Sabtu, 31 Desember 2022

JARĪMAH ZINA

 Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 34-39.

A.    Pengertian Zina

Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar tanpa adanya unsur syubhat.  Zina termasuk dalam kategori dosa besar. Secara bahasa, kata zina berasal dari kata zina-yazni-zinan yang mempunyai arti berbuat zina, pelacuran, perbuatan terlarang.[1] Secara harfiah, zina berarti fahisyah yakni perbuatan keji.

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah. Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur yaitu: (1) Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex) dan (2) tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sek (sex act).

B.    Macam-macam Zina

1.     Zina Muhsan

Zina Muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, dan sudah pernah melakukan hubungan melalui jalur yang sah (pernikahan) Adapun hukuman bagi pezina muhsan yaitu di Rajam (dilempari batu) sampai meninggal hal ini merujuk pada hadis nabi Muhammad SAW:


“Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. Ketika beliau sedang berada didalam masjid. Laki-laki itu memanggil-manggil Nabi seraya mengatakan,” Hai Rasulullah aku telah berbuat zina, tapi aku menyesal, “Ucapan itu di ulanginya sampai empat kali. Setelah Nabi mendengar pernyataan yang sudah empat kali diulangi itu, lalu beliau pun memanggilnya, seraya berkata, “Apakah engkau ini gila?” Tidak, jawab laki-laki itu, Nabi bertanya lagi, “Adakah engkau ini orang yang muhsan?” Ya, jawabnya. Kemudian, Nabi bersabda lagi, “Bawalah laki-laki ini dan langsung rajam oleh kamu sekalian”. (H.R. Al-Bukhari dari Abu Hurairah: 6317 dan Muslim dari Abu Hurairah: 3202)

2.     Zina Ghairu Muhsan

Zina Ghairu Muhsan adalah Zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melukan hubungan seksual atau pertama kali (Perawan/Perjaka), hukuman bagi pezina ghairu muhsan adalah di dera 100 kali dan di asingkan selama setahun, hal ini merujuk pada firman Allah SWT dalam QS. An-Nūr ayat 2.

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman”.

C.    Pembuktian untuk Jarimah Zina

Pelaku jarīmah zina dapat dikenai hukuman haḍ apabila perbuatannya telah dapat dibuktikan. Untuk jarīmah zina ada tiga macam cara pembuktian, yaitu:

1.     Pembuktian dengan saksi

Para ulama telah sepakat bahwa jarīmah zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Apabila pembuktiannya hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasarnya adalah QS. An-Nisā’ ayat 15, an-Nūr ayat 4 dan 13.

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.

 

لَوْلَا جَاۤءُوْ عَلَيْهِ بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَۚ فَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Oleh karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta”.

Tidak setiap orang bisa diterima untuk menjadi saksi. Mereka yang diterima sebagai saksi adalah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat ini ada yang umum, yaitu syarat yang berlaku untuk persaksian dalam semua jarīmah, dan adapula syarat yang khusus untuk persaksian dalam jarīmah zina saja. Syarat-syarat untuk menjadi saksi dalam jarīmah zina adalah:

a.     Syarat-syarat umum

Untuk dapat diterima persaksian, harus dipenuhi syarat-syarat yang umum berlaku untuk semua jenis persaksian dalam setiap jarīmah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1.     Baligh (dewasa)

2.     Berakal

3.     Kuat ingatan

4.     Dapat berbicara

5.     Dapat melihat

6.     Adil

7.     Islam

 

b.     Syarat-syarat khusus untuk jarimah zina

Disamping syarat-syarat umum yang telah disebutkan, untuk persaksian dalam jarīmah zina harus dipenuhi syarat-syarat khusus. Syarat-syarat khusus ini adalah sebagai berikut:

1.     Laki-laki

2.     Al-Ishalah

3.     Peristiwa zina belum kedaluarsa

4.     pesaksian harus dalam satu majelis

5.     bilangan saksi harus empat orang

 

2.  Pembuktian dengan Pengakuan

Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk jarīmah zina, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a.     Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat kali, dengan mengqiyaskannya pada empat orang saksi dan beralasan pada hadis Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuannya sebanyak empat kali di depan Rasulullah SAW. bahwa dia telah melakukan perbuatan zina. Akan tetapi, Imam Mālik dan Imam Syafi’ī berpendapat bahwa pengakuan itu cukup satu kali, alasannya adalah bahwa pengakuan ini merupakan pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah dengan cara diulang-ulang.

b.     Pengakuan harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan syubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina.

c.     Pengakuan harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari orang yang berakal dan mempunyai kebebasan. Dengan perkataan lain, orang yang memberikan pengakuan harus orang yang berakal dan mempunyai pilihan (kebebasan), tidak gila tidak dipaksa.

d.     Imam Abu Hanīfah mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Apabila dilakukan diluar sidang pengadilan maka pengakuan tersebut tidak diterima. Sedangkan Imam Mālik, Imam Syafi’ī, dan Imam Ahmad tidak mensyaratkanya. Dengan demikian menurut mereka ini, pengakuan itu boleh dilakukan diluar sidang pengadilan.

Pengakuan orang yang berzina hanya berlaku pada dirinya dan tidak berlaku bagi orang lain. Apabila seorang laki-laki mengaku berzina ia dikenai hukuman berdasarkan pengakuanya. Sedangkan perempuan yang diaku berzina dengan laki-laki tersebut berzina bersamanya, apabila ia mengingkarinya, ia tidak dikenai hukuman. Demikian pula tidak disyaratkan hadirnya kawan berzina dari orang yang menyatakan pengakuan tersebut.

Imam Abu Hanīfah juga mensyaratkan bahwa orang yang menyatakan pengakuan tersebut harus bisa berbicara, tetapi jumhur fuqaha’ menyatakan bahwa pengakuan dari orang yang bisu bisa diterima apabila isyaratnya dapat dipahami.

Apabila orang yang berzina itu mencabut pengakuanya maka hukuman had menjadi gugur, karena pencabutan tersebut menimbulkan terjadinya syubhat. Pencabutan itu boleh dilakukan sebelum sidang atau sesudahnya, juga boleh sebelum pelaksanaan hukuman atau pada saat pelaksanaan hukuman.

Pencabutan pengakuan bisa dilakukan dengan pernyataan yang sharih (jelas/tegas) dan bisa juga dengan dalalah, seperti melarikan diri pada saat hukuman dilaksanakan. Akan tetapi menurut Imam Syafi’ī lari semata-mata bukan merupakan pencabutan pengakuan, oleh karena itu, pelaku perlu dimintai ketegasanya setelah ditangkap kembali.

       3.  Pembuktian dengan Qarinah

Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarīmah zina adalah timbulnya kehamilan pada wanita tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Disamakan dengan wanita tidak bersuami, wanita yang kawin dengan anak kecil yang belum baligh, atau orang yang sudah baligh tetapi kandunganya lahir sebelum enam bulan.

Dasar penggunaan qorinah sebagai alat bukti untuk jarīmah zina adalah ucapan sahabat dan perbuatanya. Dalam salah satu pidatonya Umar  R.A berkata: “dan sesungguhnya rajam wajib dilaksanakan berdasarkan kitabullah atas orang yang berzina, baik laki-laki maupun perempuan apabila ia muhshon, jika terdapat keterangan (saksi) atau terjadi kehamilan, atau ada pengakuan. (Muttafaq Alaih).

Menurut Imam Abu Hanīfah, Imam Syafi’ī, dan Imam Ahmad, apabila tidak ada bukti lain untuk jarīmah zina selain kehamilan maka apabila wanita itu mengaku bahwa ia dipaksa, atau persetubuhan terjadi karena syubhat maka tidak ada hukuman haḍ baginya. Demikian pula apabila tidak mengaku dipaksa atau tidak mengaku terjadi syubhat dalam persetubuhanya maka ia juga tidak dikenai hukuman haḍ, selama ia tidak mengaku berbuat zina, karena hukuman haḍ itu harus dibuktikan dengan pengakuan.

 



[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 34-39.

BACA JUGA

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar disini

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda