Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh.

2.     Seseorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kemudian mengambil harta tetapi tidak membunuh.

3.     Seseorang berangkat dengan merampok, kemudian membunuh tetapi tidak mengambil harta korban.

4.     Seseorang berangkat untuk merampok kemudian ia mengambil harta dan membunuh pemiliknya.

Keempat kemungkinan diatas semuanya termasuk perampokan selama yang bersangkutan berniat untuk mengambil harta dengan terang-terangan.

C.    Syarat Jarīmah Hirābah

Adapun syarat harta yang diambil dalam perampokan adalah sama dengan syarat harta yang diambil dalam pencurian. Imam Abu Hanīfah mensyaratkan tempat perampokan itu harus di negari Isam, hal ini berkaitan dengan teorinya yang menyatakan bahwa penerapan hukum Islam itu hanya mungkin terjadi di negara muslim. Perampokan itu harus di luar kota dan jauh dari keramaian, karena di tempat yang ramai biasanya tidak terjadi perampokan.

Imam Mālik dan Imam Syafi’ī tidak membedakan antara perampokan di tempat yang ramai dengan perampokan di tempat yang sunyi, hanya Imam Syafi’ī mensyaratkan bahwa perampokan itu terjadi di tempat yang sulit bagi korban untuk minta tolong.

D.    Sanksi Jarīmah Hirābah

1.     Menurut Imam Abu Hanīfah, Imam Syafi’ī, dan Imam Ahmad, sanksi perampokan berdasarkan perbuatannya. Bila ia hanya mengintimidasi, tanpa mengambil harta dengan kekerasan, namun tidak membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kakinya secara silang. Bila hanya membunuh tanpa mengambil harta maka sanksinya adalah hukum mati. Menurut Imam Malik sanksi perampokan diserahkan kepada imam untuk memilih salah satu hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku perampokan.

2.     Sanksi kedua bagi perampok adalah dipotong tangan dan kakinya antara bersilang, yaitu tangan kanan dan kaki kiri. Sanksi tersebut diancamkan pada perampok yang mengambil harta dengan paksa namun tidak membunuh.

3.     Sanksi ketiga dihukum mati, yaitu bila seorang perampok membunuh tapi tidak mengambil harta.

4.     Sanksi keempat yaitu di hukum mati lalu disalib, sanksi ini diancamkan terhadap perampom yang membunuh dan mengambil harta.

Adapun dasar hukum dari Jarimah hirābah yaitu adalah QS.  Al-Māidah ayat 33

اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar”.

Sebab turunnya Surat Al-Māidah ayat 33 diatas dikalangan fukaha terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut. Sebagian fukaha berpendapat bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kaum ahlul kitab yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah SAW dan mereka melanggarnya serta membuat kerusakan di muka bumi.[5]

Sebagian lain berpendapat bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kaum “ukl” dan kaum “‘urainah” yang murtad pada masa Rasulullah dan melakukan pembunuhan pada penggembala unta serta menggiring untanya untuk dimiliki, kemudian Rasulullah memerintahkan agar menangkap merekadan setelah itu mereka dibunuh dan dipotong tangan dan kakinya secara menyilang.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang muslim yang melakukan hirābah bukan ditujukan kepada orang-orang yang murtad. Hal ini berdasar pada surat al-Māidah ayat 34 dimana ketentuan taubat hanya ditujukan kepada pelaku hirābah yang muslim sedangkan jika ayat tersebut diturunkan kepada orang kafir maka taubatnya adalah masuk agama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Qs. Al-Anfaal: 38

قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَۚ وَاِنْ يَّعُوْدُوْا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْاَوَّلِيْنَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi) sungguh, berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan).”

Apabila pelaku hirābah bertaubat sebelum tertangkap maka taubatnya dapat menghapus hukuman. Meskipun demikian, taubat tersebut tidak dapat menggugurkan hak-hak individu yang dilanggar dalam tindak pidana perampokan tersebut, seperti pengambilan harta. Apabila harta yang diambil itu masih ada maka barang-barang tersebut harus dikembalikan. Akan tetapi, apabila barang-barang tersebut sudah tidak ada ditangan pelaku maka ia wajib menggantinya, baik dengan harganya (uang) maupun dengan barang yang sejenis. Demikian pula tindakan yang berkaitan dengan pembunuhan atau penganiayaan, tetap diberlakukan hukuman kiṣaṣ atau diyāt. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Māidah: 34

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْۚ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

“Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Bila perampoknya bertaubat setelah ditangkap, maka taubatnya tidak dapat menghapus hukuman, baik yang menyangkut hak masyarakat maupun hak manusia (individu).  Hal ini dikarenakan adanya naṣ tentang taubat dalam surat Al-Māidah ayat 34 di atas, jelas dikaitkan dengan ditangkapnya pelaku dengan ketentuan sebagai berikut:

1.     Taubat sebelum ditangkap itu adalah taubat yang ikhlas, yakni muncul dari hati nurani untuk menjadi orang yang benar. Sedangkan taubat setelah ditangkap pada umumnya karena takut terhadap ancaman hukuman yang akan dikenakan padanya.

2.     Taubat sebelum ditangkap timbul karena kecenderungan perampok itu untuk meninggalkan perbuatan yang membawa kerusakan di muka bumi, sedangkan taubat setelah ditangkap timbul karena terpaksa.

E.    Cara Pembuktian dan Pelaksanaan Hukuman Jarīmah Hirābah

Jarimah hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti yaitu:

1.     Dengan saksi

Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana perampokan sama halnya dengan jumlah saksi pada jarīmah sarīqah, yaitu minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman. Saksi bisa diambil dari para korban atau orang-orang yang terlibat langsung dalam kejadianperampokan.

2.     Dengan dengan pengakuan

Pengakuan seorang perampok merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana perampokan. Menurut Jumhur Ulama pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Hanabilah bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.



[1] Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 107-126.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda